Ketika Pendapatan “Jaga Jarak”

“Indonesia di bawah ancaman resesi”. Begitulah petikan narasi mewarnai pemberitaan media massa belakangan. Bermula kondisi perekonomian Singapura yang terpukul karena pandemi, pejabat hingga sejumlah pengamat dalam negeri menyatakan bahwa ancaman tersebut bakal merembet ke Indonesia. Namun sepertinya sedikit berlebihan memakai istilah resesi yang sepertinya lebih cocok berasosiasi dengan negara-negara yang perekonomiannya ditopang oleh ekspor dan industri. Sementara Indonesia sejak 2015 pertumbuhan ekonomi selalu konsisten di 5 %, plus neraca perdagangan juga tekor karena impor dominan. Tapi tak apalah jika memang istilah resesi latah dipakai untuk menggambarkan kesulitan ekonomi saat ini. Toh bukan substansi.

Lanjut pembahasan, saat ini mulai pusat hingga daerah dihadapkan pada tantangan keuangan yang teramat luar biasa. Sampai-sampai Pemerintah pusat berkali-kali menurunkan target pendapatan, yang dituangkan melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020. Dalam beleid yang diteken Juni 2020, target pendapatan negara diturunkan. Semula Rp2.233,2 triliun turun 21,1 persen menjadi Rp1.760,88 triliun, kemudian kembali diturunkan sekitar Rp60,94 triliun menjadi Rp1.699,94 triliun. Ironisnya, proyeksi belanja negara justru diperkirakan naik 4,79 persen dari perubahan asumsi sebelumnya.

Peningkatan belanja negara dari membengkaknya belanja pemerintah pusat. Sementara Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) justru dipotong sebanyak 10,43 persen.
Pemerintah Daerah jelas yang paling kewalahan. Termasuk Provinsi Riau yang menurut saudara Sekda Yan Prana Jaya untuk Rancangan APBD Perubahan Tahun Anggaran (TA) 2020 dilakukan penyesuaian akibat pandemi. B

SK dua menteri (Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri), APBD Riau mengalami rasionalisasi sekitar Rp 1,7 Triliun atau 35 persen. Ini jelas sangat memukul jalannya program dan kegiatan pembangunan Riau. Tak cukup sampai di situ, Riau dihadapkan seretnya harga minyak dunia yang pertengahan tahun 2020 berada di kisaran 35-45 dolar per barel. Turun hampir separuh jika dibandingkan harga minyak dunia tahun 2019 yang mencapai di atas 60 dolar perbarel. Belum lagi ditambah hitung-hitungan PAD dari sektor swasta atau retribusi lainnya yang jelas tak akan seoptimal tahun anggaran sebelumnya.

Musibah ada hikmah

Dalam pikiran sempit ini musibah. Namun tidak bagi yang bisa mengambil hikmah. Blessing in disguise, begitu kata bijak dari barat. Banyak hal sebelumnya luput dari perhatian namun saat pandemi mengalami pembenahan, semisal sektor kesehatan, ekonomi, sosial, dan regulasi. Bahwa ini disebut musibah, iya. 

Tapi apakah kita menyerah? Tidak. Justru saat kepepet ini kita mesti terpacu mengeluarkan ide dan kemampuan terbaik. Bagi Pemda, saatnya menjadi role model agar masyarakat termotivasi untuk bangkit bukan malah kendor. Yakinlah kepemimpinan daerah dan Pemprov Riau tidak berdiri dan berjuang sendiri. Ada lembaga legislatif sebagai mitra dan elemen masyarakat sebagai modal menghadapi tantangan. Sekarang tinggal bagaimana bisa berpadu.

Kembali menyoal kondisi APBD Provinsi Riau 2020 dan situasi ke depan, menurunnya target dan realisasi pendapatan bisa disiasati bila berani merubah mindset dan menyempurnakan ikhtiar. Tanpa kerja keras dan kerja cerdas, mustahil bisa menutupi kebutuhan belanja daerah untuk TA 2020. Bahkan versi lebih parah, bisa merembet ke APBD TA 2021.

Apalagi seretnya sektor pendapatan bukan kali ini saja. Sejumlah hal selalu berulang sebagai catatan. Riau bukannya miskin dari segi sumber pendapatan yang bisa digali selain Migas. Hanya saja selama ini tak mampu dioptimalkan. Bahkan ada celotehan, Riau seumpama orang kaya punya aset dimana-mana tapi selalu mengeluh kekurangan uang. Sementara tetangga punya sumber daya terbatas tapi bisa selalu berduit. Untuk pajak dan retribusi misalnya, jangan dulu jauh bicara ekstensifikasi, untuk instensifikasi saja selama ini masih sangat rendah. Sebut saja pajak kendaraan bermotor, persentase yang bayar pajak tiap tahun pernah hanya berkisar 44,83 persen. Belum lagi “kebocoran” akibat lemahnya sistem yang dibangun.

Itu baru menyoal pajak dan retribusi yang bisa dibilang “zona nyaman” untuk menambah pundi-pundi. Upaya lain yang tak kalah potensial sebenarnya adalah kapitalisasi aset. Banyak aset daerah atau Barang Milik Daerah (BMD) yang tak jelas mulai pengelolaan, pola kerjasama, pemanfaatan dan setorannya ke kas daerah. Terkait pengelolaan yang amburadul bisa ambil contoh aset tetap tanah, yang belakangan kembali muncul ke permukaan karena belum sepenuhnya bersertifikasi. Dari 1003 register tanah seluas 78.872.228m2 baru 73.848.756m2 telah disertifikat, sementara sisanya 166 register seluas 5.023.472m2 belum. Ada juga bukti fisik sertifikat 61 bidang tanah senilai Rp. 182.756.925.910 yang tidak diketahui keberadaannya.

Itu baru bicara penatakelolaan. Belum masuk potensi kehilangan pendapatan yang bisa diperoleh ketika aset tersebut dimanfaatkan. Selama status aset dan BMD tak terkelola, maka selama itu pula kehilangan nilai ekonomi.

Berbenah

Maka dalam keadaan serba sulit ini jawaban sebenarnya dari persoalan keuangan daerah ada pada cermin (baca: intropeksi dan berbenah diri). Musibah memang buat merana, tapi tak cukup jadi alasan pembela. Agar bisa survive melewati keadaan saat ini, tak bisa lagi pakai pendekatan lama. Pola pikir dan bertindak perangkat Pemda harus berani keluar dari zona nyaman. Apalagi masyarakat dan sektor swasta yang terdampak pandemi saat ini juga butuh relaksasi.

Menyinggung relaksasi, langkah Pemprov Riau mengguyur insentif semisal pemutihan pajak kendaraan termasuk bagi perusahaan yang menunjukan kepedulian terhadap pandemi dinilai sangat tepat. Asal insentif tersebut memang punya efek terukur, maka perlu diapresiasi. Sekarang tinggal bagaimana memutar otak menyiasati sumber lain sebagai pendapatan.

Untuk optimalisasi penerimaan dari pajak dan retribusi hanya akan berbuah manis jika ada pembenahan menyeluruh. Kasus seperti kerjasama Bangun Guna Serah (BGS) Tanah Bandar Serai yang meski kontrak dengan rekanan sudah terhenti namun masih ada retribusi yang belum disetorkan ke Pemprov sebesar Rp. 8,3 M lebih plus denda keterlambatan minimal Rp. 10 M lebih, harusnya dapat jadi pembelajaran untuk diantisipasi secara sistemik agar kasus serupa tidak terulang dan daerah tidak dirugikan. Disamping pembenahan terkait pajak dan retribusi, juga harus dibarengi kreativitas menkreasi peluang lain. Kapitalisasi aset dan BMD pantas dilirik. Contoh banyak aset milik Pemprov Riau yang “tidur” jelas sebuah kerugian.

Kerja-kerja di atas jelas butuh komitmen dan ikhtiar. Kami berkeyakinan kepemimpinan Riau dibawah duet Gubernur Syamsuar dan Wakil Gubernur Edy Natar Nasution punya persepsi dan keinginan sama. Sekarang apakah perangkat pembantunya dapat merespon dan merealisasikan ke ranah realita? Harapan kami lembaga legislatif agar Kepala Daerah dapat mengevaluasi orang-orang yang tepat untuk keadaan genting ini. Apalagi ada persoalan rutin yang melanda APBD Provinsi Riau, mulai sektor pendapatan hingga realisasi sektor belanja yang sangat dinantikan sebagai stimulus roda ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Semua sulit dibenahi selagi SDM perangkatnya tidak punya gain management dan keberanian merubah cara berpikir dan bertindak dari old normal ke new normal.

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau

Baca Juga

Corona dan Sabda Rasulullah: Kalian Lebih Mengetahui Urusan Dunia Kalian

Rasulullah pernah mendapat aduan dari para sahabat. Bukan masalah biasa, ini soal sabda beliau yang …