Untuk Satu Tujuan

Oleh : Wamdi Jihadi

Berbeda dengan bung Karno yang sempat menikahi beberapa perempuan, bung Hatta lebih memilih monogami, itu pun menikah setelah tunai janjinya bahwa ia tidak akan kawin sebelum Indonesia Merdeka. Inilah dua bapak bangsa yang Tuhan pilihkan untuk kita yang dalam kepemimpinan mereka mempunyai perbedaan-perbedan namun satu harapan, satu arah mata dalam memandang masa depan, karena itulah istilah Dwi Tunggal disematkan kepada mereka.

Bila bung Karno memilih perguruan tinggi di dalam negeri tepatnya di Technische Hoogeschool te Bandoeng yang sekarang ITB, bung Hatta justeru di usianya ke-19 tahun telah melanglang buana ke Eropa dan belajar di Nederlandsche Handels-Hoogeschool yang sekarang juga telah berubah menjadi Erasmus University Rotterdam (EUR). Bila bung Karno piawai mengeksplor kata-kata lewat orasi-orasinya, maka bung Hatta gesit dalam memainkan pena di setiap tulisannya. Bila bung Karno di awal-awal kemerdekaan telah memakai setelan jas dengan kancing-kancing terbuat dari emas, maka bung Hatta hanya berganti-ganti dengan setelan sederhana. Bung karno beralasan dengan memakai pakaian seperti itu rakyat akan bangga dan muncul kepercayaan dirinya karena melihat Presidennya tidak kalah gagah dengan pemimpin dunia lainnya. Sedangkan bung Hatta beralasan rakyat butuh keteladanan dari pemimpin yang menunjukkan kesederhanaan. Dan dalam kebijakan juga tidak jarang mereka berbeda pandangan.

Hidup berbangsa, menetap di sebuah negara yang sama adalah pilihan kita. Negara adalah organisasi terbesar dalam stuktur kehidupan manusia saat ini. Kita menjadi warga dan tinggal di negara yang sama bukan berarti kita sama dalam segala hal, justeru karena kita merasa berbeda maka kita memilih hidup dalam satu organisasi besar sehingga tenggelamlah perbedaan-perbedaan itu dan yang mengapung di permukaan adalah kesamaan.

Bhinneka Tunggal Ika sebagai filosofi berbangsa dalam sebuah negara yang besar kiranya cukup menyatukan warna-warni masyarakatnya. Perbedaan suku, warna kulit, bahasa, tempat kelahiran bukan kita yang memilihnya, tapi Tuhan yang menetapkan. Orang-orang yang tidak siap hidup dalam perbedaan sejatinya ia tengah menantang Tuhan.

Maka bila dewasa ini kita melihat para elit politik yang sulit sekali sepertinya hidup rukun berdampingan – mudah tersulut api seperti daun kerisik yang kering – itu karena yang terjadi sebaliknya. Ketika kesamaan-kesamaan kita ditenggelamkan, maka yang tampak di permukaan adalah perbedaan. Bila perbedaan yang terus menyeruak itu pertanda mata kita tidak lagi sama tujuan pandangannya, kita tinggal di satu payung, tetapi kaki berlawanan ketika melangkah.

Sebagai penutup, suatu ketika dalam sidang Konstituante KH. Wahid Hasyim – yang merupakan anak dari pendiri Nahdatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asyari dan juga ayah bagi Presiden keempat Indonesia Gusdur–menyampaikan gagasannnya buat konstitusi ke depannya, namun salah seorang lawan politiknya mendebat idenya tersebut habis-habisan. Menariknya begitu sidang selesai dan peserta bubar, orang tersebut minta tumpangan di mobilnya KH. Wahid Hanyim. Istrinya kala itu tidak membolehkan karena ia melihat orang tersebut melecehkan suaminya tadi di persidangan. KH. Wahid Hasyim lantas menegur istrinya dan mengatakan, “Kita harus membedakan perbedaan politik dan hubungan kemanusiaan.”

Baca Juga

Ramadhan Bulan Produktif

Pekanbaru – Bulan mulia kembali hadir ke tengah kita. Sebuah anugerah luar biasa bagi umat …