Belum lama ini (Senin, 21 Maret 2022), Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) Universitas Riau (UR) menyampaikan aspirasi sekaligus menagih janji kampanye Syamsuar dan Edy Natar dalam rangka 3 tahun kepemimpinan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Riau. Pertemuan di Gedung Daerah Provinsi Riau tersebut disambut langsung Gubri dan Wagubri. Tak tanggung-tanggung sejumlah dinas turut dihadirkan. Mulai Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau, Kepala Dinas (Kadis) Komunikasi, Informasi dan Statistik (Diskominfotik), Kadis Kesehatan (Diskes), Kadis Pendidikan (Disdik), Kadis Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan beberapa kepala di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya. Kami selaku lembaga legislatif mengapresiasi rekan mahasiswa yang peduli isu-isu daerah. Sebagai generasi penerus bangsa, anda merupakan director of change berikut penjaga gerbang kepentingan rakyat. Selain itu, Kami juga terkesan gesture positif komunikasi Gubri dan Wagubri yang bersedia menemui rekan mahasiswa. Begini seharusnya mentalitas pemimpin. Terlepas dari kekurangan, berani menghadapi masalah dan terbuka menerima masukan syarat mutlak demokrasi. Menunjukkan pemimpin hadir dan tak lari ketika rakyat berkeluh kesah. Bukannya ngacir ketika didatangi. Karena sikap merakyat butuh pembuktian bukan sekedar slogan.
Bicara tuntutan mahasiswa menarik untuk diulas. Selain menyinggung isu kontemporer yang mana mahasiswa memberi bingkisan kado minyak goreng kepada Gubri sebagai bentuk sindiran kegagalan Pemprov Riau mengatasi problematika minyak goreng dan solar, paling utama mempertanyakan kinerja kepemimpinan Syamsuar dan Edy Natar mewujudkan pendidikan berkualitas, pelayanan kesehatan memadai, perbaikan kondisi ekonomi dan kemiskinan serta pemerintahan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penekanan juga kepada janji-janji Gubernur dan Wakil Gubernur Riau saat berkampanye termasuk pemerataan pembangunan dan ekonomi ke pelosok daerah. Misi tadi salah satu bagian terpenting dalam kampanye saat Pilkada lalu dan sudah diejawantahkan ke dalam visi dan misi kepala daerah sebagaimana tertuang di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Riau 2019-2024. Misi Riau berdaya saing diantaranya didasarkan pertumbuhan ekonomi, infrastruktur dan SDM yang handal. Untuk mencapainya, tentu pemerataan pembangunan dan “kue” ekonomi menjadi kata kunci. Menyoal realisasi RPJMD, pekerjaan rumah Pemprov boleh dibilang menumpuk. Perihal sektor pendidikan, persentase angka putus sekolah menempatkan Riau rangking teratas se-nasional. Sarana dan prasarana sekolah perlu pembenahan menyeluruh akibat banyak dalam kondisi kurang layak hingga rusak. Begitujuga pemerataan akses dan revitalisasi fasilitas kesehatan di daerah. Apatah lagi pemerataan pembangunan. Keterbatasan anggaran daerah disebut-sebut hambatan terbesar. Tapi bukan berarti tanpa jalan keluar. Kuncinya kecakapan mengelola anggaran. Penyusunan anggaran di OPD masih banyak didapati pemborosan dan kegiatan yang tak prioritas. Kemudian, perhatian ke kabupaten/kota mesti proporsional dan berkeadilan. Jangan sampai ada yang ditinggalkan dan dikucilkan.
Berkah SDA
Disamping pembahasan di atas, fokus pembahasan lainnya dari diskusi Gubri dan mahasiswa yang layak disorot perihal Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan. Isu dimaksud masih bagian inti visi dan misi. Terkait lingkungan, mahasiswa mempertanyakan upaya Pemprov Riau menangani kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Sejauh ini, ikhtiar Pemprov Riau dalam pengendalian Karhutla cukup baik. Berkolaborasi melibatkan banyak pihak dan pemangku kepentingan, terutama pihak TNI-Polri yang banyak berkontribusi. Meski begitu langkah pencegahan, penanganan dan rehabilitasi lahan-lahan yang terbakar dengan memperbaiki kondisi lingkungan belum maksimal ditempuh. Sayangnya, tanggapan Gubri atas pertanyaan mahasiwa dinilai kurang pas. Apalagi sampai menyebut bahwa sudah menjadi kodrat Allah SWT 60 persen lebih tanah di Riau adalah gambut. Pernyataan barusan bisa dimaknai keliru. Seolah lahan gambut sumber bencana dan petaka. Faktanya, dari rekam jejak Karhutla, hotspot yang terdata kebanyakan berada di lahan konsesi HTI dan perkebunan sawit. Artinya kesalahan dipicu pemanfaatan.
Keberadaan lahan gambut semestinya limpahan berkah bagi Riau. Bukan hanya dari perspektif lingkungan, tetapi sejalan manfaat diperoleh. Dalam konteks ini kita bisa mencontoh Malaysia dalam pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya tanaman perkebunan. Pemerintah Malaysia mengklaim telah banyak menerima manfaat ekonomi. Pemanfaatan juga tidak merusak ekologi karena dikelola secara baik. Malaysia termasuk pelopor pengembangan perkebunan sawit di lahan gambut. Meski begitu, tantangan dihadapi jiran kita ketika pertama kali mengembangkan kelapa sawit di lahan gambut sungguh tak mudah. Bahkan rencana moratorium penanaman kelapa sawit di atas lahan gambut pernah disuarakan. Namun waktu itu mayoritas pemangku kepentingan, mulai swasta hingga akademisi dan peneliti beramai-ramai menolak. Kuncinya komunikasi yang baik pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan serta pelibatan lebih mendalam dunia akademisi. Supaya terbentuk kesamaan persepsi cara pengelolaan serta pemanfaatan lahan gambut dengan benar. Sebab, masyarakat banyak tak bisa membedakan antara gambut yang terkelola baik dan gambut yang tidak terkelola.
Sarawak sebagai kawasan gambut terbesar di Malaysia dapat terhindar dari kebakaran karena mempunyai teknologi pemadatan serta tata kelola air yang baik. Kebun kelapa sawit juga harus memenuhi standar ditetapkan dan kriteria keberlanjutan lainnya secara ketat. Karhutla di lahan gambut dapat dihindari jika ada kesadaran bersama petani kecil hingga korporasi. Terkait peran akademisi, Pemerintah Malaysia secara aktif melibatkan mereka. Harus disadari, tanpa dukungan penelitian pemanfaatan lahan gambut untuk keperluan produksi akan selalu melahirkan fitnah dan bencana. Adapun di kita, penelitian dan pengembangan mengenai lahan dan tanah gambut dirasa masih kurang. Sementara untuk memanfaatkannya tak bisa modal imajinasi, harus ada verifikasi. Butuh teknik mumpuni dan inovasi guna mengubah kondisi lahan gambut yang tidak kondusif menjadi sebuah areal untuk pengembangan budidaya. Cara sama sangat mungkin diimplementasikan di negeri kita khususnya Riau yang memiliki banyak lahan gambut. Sekarang tinggal kemauan untuk menempuh secara sungguh-sungguh. Apabila ini bisa diimplementasikan, niscaya prospek Riau ke depan makin cemerlang dan terbilang. Kita sepakat Indonesia tidak kekurangan sumber daya, kecuali komitmen manusianya untuk mengelola secara baik dan benar.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU