LAHAN BASAH MASA DEPAN DAERAH

(Memperingati Hari Lahan Basah 2 Februari)

Barangkali tak banyak yang tahu di 2 Februari ada sebuah peringatan penting. Punya arti tersendiri bagi Indonesia umumnya dan Riau khususnya. Bermula dari penandatangan Konvensi Ramsar Iran pada 2 Februari 1971 menekankan perlunya menjaga dan memanfaatkan lahan basah secara berkelanjutan. Konvensi sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Kepres RI No 48/1991 dan sudah diadopsi ke dalam peraturan perundang-undangan. Kembali ke hari peringatan, di banyak negara ditanggapi lewat beragam aktivitas yang dilakukan komunitas masyarakat. Lantas bagaimana kita? Sepertinya Hari Lahan Basah kalah tenar dibanding peringatan Hari Lingkungan Hidup, Hari Air, dan Hari Bumi. Bahkan mungkin banyak belum mengerti apa itu “lahan basah” dan manfaatnya.

Merujuk ke defenisi, lahan basah dapat diartikan setiap wilayah yang tergenang air dangkal; baik sebagian atau seluruh; permanen atau musiman; yang terbentuk alami ataupun buatan. Airnya bisa tawar, payau, maupun air asin, serta berupa air diam maupun mengalir. Dari pengertian tadi, rawa-rawa, air tawar, hutan bakau (mangrove), hutan gambut, paya-paya, tepian sungai, waduk, sawah, saluran irigasi, bahkan kolam termasuk diantara bentuknya. Indonesia salah satu negara memiliki lahan basah terbesar di dunia, dan Riau daerah pemilik lahan basah diantaranya lahan gambut terluas di sumatera. Berkaca pada geografis, sudah seharusnya lahan basah mendapat perhatian lebih. Mengingat ancaman akibat kekeliruan pemanfaatannya menghantui Riau. Entah itu berupa banjir hingga Karhutla.

Aksi

Peringatan Hari Lahan Basah perlu dimaknai lebih dari seremoni disebabkan situasi bahaya mengintai kita. Ketakutan perlu ditanamkan melihat dampak sudah terasa. Disamping itu demi menyelamatkan kepentingan daerah dan generasi ke depan. Terobosan kebijakan, komitmen dan mengonsolidasikan banyak pihak merupakan kata kunci. Apalagi aktivitas perekonomian Riau sangat bergantung dengan lahan basah. Dampak ketergantungan bisa berujung serius ketika lalai dan salah kelola. Lihat saja ketika kabut asap Karhutla mendera Riau. Tak sedikit kerugian yang ditimbulkan akibat tersendatnya aktivitas perekonomian dan rutinitas masyarakat hampir seluruh kabupaten/kota. Berikut juga banjir yang setakad ini rutin melanda kabupaten dan ibukota Provinsi Riau Pekanbaru.

Maraknya alih fungsi dan eksploitasi lahan basah dianggap pemicu. Pemprov Riau perlu merumuskan kebijakan khusus berikut pedoman supaya pengelolaan dan perlindungan lahan basah dapat lebih terarah dan terkendali. Sebagaimana poin Ramsar Strategic Goal, bahwa upaya pengendalian pemanfaatan lahan basah dan dorongan untuk memperbaiki kehilangan atas lahan yang telah terjadi dalam kebijakan strategis di tingkat lokal dan terhadap setiap sektor yang dalam aktivitasnya berada di kawasan yang terkategori lahan basah. Berangkat dari sasaran strategis dimaksud, ada beberapa upaya yang bisa ditempuh.

Pertama, dimulai perencanaan agar status kawasan lahan basah dapat ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Harus diakui, dikabulkannya gugatan atas Perda RTRW Provinsi Riau 2018-2038 oleh Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu sebuah kecolongan teramat besar. Ke depan putusan MA harus ditindaklanjuti dengan menyelaraskan perubahan RTRW dengan aturan sektoral lain termasuk lahan basah. Pembahasan perlu dilakukan cermat, tidak terburu-buru dan melibatkan pemangku kepentingan. Narasi sama juga urgen dituangkan dalam RPJMD Provinsi Riau 2019-2024. Dengan diakomodirnya lahan basah secara mendalam sebagai isu strategis daerah akan menentukan prioritas aksi ke depan.

Kedua, mengenai rencana aksi strategis pengelolaan lahan basah perlu terintegrasi dengan kebijakan dan regulasi lintas sektor. Mungkin juga kebutuhan akan Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus mengatur perlindungan, pengendalian dan pemanfaatan lahan basah. Dengen bagitu akan memberi kejelasan dari segi kebijakan dan regulasi yang ujungnya kepastian bagi jalannya pembangunan dan aktivitas berusaha di kabupaten/kota. Walaupun sudah ada Perda Provinsi yang mengakomodir penguaturan lahan basah seperti gambut, namun belum terlalu spesifik. Tak bisa dinegasikan aktivitas di lahan basah berkontribusi besar terhadap perekonomian dan pendapatan daerah. Namun menonjolkan budidaya dan mengejar nilai ekonomi semata lalu mengenyamping pelestarian lingkungan jelas blunder fatal. Biaya yang ditimbulkan akibat pembangunan dan perekonomian yang lalai akan aspek lingkungan sungguh sangat tinggi. Ironisnya biaya rehabilitasi atas kerusakan lagi-lagi dibebankan ke duit rakyat (APBD). Kan sungguh tak berakhlak namanya.

Refleksi

Presiden Joko Widodo di akun twitter-nya pernah menyinggung bahwa lahan basah banyak dipaksa sebagai area penanaman akasia dan kelapa sawit. Kebun-kebun terlanjur eksis dengan tanaman varietas kering banyak memicu kebakaran. Presiden pun minta secara berangsur diganti dengan tanaman lokal yang cocok di lahan basah seperti jelutung, ramin dll. Kelapa sawit memang primadona di Riau. Namun euforia jangan bikin Pemda terlena. Apalagi data berbicara pertumbuhan kelapa sawit tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Statistik Kesejahteraan Masyarakat Riau 2018 yang pernah dihimpun Yayasan Madani Berkelanjutan melaporkan, dari sejumlah kabupaten di Riau yang komoditas unggulan didominasi sawit, kesejahteraan masyarakatnya justru rendah bahkan rawan pangan. Jelas mengundang pertanyaan, jika bukan masyarakat lantas siapa menikmati hasil bumi Riau? Maka terkait pengelolaan lahan basah, seharusnya dilakukan penuh kewaspadaan dan berjalan diatas prinsip berkelanjutan. Jangan sampai pemodal untung sementara masyarakat buntung lalu ujung semua permasalahan Pemda sendirian menanggung.

Pemaparan di atas sedikit dari banyak catatan yang bisa ditambahkan di peringatan Hari Lahan Basah. Perlu diulangi, sumber daya bukan untuk kita yang hidup sekarang saja. Ada kepentingan masa mendatang yang perlu dipikirkan. Mewujudkan pengelolaan lahan basah secara bijak dan berkelanjutan harus ditempuh secara intensif, efektif dan terintegrasi. Perluasan jangkauan informasi dan sosialisasi mengenai pentingnya pengelolaan lahan basah wajib ditempuh melalui kampanye lingkungan masif. Baik ke elemen masyarakat yang menggantungkan hidup di lahan basah maupun pengetahuan sejak dini melalui sarana pendidikan. Mengingat Riau punya ikatan erat dengan lahan basah yang bermanfaat banyak bagi kehidupan -pemasok air bersih, menyaring air dari limbah berbahaya, sebagai pusat keanekaragaman hayati, peredam bencana, sebagai sumber mata pencaharian dll- lebih dari cukup sebagai bukti betapa lahan basah karunia paling berharga. Membiarkan rusak sama saja mewariskan hal buruk bagi daerah dan generasi ke depan. Sebagai manusia apa tega?

SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

KESADARAN BERSAMA CEGAH KEKERASAN SEKSUAL

Baru-baru ini Kepala Negara meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan …