Aya Sofya (Hagia Sophia) Simbol Pertarungan Abadi

Oleh: Sofyan Siroj Abdul Wahab Lc.MM
( Ketua QR Faoundation )

Beberapa hari yang lalu Pengadilan administrasi Negara Turki telah mencabut Pembukaan kembali masjid Hagia Sophia setelah pengadilan administrasi utama Turki pada 10 Juli 2020, mencabut status Hagia Sophia sebagai museum. Aya Sofia resmi menjadi Masjid dan tidak lagi berada di bawah naungan Menteri Kebudayaan Turki melainkan kini di bawah Kementerian Urusan Agama Turki. (Republika online).

Aya Sofia Bukti Kebenaran Bisyarah Rasulullah

Peristiwa pengalihan Aya Sofya dari musium menjadi masjid kemarin, Jum’at, 10 Juli 2020 memang menghentak dunia. Bukan saja negara-negara Eropa, Rusia, Amerika, tetapi juga dunia Islam. Karena di balik pengembalian fungsi Ayasofya dari musium menjadi masjid itu ada peristiwa bersejarah, yang membuktikan kebenaran bisyarah Nabi, 825 tahun sebelumnya

Tidak hanya itu, di sana juga ada peristiwa yang kemudian menjadi momok bagi negara-negara Kristen Eropa, karena pusat Kerajaan Romawi Timur, Bizantium, dengan Aya Sofianya itu jatuh ke tangan Sultan Muhammad al-Fatih, yang nota bene umurnya belum genap 22 tahun. Siapa yang tidak ngeri? Ini yang dikenal sebagai Musykilah Syarqiyyah (masalah dari Timur/Islam).

Bagaimana tidak? Sebagai penakluk, Muhammad al-Fatih bisa merampas semua kepemilikan orang-orang Kristen, baik atas nama ghanimah, fai’ maupun anfal. Tetapi, Muhammad al-Fatih tidak melakulannya. Ketika beliau memasuki Konstantinople, dan masuk ke Aya Sofia, justru beliau umumkan jaminan keamanan kepada para penduduknya.

Aya Sofia pun tidak diambil, apalagi dirampas dengan semena-mena, sebelum akhirnya dijadikan masjid, tetapi dibeli dengan uang pribadinya. Bukan dari dana negara, Baitul Mal, atau kekayaan kaum Muslim. Tapi, benar-benar dari kantongnya sendiri. Setelah itu, Aya Sofia dijadikan Masjid, dan diwakafkan hingga Hari Kiamat untuk umat. Inilah kebijakan Sultan Muhammad al-Fatih, yang luar biasa. Kebijakan yang lahir dari ketakwaan, dan sikap wara’, jauh dari arogansi dan kezaliman.

Reaksi Dunia Terhadap Keputusan Turki Mengembalikan Status Masjid Aya Sofia 

Pertama, Yunani. Di antara mereka yang marah atas langkah yang diambil Erdogan adalah pemerintah Yunani, yang secara terang-terangan pernah menghancurkan ratusan masjid dan peninggalan relijius era Utsmani di Yunani ketika mereka mendeklarasikan kemerdekaannya di abad ke-19. Bangunan-bangunan bersejarah Utsmani diubah menjadi penjara militer, bioskop, perkantoran, tempat penginapan dan gudang. Masjid-masjid yang ditutup untuk beribadah umat Muslim itu juga di antaranya ya… mereka ubah menjadi gereja.

Kedua, Rusia. Rusia  juga mengecam Erdogan, menganggapnya memecah belah dan membuat bangsa-bangsa pada perselisihan secara langsung. Terminologi “memecah belah” itu anehnya datang dari negara yang menopang diktator pelaku genosida, Bashar Al-Assad, dalam perang sipil yang menyebabkan setengah populasi penduduk Suriah mengungsi dan ratusan ribu lainnya terbunuh. Tindakan Moskow dalam skala internasional seperti aneksasi Krimea dan dukungan militer terhadap pemberontak Khalifa Haftar di Libia, juga Assad di Suriah, serta pembunuhan Salisbury menggunakan racun, pembunuhan tehadap Litvinenko mengungkap betapa munafiknya pemerintah Rusia. Walaupun akhirnya, Pemerintah Rusia mengambil sikap terkait konversi Aya Sofia  menjadi Masjid. Deputi Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Vershinin menyatakan negaranya menghormati keputusan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan.

Vershinin mengakui konversi Hagia Sophia mengundang reaksi di dalam negeri Rusia dan dunia internasional. Namun pada akhirnya Rusia memilih menghormati kedaulatan Turki dengan tak campur tangan urusan tersebut.

Ketiga, Amerika Serikat. Sementara itu, AS juga mengaku kecewa dengan keputusan pemerintah Turki. Tanggapan ini disampaikan oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri, dalam sebuah pernyataan.”Kami kecewa dengan keputusan pemerintah Turki untuk mengubah status Hagia Sophia,” kata Morgan Ortagus.”Kami memahami bahwa Pemerintah Turki tetap berkomitmen untuk mempertahankan akses ke Hagia Sophia untuk semua pengunjung,” tambah pernyataan itu. (Tribunnews)

Keempat, UNESCO. Sementara UNESCO menyayangkan keputusan Turki yang tidak mengkonsultasikan sebelumnya dan sekarang akan meninjau status bangunan.Erdogan telah berusaha untuk memindahkan Islam ke dalam arus utama politik Turki dalam 17 tahun kepemimpinannya. (Tribunnews)

Kelima, Israel. Walaupun belum ada pernyataan resmi dari Israel, namum warga pendudukan Israel melakukan demonstrasi protes dan membakar bendera Turki pada 13 Juli 2020.

Keenam, Dunia Islam.  Di Negara-negara Islam dan mayoritas Islam pada umumnya mendukung konversi aya sofya ini, kecuali Mesir, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menyayangkannya.

Sejarah Aya Sofya

Dilansir dari History.com, Hagia Sophia (Ayasofya dalam bahasa Turki) pada awalnya dibangun sebagai basilika bagi Gereja Kristen Ortodoks Yunani. Namun, fungsinya telah berubah beberapa kali sejak berabad-abad.

Kaisar Bizantium Constantius menugaskan pembangunan Hagia Sophia pertama pada tahun 360 M. Pada saat pembangunan gereja pertama, Istanbul dikenal sebagai Konstantinopel, mengambil namanya dari ayah Konstantius, Constantine I, penguasa pertama Kekaisaran Bizantium.

Hagia Sophia pertama menampilkan atap kayu. Struktur itu dibakar pada tahun 404 SM selama kerusuhan yang terjadi di Konstantinopel akibat dari konflik politik keluarga Kaisar Arkadios, yang pemerintahannya kacau dari 395 hingga 408 SM.

Penerus Arkadios, Kaisar Theodosios II, membangun kembali Hagia Sophia, dan bangunan baru selesai dibangun pada tahun 415. Hagia Sophia kedua berisi lima nave dan pintu masuk yang juga ditutupi oleh atap kayu.

Namun, satu abad kemudian, bangunan itu dibakar untuk kedua kalinya selama pemberontakan Nika terhadap Kaisar Justinian I, yang memerintah dari 527 hingga 565 M.

Tidak dapat memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran, Justinian memerintahkan pembongkaran Hagia Sophia pada tahun 532. Dia menugaskan arsitek terkenal Isidoros (Milet) dan Anthemios (Tralles) untuk membangun basilika baru.

Hagia Sophia ketiga selesai pada 537 M dan masih berdiri sampai hari ini.

Ibadah keagamaan pertama di Hagia Sophia baru diadakan pada tanggal 27 Desember 537 Masehi. Pada saat itu, Kaisar Justinian dipercaya mengatakan, “Ya Tuhan, terima kasih telah memberi saya kesempatan untuk membuat tempat ibadah seperti itu.”

Dari pembukaannya, Hagia Sophia yang ketiga dan terakhir memang merupakan struktur yang luar biasa. Bangunan ini menggabungkan elemen desain tradisional basilika Ortodoks dengan atap kubah besar, dan altar semi-kubah dengan dua beranda.

Lengkungan pendukung kubah ditutupi dengan mosaik enam malaikat bersayap yang disebut hexapterygon.

Dalam upaya untuk menciptakan basilika agung yang mewakili semua Kekaisaran Bizantium, Kaisar Justinian menetapkan bahwa semua provinsi di bawah pemerintahannya mengirim karya arsitektur untuk digunakan dalam pembangunannya.

Marmer yang digunakan untuk lantai dan langit-langit diproduksi di Anatolia (sekarang Turki timur) dan Suriah, sementara batu bata lainnya (digunakan di dinding dan bagian lantai) berasal dari Afrika Utara. Interior Hagia Sophia dilapisi dengan lempengan marmer besar yang dikatakan telah dirancang untuk meniru air yang bergerak. 104 pilar Hagia Sophia juga diimpor dari Kuil Artemis di Ephesus dan dari Mesir.

Bangunan ini memiliki panjang sekitar 82 meter dan lebar 73 meter dan, pada titik tertinggi, atap kubah membentang sekitar 55 meter. Ketika kubah pertama mengalami keruntuhan sebagian pada 557, penggantiannya dirancang oleh Isidore the Younger (keponakan Isidoros, salah satu arsitek asli) dengan tulang rusuk struktural dan busur yang lebih menonjol, dan versi struktur ini tetap ada sampai sekarang.

Kubah utama Hagia Sophia bersandar pada lingkaran jendela dan didukung oleh dua semi-kubah dan dua bukaan melengkung untuk membuat nave besar, dinding yang awalnya dilapisi dengan mosaik Bizantium rumit yang terbuat dari emas, perak, kaca, terra cotta dan batu berwarna-warni, menggambarkan adegan terkenal dan tokoh-tokoh dari Injil Kristen.

Karena Ortodoks Yunani  menjadi agama resmi Bizantium, Hagia Sophia dianggap sebagai gereja utama, dan dengan demikian menjadi tempat di mana kaisar baru dimahkotai.

Upacara-upacara ini berlangsung di nave, lokasi di mana Omphalion terletak, sebuah bagian marmer bundar besar dari batu berwarna-warni dengan desain melingkar di lantai.

Hagia Sophia berperan penting dalam budaya dan politik Bizantium selama 900 tahun pertama keberadaannya.

Namun selama Perang Salib, kota Konstantinopel termasuk Hagia Sophia, berada di bawah kendali Romawi untuk periode singkat di abad ke-13. Hagia Sophia rusak parah selama periode ini, tetapi diperbaiki ketika Bizantium sekali lagi menguasai kota.

Periode perubahan signifikan berikutnya untuk Hagia Sophia dimulai kurang dari 200 tahun kemudian, ketika Ottoman (Utsmaniyah), dipimpin oleh Kaisar Fatih Sultan Mehmed, yang dikenal sebagai Mehmed sang Penakluk, merebut Konstantinopel pada tahun 1453. Ottoman mengganti nama kota Konstantinopel menjadi Istanbul.

Dengan penaklukan Istanbul, Hagia Sophia dengan cepat menjadi ikon budaya, membawa warisan yang mendalam ke Turki hari ini.

Dinamai “Masjid Agung”, segala upaya dilakukan Ottoman untuk melestarikan dan memperbaiki desain yang cacat secara struktural akibat kubah utama yang berat, yang bertengger di sebuah basilika panjang.

Penopang ditambahkan ke sisi Hagia Sophia untuk mencegahnya runtuh pada masa pemerintahan Murad III oleh arsitek sejarah Sinan yang terinspirasi oleh bangunan kuno, dan menggabungkan gaya dengan seni Islam dan estetika dalam serangkaian Masjid Agung, menurut TRT.

Serangkaian struktur tambahan dibuat termasuk sekolah dan air mancur selama pemerintahan Sultan Mahmud I, dan ruang jam pada masa Sultan Abdulmejid, yang dilakukan oleh arsitek Swiss dari tahun 1847-1849.

Setelah berakhirnya Perang Dunia I pada 1918, Kekaisaran Utsmaniyah yang mengalami kekalahan, wilayahnya dipecah-pecah oleh negara-negara Sekutu sebagai pihak yang menang.Namun, kekuatan nasionalis bangkit dan menciptakan Turki modern dari abu kekaisaran itu.

Pendiri Turki dan presiden pertama republik sekuler itu, Mustafa Kemal Ataturk, memerintahkan agar Hagia Sophia diubah menjadi museum. Sejak dibuka kembali untuk umum pada 1935, tempat ini menjadi salah satu tempat wisata paling banyak dikunjungi di Turki.

Pada 2015, seorang ulama membacakan Al Quran di dalam Hagia Sophia untuk pertama kalinya dalam 85 tahun. Tahun berikutnya, otoritas agama Turki mulai menjadi tuan rumah dan menyiarkan ayat-ayat kitab suci selama bulan suci Ramadan dan azan dikumandangkan pada malam Nuzulul Quran.

Pembukaan kembali masjid Hagia Sophia setelah pengadilan administrasi utama Turki pada 10 Juli 2020, mencabut status Hagia Sophia sebagai museum. Hagia Sophia resmi menjadi Masjid dan tidak lagi berada di bawah naungan Menteri Kebudayaan Turki melainkan kini di bawah Kementerian Urusan Agama Turki. Dan Insha Allah pada tanggal 24 juli 2020 akan diadakan shalat jum’at pertama setelah dikonversi menjadi masjid yang akan diimami oleh Presiden Erdogan. Allah A’lam

Baca Juga

Corona dan Sabda Rasulullah: Kalian Lebih Mengetahui Urusan Dunia Kalian

Rasulullah pernah mendapat aduan dari para sahabat. Bukan masalah biasa, ini soal sabda beliau yang …