Buruh Aset Bangsa

Setiap tanggal 1 Mei yang diperingati sebagai May Day atau Hari Buruh selalu mengungkap dan membahas berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi kaum pekerja seluruh dunia termasuk di Indonesia. Namun dua tahun belakangan problematika yang dihadapi para buruh bereskalasi secara drastis. Kita semua paham betapa peliknya keadaan selama wabah Covid-19 melanda. Walau berdampak hampir ke semua kelompok dan golongan ekonomi, namun paling dirasakan masyarakat ekonomi menengah bawah yang didominasi para pekerja dan buruh. Menyikapi Hari Buruh, kita berharap ada pidato istimewa dan konstruktif dari Kepala Negara hingga pernyataan dari Kepala Daerah untuk memberi pesan dan energi positif bagi para pekerja dan buruh. Paling utama tentunya menjawab kegelisahan yang menghantui kehidupan mereka terkait komitmen pengusaha dan pemerintah terkait upah dan kesejahteraan serta langkah-langkah strategis yang bisa memberi mereka prospek lebih baik ke depan.

Buruh tergolong kelompok paling rentan selama pandemi, terlebih dengan sarana bertahan hidup tanpa sumber pendapatan alternatif. Beberapa bulan pertama pandemi, jumlah pengangguran melonjak seiring pekerja terkena PHK. Berdasarkan perhitungan Pemerintah, skenario berat bakal ada penambahan 2,9 juta orang menganggur di Indonesia. Skenario lebih berat, jumlah pengangguran melonjak hingga 5,2 juta orang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase pekerja informal semakin meningkat. Sebaliknya, pekerja formal selama Covid-19 justru turun. Menggelumbungnya pekerja informal dari pekerja formal diduga turut disebabkan PHK pekerja dan buruh. Untuk skala Riau, BPS menyebutkan jumlah pengangguran per-Agustus 2020 naik 6,32% dibanding tahun sebelumnya. Di Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi, tingkat pengangguran terbuka diprediksi bisa capai 10 persen. Pemprov Riau dan Pemko mengaku pandemi Covid-19 sebagai pemicu.

Kesulitan memang dirasakan secara global, tapi Riau menghadapi komplikasi permasalahan dan memikul beban berkali-kali lipat. Apalagi status pekerjaan utama dominan di Bumi Lancang Kuning adalah buruh, karyawan dan pegawai yaitu sebesar 43,76 persen. Makin menyesakan kabar dari sektor Migas yang menyerap tenaga kerja cukup besar, mencapai ribuan orang. Di tengah turunnya harga minyak mentah di pasar global dan konsumsi BBM berkurang akibat pembatasan pergerakan manusia, bikin masalah makin kompleks. Sudahlah ancaman terhadap pekerja, sedikit banyak juga berpengaruh terhadap menurunnya pendapatan daerah. Alhasil belanja daerah pun ikut terdampak. Keresahan dirasakan kalangan perusahaan bergerak di sektor Migas. Meski upaya efisiensi terus dilakukan guna menghindari terjadinya PHK besar-besaran, namun perlu ada skenario lain dari Pemda ketika pengambilan keputusan terburuk sulit dielakkan, yakni perusahaan terpaksa mengevaluasi kontrak pekerjaan dengan vendor yang selama ini memiliki banyak pekerja. Permasalahan PHK sektor Migas berbeda mengingat tenaga kerja punya keahlian khusus dan tidak bisa langsung diserap perusahaan sektor lain. Rentetan lain dari terganggungnya sektor Migas adalah seretnya ekonomi warga dan wilayah yang menjadi operasional Migas. Kondisi tadi, termasuk juga yang dihadapi pekerja di sektor lain yang terdampak, tentu saja butuh solusi bersifat segera dan jangka pendek.

Negara Harus Hadir

Berangkat dari peta problematika, Pemda dituntut hadir melindungi hak tenaga kerja tanpa mengenyampingkan upaya menjaga keberlangsungan aktivitas pelaku usaha. Pandemi adalah masa sulit bagi pelaku usaha. Namun jangan sampai dijadikan dalih bagi pelaku usaha untuk menegasikan hak-hak pekerja. Jelang lebaran, perlu diapresiasi upaya Pemda membuka layanan pengaduan terkait hak THR pekerja. Namun hak tentu tidak hanya itu. Pemda punya tugas lain yang lebih dinantikan. Instrumen kebijakan dan diskresi merancang program guna mengelola ketenagakerjaan sebagai rumpun urusan wajib daerah merupakan bekal untuk menyiasati persoalan terkait ketenagakerjaan di daerah. Namun, sering peran Pemda muncul dan paling menonjol ketika memutuskan upah minimum saja. Padahal perannya tak sebatas itu. Ada beberapa hal klasik terkait pekerja yang dirasa perlu ditegaskan kembali.

Pertama, menjamin terlaksananya hak hidup layak dengan memelihara segitiga hubungan industrial pemerintah-pengusaha-pekerja maupun segitiga keterkaitan upah-produktivitas-kesejahteraan. Di masa pandemi ini pengawasan harus lebih ekstra. Dalam konteks pandemi, Pemprov Riau dituntut fokus menangani permasalahan sosial yang dihadapi para buruh dan pekerja terutama menjaga agar tidak ada hak pekerja dilalaikan. Banyak pelaku usaha dan perusahaan berjuang menunaikan hak pekerjanya, namun ada juga perusahaan memanfaatkan momentum wabah mencurangi hak pekerja. Baik itu hak atas upah dan lain-lain termasuk hak perlindungan kesehatan. Banyak kasus buruh dipaksa bekerja dengan fasilitas perlindungan yang minim. Para pekerja pun dihadapkan dua ancaman sekaligus, yaitu ancaman PHK sekaligus ancaman terpapar virus corona. Dalam menjalankan fungsi, program Pemda diharapkan tepat sasaran dan efektif. Jujur saja program seperti program Kartu Prakerja dinilai mubazir dan tidak tepat guna bagi para buruh dan pekerja. Tidak ada negara lain menggelar pelatihan kepada tenaga kerja secara online. Kalaupun ada pelatihan atau kursus online, hal tersebut sifatnya otodidak. Akan lebih bermanfaat apabila dialokasikan untuk penanganan wabah dan perlindungan kesehatan terhadap pekerja serta jaring pengaman sosial atau bantuan langsung kepada keluarga pekerja yang terdampak.

Kedua, Upaya penciptaan lapangan kerja. Implementasi mandat ini tak lantas Pemda secara langsung menyediakan lapangan pekerjaan, meski juga terbuka peluang melalui pelaksanaan proyek padat karya dan pelibatan sektor usaha dalam kegiatan belanja Pemerintah seperti dilakukan Pemprov Riau yang menjalin kerjasama dengan Mbizmarket di tahun 2021 untuk pengadaan barang dan jasa. Namun paling penting bagaimana memfasilitasi terciptanya ruang yang memungkinkan pelaku usaha menciptakan lapangan kerja. Di luar itu, Pemda juga punya tanggung jawab membina kapasitas pekerja agar produktif dengan mengoptimalkan sarana dan prasarana yang ada. Demikianlah beberapa ikhtiar yang bisa ditempuh. Upaya dipaparkan mungkin belum mengakomodir semua, tapi intinya melalui upaya sungguh-sungguh dapat memberikan secercah harapan bagi para pekerja di tengah masa sulit ini. Pelibatan buruh dan pekerja lebih intens dalam bahasa kebijakan dinilai lebih konkrit sebagai cara menyampaikan pesan ke para buruh dan pekerja bahwa mereka adalah aset penting bagi bangsa daripada sekedar jargon. Bukankah sudah terbukti selama pandemi, betapa sulitnya sektor usaha tanpa buruh dan pekerja. Bahkan sedikit hiperbolis, tanpa produktivitas mereka perekonomian bangsa kehilangan separuh nyawa. Seharusnya ini menjadi pelajaran berharga.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

BANSOS TANPA PAMRIH

Bantuan Sosial (Bansos) menjadi topik pembicaraan di berbagai media. Berawal dari keputusan Pemerintahan di bawah …