Bela Negara Tanggungjawab Bersama

Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau

19 Desember kita memperingati Hari Bela Negara. Sebuah momen spesial dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia tercinta. Dilatarbelakangi peristiwa pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) 73 tahun lalu atau tepatnya 19 Desember 1948. Kala itu bangsa menghadapi situasi genting yang memaksa perpindahan ibukota negara dari Yogyakarta ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Adapun Pemerintahan semula berpusat di Yogyakarta kembali jatuh ke tangan Belanda. Bukan hanya kembali dikuasai, Belanda juga menangkap Soekarno-Hatta serta beberapa menteri lain yang pada akhirnya menghambat jalannya pemerintahan. Peristiwa penangkapan juga dikenal dengan gerakan Agresi Militer Belanda II yang kemudian mendorong pembentukan wilayah dan sistem pemerintahan sementara agar pemerintahan bisa tetap berjalan. Setelah perjalanan waktu cukup lama, untuk mengenang peristiwa penting tadi, pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden 28/2006 menetapkan 19 Desember sebagai peringatan Hari Bela Negara (HBN).

Pemaparan sejarah Bela Negara di atas memang terlalu singkat untuk menyampaikan cerita penting dibalik penetapan hari Bela Negara. Apalagi mengandung banyak makna dan pelajaran. Pertanyaan sekarang, apa warisan berpikir dan bersikap yang dikehendaki dari peristiwa historik dimaksud? Selama ini penerjemahan konsep Bela Negara yang dipahami secara luas adalah segala upaya konstruktif yang bisa dilakukan setiap warga negara dan dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai peran dan profesi masing-masing. Namun, maaf saja, defenisi berusan tampak usang dengan berbagai tuntutan yang diperlukan dalam menghadapi tantangan bersifat kekinian. Kita sepakat bahwa bela negara memiliki spektrum sangat luas. Mengacu ke paradigma tersebut, semestinya Bela Negara tidak terpaku pada tuntutan satu arah yakni kepada warga negara saja. Tetapi tuntutan dan kewajiban, yang sama belakangan semakin menguat, juga wajib ditunaikan oleh Negara.

Dua Arah

Begitu penting penerapan dua arah Bela Negara. Kayaknya, kecintaan kebanyakan warga kepada bangsa tak perlu lagi dipertanyakan. Pengalaman selama wabah Covid-19 menerjang bisa jadi bukti betapa solid dan tingginya kesadaran dan kepedulian antara sesama warga di akar rumput: saling membantu menyelamatkan ekonomi mereka yang terdampak pandemi. Sementara Negara malah terkesan gagap dan tak sigap melindungi rakyat. Jadi tak salah ketika warga menyampaikan uneg-uneg, termasuk curhat lewat Kami selaku perwakilan mereka, turut mempertanyakan seberapa besar upaya negara menjaga agar nilai-nilai Bela Negara dapat tumbuh. Terlebih dalam fenomena penyelenggaraan pemerintahan di era demokrasi, kemampuan negara menjalankan peran bisa mempengaruhi tingkat kesadaran warga. Coba tengok fenomena belakangan. Skeptisme dan resistensi kalangan masyarakat terhadap lembaga negara malah cenderung bereskalasi. Jelas bukan pertanda baik. Sejumlah kebijakan dan regulasi diterbitkan Pemerintah justru mendapat penentangan masif dari elemen masyarakat, contoh UU Cipta Kerja yang akhirnya diputus Mahkamah Konstitusi tidak sejalan dengan Undang-Undang alias inkonstitusi. Begitu juga desakan pembenahan terhadap lembaga Kepolisian RI akibat banyak muncul ke permukaan perilaku buruk oknum yang malah merugikan institusi, dan penegakan hukum yang dianggap masyarakat tak adil, pandang bulu serta pandang kubu. Terkait penegakan hukum sampai-sampai muncul sindiran bahwa kasus-kasus tak akan diusut kalau belum viral.

Perihal kewajiban Negara atau Pemerintah dalam konteks Bela Negara, melansir laman Kemenhan.go.id, dari sejumlah upaya menjaga dan membela negara yang tercantum dalam kebijakan umum pertahanan negara sebagai pengejawantahan Nawa Cita, ada beberapa dinilai relevan. Yakni menghadirkan kembali negara guna melindungi segenap bangsa dan memberi rasa aman pada seluruh warga negara Indonesia; Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya: Memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi; dan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Disebut terakhir punya nilai signifikansi. Kenapa? Sebab memperkuat daerah kunci Bela Negara. Sejarah penetapan Bukit Tinggi pusat pemerintahan dulu secara implisit adalah pesan betapa pentingnya pemerataan perhatian dan pembangunan. Sudah rahasia umum, pembangunan lebih terkonsentrasi di pulau Jawa. Sementara di luar, terkesan kurang prioritas. Perpindahan ibukota masa itu merepresentasikan pandangan sinis yang masih eksis hingga kini, bahwa daerah luar pulau Jawa kerap dilirik ketika ada kepentingan saja. Bela Negara momentum merubah stigma negatif. Perlu perubahan radikal. Diawali pemerataan pembangunan dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah lebih adil. Selama gap antara anggaran pusat dengan daerah masih lebar, jangan harap pemerataan terwujud. Bukankah spirit otonomi daerah memperkuat dari bawah?

Pemerataan

Pemerataan pembangunan selalu jadi PR besar dan tantangan bagi setiap pemerintahan. Akan tetapi akar masalah sesungguhnya adalah kemauan politik. Memang kesenjangan Sumber Daya Manusia (SDM) tiap daerah menyumbang faktor penghambat dan kadang penyebab gagalnya pengelolaan keuangan yang ujungnya berdampak terhadap efektivitas pembangunan di daerah. Namun hambatan bukan sesuatu yang mutlak. Contoh dana desa. Dulu banyak meragukan kemampuan pihak di lingkup desa mengelola anggaran. Namun sekarang segala asumsi dan skeptis berubah optimis. Banyak desa-desa alami pembangunan dan kemajuan drastis. Warganya pun “kecipratan” transfer pengetahuan dan wawasan. Artinya secara tak langsung meng-upgrade daya saing SDM daerah. Terkhusus Riau, akselerasi pemerataan juga semakin kencang disuarakan. Selama ini pola pembangunan di Riau lebih didominasi kawasan ibukota dan pusat pemerintahan di kabupaten/kota. Serta banyak menyentuh daerah Riau pedalaman ketimbang Riau Pesisir. Gubernur Riau, Syamsuar saat Rapat Paripurna DPRD Provinsi Riau dalam rangka Pidato Sambutan Gubernur Riau Masa Jabatan 2019-2024 pernah menekankan, bahwa membereskan permasalahan pembangunan dan pemenuhan kualitas infrastruktur dasar merupakan kunci mengatasi kesenjangan kualitas SDM antar Kabupaten/Kota dan persoalan disparitas lainnya.

Secara data juga mendukung. Jurnal penelitian STIE Mahaputra Riau pernah membahas masalah kesenjangan di Provinsi Riau. Menggunakan data rentang tahun 2011-2018, hasil penelitian mengungkap bahwa Riau sebenarnya masuk kelompok daerah ekonomi relatif cepat bertumbuh. Namun ketimpangan pembangunan sangat mengganggu. Akibat konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, alokasi investasi dan tingkat mobilitas faktor produksi antar daerah sangat terbatas di beberapa wilayah. Menyinggung infrastruktur dasar tak merata, indeks aksesibilitas rata-rata di Provinsi Riau juga tergolong masih rendah. Sekaligus menggambarkan mengapa belum optimalnya mobilitas penduduk. Pembangunan kurang merata berimbas terhadap perekonomian daerah dan juga ikut andil terhadap bertambahnya angka kemiskinan. Berkaca dari hambatan-hambatan, perlu itikad politik dan kebijakan bersifat segera. Menuntut perimbangan keuangan pusat dan daerah lebih fair perlu terus disuarakan. Selain itu, pembenahan organisasi Pemerintahan di tingkat daerah dan komunikasi dua arah dan saling terbuka Provinsi dengan Kabupaten/Kota agar kekurangan dapat diatasi secara bersama-sama. Cara efektif lain seperti mendorong kerjasama pembangunan antar wilayah juga dinilai menjanjikan dalam rangka mendorong pemerataan pembangunan. Melalui berbagai ikhtiar yang disampaikan Bela Negara bisa terwujud secara paripurna.

Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau

Baca Juga

ISRA’ MI’RAJ DAN SPIRIT PERUBAHAN

 “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil …