(Hari Bela Negara, 19 Desember 2020)
Sejatinya bela negara diartikan alat/cara memotivasi masyarakat untuk meningkatkan nasionalisme dan patriotisme. Secara konteks memang lekat dengan kemiliteran. Namun dalam cakupan lebih luas, sudut pandang pertahanan tak melulu soal fisik tapi juga non-fisik. Secara fisik, jelas usaha pertahanan menghadapi serangan atau agresi dari pihak yang mengancam eksistensi negara. Sementara non-fisik berperan aktif memajukan bangsa dan negara di segala bidang agar tak dipandang sebelah mata oleh negara luar. Bisa melalui politik, ekonomi, sosial dan budaya, revolusi akhlak dan moralitas serta kualitas sumber daya manusia.
Dari yang disebut tadi, bela negara dalam bidang ekonomi perlu diangkat sebagai sorotan khusus. Bukan tanpa asbab, berangkat dari gejolak di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara belakangan secara kasatmata memperlihatkan betapa ekonomi bisa berimplikasi serius bagi kedaulatan bangsa. Ancaman yang perlu diwaspadai sesungguhnya bukan Ormas dan baliho. Bukan pula ujaran kebencian dan hoaks yang latah dipakai untuk memenjarakan yang berseberangan. Namun ancaman paling nyata adalah ekonomi.
“Kemiskinan mendekatkan pada kekufuran”, begitu sabda Nabi Muhammad SAW. Perkataan Beliau mengandung hikmah bahwa lemahnya ekonomi bisa menyeret ke jurang kehinaan. Hal sama berlaku bagi negara. Negara yang tidak berdaulat secara ekonomi akan abai terhadap marwah bangsa. fenomena itulah yang sedang terjadi. “Demi ekonomi dan investasi” menjadi jargon utama Pemerintah. Untuk meraihnya, berbagai kemudahan melalui kebijakan dan regulasi pun ditempuh.
Langkah tersebut satu sisi memang diperlukan untuk menggerakan dan menyelamatkan perekonomian negara. Tapi sisi lain memicu keprihatinan tatkala kebijakan dan regulasi dihasilkan justru tak sejalan dengan filosofi Pancasila dan UUD 1945. Melihat ke belakang, upaya menggenjot perekonomian dan investasi 5 tahun belakangan mengundang pertanyaan: kemana arah diinginkan? Di awal ada kebijakan tax amnesty, yang terkesan memberi perlakuan istimewa bagi pengemplang pajak kelas kakap, di saat yang sama melukai rasa keadilan bagi pengusaha baik itu level atas hingga ke bawah yang sudah taat pajak.
Berlanjut ke paket kebijakan ekonomi yang berjilid-jilid, pertanyaan juga mengemuka. Menurut catatan Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), kebijakan Pemerintah belum sepenuhnya berpihak kepada Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM). Sebut saja pemangkasan bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) belum sesuai dengan harapan pelaku UMKM yang semestinya bisa satu digit. Jangan lupa pula kebijakan impor yang melemahkan industri dalam negeri seperti tekstil, baja, semen dan mematikan petani lokal.
Paling anyar ada Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker), sejak fase pembahasan diwarnai minimnya partisipasi dan keterwakilan masyarakat serta melabrak kaidah umum hukum. Ujungnya mengundang protes berkala dan masif dari berbagai penjuru nusantara. Tak heran, muatannya dinilai mengancam kedaulatan ekonomi. Terkait kedaulatan pangan misalnya, idealnya Indonesia sebagai negara agraris sektor pertanian bisa berperan sebagai penopang ekonomi bangsa. Namun UU Cipta Kerja justru membuka lebar peluang impor pangan. Mulai penghapusan sanksi pidana larangan impor saat ketersediaan pangan mencukupi, hingga aturan yang bisa mempermudah alih fungsi lahan pertanian dan lain-lain. keberpihakan beleid sapu jagad tadi juga diragukan bagi kesejahteraan dan perlindungan terhadap para pekerja, buruh dan pelaku ekonomi UMKM.
Kewaspadaan bagi Daerah
Alarm ancaman kedaulatan bangsa dari sisi ekonomi dirasakan hingga ke daerah sebagai penyangga utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa terdampak. Apalagi di era globalisasi, ekonomi negara begitu terbuka dari pengaruh negara lain. Negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi bak dua sisi mata uang, membuka peluang meraih keuntungan sekaligus ancaman. Membuka peluang pasar produk dan arus investasi dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif. Di sisi lain membuka peluang masuknya produk dan arus investasi global ke domestik.
Masalahnya sejauh mana kesiapan daerah secara terukur sehingga mampu menghadapi tantangan tersebut? Pemerintah pusat hingga daerah memang dituntut agresif dan inovatif untuk menggaet investor. Namun tanpa instrumen yang bisa memperkuat eksistensi pelaku usaha seperti UMKM, petani, nelayan dan perlindungan HAM pekerja, hanya akan menggerogoti marwah bangsa. Bicara aturan terkait upaya akselerasi ekonomi dan investasi masih harap-harap cemas seperti apa peraturan pelaksana UU Ciptaker. Harapannya supaya Pemerintah terbuka mendengar suara dan aspirasi daerah. “Karpet merah” jangan hanya diperuntukkan kepada investor, pemilik modal dan pelaku usaha besar saja. Kebijakan dan regulasi harus memprioritaskan keberpihakan kepada sektor-sektor penopang kedaulatan ekonomi bangsa.
Pemaparan diatas sekaligus asa bagi Riau. Kebijakan perekonomian Pemda wajib berangkat dari filosofi ekonomi kerakyatan. Diawali kesiapan daerah menghadapi tantangan globalisasi ekonomi melalui pembenahan kualitas SDM dan aksesibilitas masyarakat terhadap sarana dan prasarana mendasar dan mendongkrak kesejahteraan masyarakat. Adapun Riau mengacu dari data masih ketinggalan baik itu pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Kemudian, konversi Bank Riau Kepri ke syariah ke depan harus tetap on the track dengan fungsinya sebagai BUMD.
Target BRK masuk 5 besar bank syariah nasional patut diapresiasi. Namun ambisi tadi jangan sampai membuat segmentasi dan fokus ke depan hanya pro dan ramah kepada “kelas kakap” saja, sementara program memperkuat UMKM dan pelaku usaha di daerah dikesampingkan. Sektor lain yang berperan strategis memperkuat kedaulatan perekonomian bangsa seperti pertanian perlu dikembalikan kepada tempatnya. Karena menentukan ketahanan pangan daerah dan memperkuat perekonomian daerah. Termasuk perkebunan dan perikanan dimana tren pertumbuhannya positif sayangnya kurang dilirik dan pengelolaannya jauh dari optimal.
Riau dengan segala keunggulan geografis dan alamnya harusnya sejalan dengan peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat tempatan dan Riau, plus mendatangkan keuntungan ekonomi bagi Pemda. Sungguh ironis jika anugerah yang diberikan Tuhan atas negeri sendiri justru dieksploitasi dan banyak dinikmati oleh pihak luar. Akhirnya rakyat terjajah secara ekonomi di negeri sendiri. Saatnya bela negara diarahkan untuk ekonomi yang berdaulat.
SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU