Bocah Hujan

Sore itu saat hujan turun diantara hiruk pikuk orang yang bersiap untk pulang. Aku duduk termangu menatap kosong jalanan yg ramai dilalui mobil dan sepeda motor yg melaju kencang. Pikiranku kosong, melayang entah kemana. Peristiwa tadi membuatku memilih untuk berbaur dengan hujan dan membiarkan butiran air itu mebasahi seluruh tubuh. Seolah hal itu mampu melunturkan beban berat yg tengah kuemban. Sungguh, aku bingung bagaimana caranya aku pulang dan esok kembali kesekolah denga membawa uang yg tak kumuliki.

Siang tadi, sebuah wajah yang sangat kukenal menatap tak enak padaku. Saat kukatakan tak mampu membayar uang untuk cindra mata yg menurutku tak penting. Ia menghardikku dan mengatakan harus membawa uang itu besok. Baru saat ini aku menyesal. Mengapa harus kusanggupi waktu itu. Padahal Aku tau suatu saat belum tentu aku mampu membayarnya. Aku mengutuk diriku, hadirku dirumah nanti akan menghadirkan wajah sedih ibuku yang dengan lemah mengatakan ia tak memiliki uang. Untuk saat ini, aku merasa jadi orang paling susah yang perlu dikasihani. Jujur saja, sangat tak ingit kulihat rona sedih hadir pada wajah tua yg menahan pahitnya hidup pas-pasan.

Saat pikiran ini begitu sibuk memikirkan betapa susahnya hidupku, seorang bocah melintas didepanku. Ia yang semula berlari riang tiba-tiba berhenti saat menyadari wajahku yang basah karna air mata. 15 menit Aku berada ditengah hujan, berharap ada sebuah keajaiban. Namun dalam waktu yang cukup lama itu, aku hanya angin lalu. Tapi mengapa malah bocah kecil yang terkesan anak jalanan ini menanyakan keadaanku? Dalam guyuran hujan bagimana ia tau wajahku basah oleh air mata? Sontak aku menyeka pipiku dan mendongak keatas. Ia tersenyum, manis sekali. Jujur perasaanku tenang begitu melihat senyum pada sudut bibirnya. Aku memang butuh seorang untuk menghilangkan sedikit rasa penat ini.

Ia duduk disebelahku dengan senang. Wajahnya memandang langit dan terus tersenyum gembira. Ia terlihat sangat bersyukur. Aku bingung, mengapa ia terlihat sangat gembira ditengah guyuran hujan. Lantas kutanyakan hal itu. Dengan wajah yang lebih gembira lagi ia menceritakan kejadian hari ini yg membuatnya benar-benar merasa bersyukur. Dan cerita itu memberi rasa nyeri dalam hatiku.

“Tadi pas saya lagi nyari botol-botol plastik untuk dijual, tiba-tiba saja hujan turun. Mau tidak mau saya harus melanjutkan pekerjaan itu. Namun ditengah pekerjaan itu, saya memukan sebuah dompet yg isinya sangat banyak. Saya yakin jumlahnya bisa buat makan saya dan adik-adik lebih dari 6 bulan. Tapi niat itu saya urungkan. Mengingat bila nanti adik-adik saya akan ikut terjerumus keneraka bersama saya. Padahal itu kesalahan saya yang memberi makan mereka dari yang haram. Saya membaca KTP yang terselip disana. Pas saat itu juga, seorang ibu lewat. Wajahnya resah memperhatikan setiap sudut jalan yang ia lalui. Tampak sang ibu sedang mencari sesuatu. Langsung saja saya berlari dan menanyakan. Ternyata benar beliau mencari sebuah dompet. Saya serahkan dompet yang tadi ketemu. Wajah yang semula terlihat begitu kalut langsung berubah lega. Berulang kali ia mengucapkan kata syukur dan ucapan terimakasih. Saat saya hendak beranjak pergi, Ia menahan lengan saya. Ibu itu menyodorkan selembar uang 50rb . Namun saya menolak dan mengatakan saya hanya menemukan. Ibu itu bersikeras memberi sebagai bentuk terima kasihnya. Akhirnya saya putuskan untuk menerima dan lebih banyak mengucapkan terima kasih. Jujur saya sempat bingung kak. Dlm keadaan hujan begini biasanya rongsokan akan tutup lebih awal dan saya pulang dengan tangan kosong. Saya sempat putus asa bila adik-adik harus menahan lapar lagi hari ini. Namun Allah itu memang Maha pemurah kak. Ia mendengar doa saya dan menjawab begitu cepat. Uang itu cukup untuk makan 2 hari. Saya tak ikut makan juga gak masalah, karna biasanya ada sisa makanan yang saya temukan saat mencari botol, yang penting adk saya bisa makan.”

Lagi, Air mataku tumpah. Ceritanya memukulku telak. Ia yang untuk makan saja tak mampu sangat bersyukur saat mendapat rezki yang sedikit. Lantas mengapa aku yg masih mampu makan dan hanya tak mampu memuaskan keinginan ini malah merasa paling miskin? Bocah itu pamit pulang karna harus mengantar makanan untuk sang adik yang berjumlah 4 orang. Dan ia memberi sebuah nasihat yang menyihirku. Mambuatku merasa kalah dari bocah yang bahkan tidak sekolah.

“Allah itu Maha Pemurah. Sekalipun kita berbisik untuk meminta, ia akan tetap mendengar. Karena tempat untuk mengadu yang terbaik itu hanya pada-Nya”
Bocah itu menghilangkan hampir seluruh beban yang Ku emban. Padahal aku tidak mendapatkan uang yang kuperlukan, namun kutemukan jawaban dari keluhan yang selalu menyalahkan-Nya. Yaitu kurangnya rasa bersyukur pada diri yg bahkan tidak memiliki apapun hingga pantas untuk merasa sombong. (Liliya ZA)

Baca Juga

ASA KE SOSOK PJ GUBRI

Sebagaimana diketahui, mengacu ke SK Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) estafet kepemimpinan saudara Edy Natar Nasution yang mengisi posisi Gubri selama sekitar sebulan akan berakhir 31 Desember …