Kehilangan Manusia Besar

Oleh : Wamdi Jihadi

Sesaat setelah Franklin Delano Roosevelt, Presiden ke-32 Amerika Serikat meningga dunia di usia 63 tahun, Harry Truman yang merupakan wakil Presiden kala itu bertanya kepada istri sang Presiden terkait bantuan apa yang bisa diberikannya. Menariknya Eleanor Roosevelt justru bertanya balik, “Adakah sesuatu yang dapat kami lakukan untuk anda? Sebab andalah yang mengalami kesulitan sekarang.”

Dan terbukti itu betul. Bagi warga Amerika di tahun-tahun itu Roosevelt seolah tidak tergantikan keberadaannya. Presiden yang terpilih sebanyak empat kali pemilihan itu mencatat rekor sebagi kepala negara yang terlama di negeri Paman Sam tersebut, dari 1933 hingga kematiannnya pada tahun 1945.

“Harry, kami ingin membantumu sekuat tenaga,” demikian Menteri Pertanian Claude Wickard semasa itu yang sering kali lupa mengucapkan kata ‘Mr. Presiden’ pada Harry Truman karena selama ini kata itu sepertinya sudah melekat di diri Roosevelt.

William E. Leuchtenburg seorang Profesor sejarah dari University of North Carolina, Chapel Hill menceritakan fenomena ini dalam bukunya In the Shadow of FDR, from Harry Truman to Ronald Reagan yang diterjemahkan oleh tim USIS Jakarta dalam edisi bahasa Indonesia Di Bawah Bayangan FDR, dari Harry Truman sampai Ronald Reagan.

Kepergian seorang tokoh bagi sebuah kaum, masyarakat mau pun bangsa memang sebuah tragedi yang tak terperikan. Rumah besar mereka yang digunakan selama ini tempat bernaung, bercengkrama, mengadu nasib seolah roboh seiring kepergian sang tokoh tersebut. Tokoh itu bagai sebuah mutiara yang terselip di hamparan bebatuan pasir pantai, yang dengannya pantai itu akan dikenang dan dengan keraibannya juga pantai tersebut kehilangan pesona.

Pada 14 Maret 1980 di negeri kita ini tak kalah sedunya. Bendera setengah tiang dinaikkan sebagai penghormatan atas kepergian bung Hatta. Esok harinya rakyat berjubel di jalan-jalan mengantarkan bung Hatta ke tempat kediaman terakhirnya yang justru di makamkan di Tanah Kusir (bukan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara ).

Setahun kemudian, pada 18 Juli 1981 mutiara bangsa kita yang lainnya Buya Hamka pun menyusul beliau. Tokoh yang tak diragukan lagi kepiawaiannya sebagai ulama, sastrawan, budayawan, dan juga seorang negarawan. Alam salamo nyo kikia, Nan intan yo jarang basuo, Batahun jo babilang maso, Balun tantu dapek nan sarupo, demikian lirik lagu Selamat Jalan Buya yang dipopulerkan oleh Zalmon menggambar jarangnya kita menemui musim panen yang berisi.

Bagi sebuah bangsa yang sedang dalam pergolakan pejuang memang tidak terhitung jumlahnya. Para tokoh satu persatu lahir dari rahim kerasnya kehidupan. Sedangkan bagi sebuah bangsa yang sudah merdeka seringkali melahirkan generasi pecundang, generasi yang gemar bermimpi tentang kebesaran dan keagungan, tapi setelah bangun kembali melanjutkan tidurnya.

Baca Juga

Ramadhan Bulan Produktif

Pekanbaru – Bulan mulia kembali hadir ke tengah kita. Sebuah anugerah luar biasa bagi umat …