Sang Diplomat Ulung

Ranah Minang memang sepertinya tidak pernah mandul melahirkan para tokoh, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Mereka berdiri di sepanjang sejarah, sebelum atau pun sesudah kemerdekaan. Kiprah yang mereka perankan pun hampir di semua lini kehidupan; politisi, agamawan, ilmuan, sastrawan, pengusaha, dan lain sebagainya.

Kali ini buku yang akan kita ketengahkan adalah tentang seorang tokoh yang punya andil besar dalam proses kemerdekaan republik tercinta ini. Dialah Mashudul Haq atau yang lebih dikenal dengan nama Haji Agus Salim yang digelari oleh Soekarno sebagai The Grand Old Man (orang tua besar).

Lahir pada masa Kolonial tepatnya pada tahun 1884 dari keluarga yang ayah berprofesi sebagai Hoofddjaksa – kepala jaksa pada pemerintahan Hindia Belanda – tidak membuat Agus Salim serta merta tumbuh sebagai kaki tangan penjajah. Justeru karena jabatan ayahnya tersebut ia mendapatkan peluang untuk terus melanjutkan pendidikan di sekolah-sekolah Belanda masa itu. Dan di kemudian hari seluruh pengetahuan dan kemampuannya betul-betul ia sumbangkan bagi memperjuangkan penduduk pribumi ini.

Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia Agus Salim telah mempunyai banyak relasi dengan berbagai orang-orang berpengaruh di berbagai belahan dunia (khususnya Timur Tengah). Tahun 1906 hingga 1911 ia bertugas sebagai penerjemah pada Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi yang mengurusi persoalan jamaah haji yang datang dari tanah Hindia Belanda. Ia juga merupakan utusan Sarekat Islam untuk menghadiri Mu’tamar Alam Al-Islami di tahun 1927. “Masih jelas dalam ingatan saya, bahwa melalui Mu’tamar Alam Al-Islami itu saya berkesempatan untuk mengenal para ulama dan para pejabat negara seluruh dunia” (hlm 360). Dan termasuk di antaranya ia ditunjuk sebagai penasehat Himpunan Sarekat Buruh Sedunia yang berpusat di Jenewa, Swiss. Sehingga rentang tahun 1930-1944 Agus Salim sering bolak balik Eropa.

Di samping kemampuannya berdiplomasi tentu juga yang tak kalah pentingnya adalah penguasaan bahasa yang cukup banyak, di antaranya; Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Arab, dan Turki. “Dari beberapa mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, hanya ada satu mata pelajaran yang sangat saya sukai, yaitu pelajaran Bahasa. Pelajaran Bahasa merupakan pelajaran yang saya yakini dapat menghubungkan saya dengan orang-orang yang berasal dari berbagai macam ras dan suku bangsa” (hlm 9).

Itulah beberapa alasan kenapa Agus Salim paska kemerdekaan ditugaskan oleh Bung Karno sebagai Kepala Delegasi Indonesia untuk meminta pengakuan negara-negara lain secara de jureatas kemerdekaan yang baru seumuran jagung kala itu. Sehingga Agus Salim dan rombongan berangkat ke India, Mesir, Lebanon, Suriah, Iraq, dan beberapa negara lainnya. Dan pada Kabinet II dan III Syahrir 1946-1947, Kabinet Amir Sjarifuddin 1947, serta Kabinet Hatta 1948-1949 ia konsisten ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri.

Sisi dialektika tentang peletakan Dasar Negara, semangat mendidik generasi muda, dunia tulis menulis, dan kehidupan rumah tangga Agus Salim pun tak luput dari paparan novel sejarah yang lahir dari tangan Haidar Musyafa ini.Agaknya buku yang berjudul “Cahaya dari Koto Gadang” ini sedikit banyaknya mengurai kebingungan kita mencari referensi tentang pejuang kemerdekaan yang namanya tidak asing lagi di telinga kita. Selamat membaca!

Judul               : Cahaya dari Koto Gadang

Penulis             : Haidar Musyafa

penerbit           : Spirit Grow

Cetakan           : Pertama, 2015

Tebal               : xii + 466 halaman