KEKUATAN DI BALIK HIJRAH

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota DPRD Provinsi Riau

Esok umat Islam memperingati tahun baru Islam 1444 Hijriah. Meski saat tulisan dibuat belum disampaikan secara resmi oleh Pemerintah, namun Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Dirjen Bimas Kemenag) mengungkap bahwa tahun baru Islam atau 1 Muharram 1444 H jatuh hari Sabtu (30 Juli 2022). Pemerintah dahulu telah menetapkan dalam sidang isbat bahwa Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1443 H yang mana bertepatan 10 Juli 2022. Mengacu ke penanggalan barusan maka 1 Muharram 1444 H jatuh pada 31 Juli 2022. Adapun menurut keputusan Kemenko PMK, libur tahun baru Islam dijadwalkan pada tanggal 30 Juli 2022 atau bertepatan dengan akhir pekan di hari Sabtu. Begitujuga SKB 3 Menteri versi terbaru No.963/2021, No.3/ 2021, dan No.4/2021 sebagaimana dikutip dari situs menpan.go.id, hari libur nasional Tahun Baru Islam ditetapkan Sabtu (30 Juli 2022).

Perkara diperingati esok atau lusa bukan utama. Paling penting diketengahkan bagaimana kita dapat mengambil intisari dan pelajaran dari tahun baru Hijriah untuk menghadapi kehidupan dalam konteks kekinian. Selain bagi umat Islam, juga secara luas. Sungguh sebuah kerugian teramat besar hari spesial tersebut dibiarkan lalu begitu saja. Diskursus dan kajian sangat dinanti untuk memperkaya narasi. Terlebih sekarang dimensi kehidupan menghadapi problematika demikian kompleks. Butuh solusi praktis untuk mengurai dan mengatasi tantangan. Pelajaran dibalik peringatan tahun baru Hijriah juga tak lekang oleh waktu dan selalu adaptif lintas zaman. Sama halnya dengan peristiwa bersejarah lain, pada dasarnya memberi manusia yang hidup sesudahnya pengetahuan berharga. Pengetahuan ini merupakan kekuatan sekaligus modal.

Khazanah

Sebagai salah satu hari besar umat Islam, mengulang sekilas tentang tahun baru Hijriyah dari pengetahuan dasar yang kita peroleh selama belajar di bangku pendidikan agama, bahwa momen ini pada dasarnya sejarah pergantian tahun. Mengenang peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dan para pengikutnya dari Makkah menuju Madinah. Disamping itu juga rangkaian sejarah penyebaran agama Islam dan perjuangan kaum Muslimin. Seiring perjalanan, mengetahui nama bulan Hijriyah semakin penting. Karena penanggalan dalam bulan Hijriyah merupakan standar dalam penentuan waktu-waktu ibadah dalam Islam. Misal puasa diwajibkan di bulan Ramadhan, ibadah haji dilaksanakan bulan Dzulhijjah dan sebagainya. Menariknya, nama-nama bulan Islam seperti Muharram, Safar, Rabi’ul Awwal dan seterusnya sudah digunakan jauh sebelum fase kenabian Nabi Muhammad SAW. Meski begitu, waktu Rasulullah hidup belum dikenal sistem penanggalan Islam secara lengkap dengan bilangan tahun. Ini jadi kendala dalam surat-menyurat manakala dakwah Islam sudah mulai menyebar keluar dari jazirah arab. Baru ketika fase Khulafaur Rasyidin, tepatnya di masa kekhalifahan Umar bin Khattab RA disepakati sistem penanggalan Islam lengkap dengan bilangan tahun. Masa itu berbagai usulan mengemuka guna menentukan tahun awal kalender Islam. Ada yang usul dimulai dari tahun kelahiran Nabi atau dimulai tahun Nabi menerima wahyu pertama di gua Hira. Juga ada usul tahun hijrahnya Nabi dan para sahabat dari Makkah ke Yasrib (Madinah). Usulan disebut terakhir disepakati peserta musyawarah untuk dijadikan sebagai awal tahun penanggalan Islam. 

Dari peristiwa menentukan perhitungan Hijrah saja sudah terkandung khazanah luar biasa. Paling ketara bagaimana kolektivitas dan musyawarah menjadi jalan utama. Padahal mereka bukan sosok sembarangan. Berasal dari latar belakang tokoh terkemuka, punya derajat dan jabatan di kelompoknya berikut sosok berharta dan kekayaan tak terbilang. Tapi mereka tak pongah dan ego. Beda kondisi sekarang. Banyak diamanahi kekuasaan tapi merasa empunya segala. Minta selalu dipuja, tertutup dari kritikan serta mengekang yang pendapatnya berseberangan. Tak cukup di situ, pelajaran lebih hebat di balik peristiwa perumusan sistem penanggalan Islam adalah keberanian menjadi trendsetter. Tidak minder dengan diri sendiri. Umat muslim masa tersebut berani tampil beda dengan cara sendiri. Tak heran paska peristiwa hijrah, umat Islam yang semula tidak diperhitungkan dalam percaturan global, muncul sebagai kekuatan baru menggeser posisi hingga mengalahkan kekuatan dua negara superpower kala itu, yaitu Romawi dan Persia.

Tekad Berhijrah

Pencapaian dipaparkan di atas pelajaran. Dimulai penerapan ke pribadi, hijrah membentuk karakter berkomitmen terhadap hal positif dan konstruktif bagi diri sendiri dan memberi kemaslahatan bagi lingkungan dalam konsep amar ma’ruf nahi munkar. Selanjutnya lingkup sosial, berhijrah menuju masyarakat madani, saling peduli dan berkohesi. Berikut paling fundamental penerapan dalam aspek kebangsaan, dengan tujuan menempatkan bangsa ini ke posisi lebih baik. Terus terang miris rasanya melihat negeri segudang potensi sumber daya tapi seringkali tampak wajah memelas ke negara-negara lain seraya mengemis berharap investasi asing dan utang. Padahal tanpa diminta pun negara kita selalu diincar. Belakangan juga muncul kalangan yang selalu mengerdilkan negara sendiri. Menganggap SDM dalam negeri kalah saing, supaya ada dalih datangkan tenaga kerja luar. Menganggap kualitas komoditas dalam negeri tak bagus demi mendukung impor. Kalau saja keunggulan Indonesia dikelola secara amanah, sangat mungkin tampil sejajar dengan negara maju atau lebih baik malah. Tapi boro-boro, ironi masih menghantui. Negara sentra sawit dunia, minyak goring malah mahal dan langka. Singapura negara kecil dan miskin sumber daya, beli minyak bumi ke Indonesia dengan harga murah lalu mereka ekspor dan jual ke tanah air dengan harga tinggi. Makin menyayat hati kekayaan sumber daya dimaksud dimiliki oleh Riau. Namun masyarakatnya tak bisa menikmati.

Fakta pahit tadi bukan takdir. Sangat mungkin dirubah. Akar masalahnya cuman satu, yakni mentalitas dan karakter. Kuncinya berani berhijrah secara maknawi: menuju pola pikir dan sikap optimistik dan beritikad mewujudkannya. Bukan sekedar umbar janji, slogan dan jargon. Ajaran Islam memberi tuntutan tinggi kepada umat muslim hidup hidup lebih baik. Dalam sejumlah ayat Al Quran terdapat motivasi bagi orang beriman agar berjuang dan berusaha meningkatkan kualitas hidup. Sampai-sampai kalau perlu berpindah lokasi mencari tempat lebih baik, lebih kondusif atau tidak terpaku satu tempat. Persis hijrah Rasul dan para sahabat. Islam menghendaki umat yang dinamis dan progresif, bukan umat terbelakang dan terkungkung, statis, apatis, pasif dan pasrah menerima nasib. Umat Islam harus berani melakukan transformasi diri ke arah yang lebih positif dan konstruktif sehingga menjadi umat yang rahmatan lil alamin: membawa manfaat ke seluruh makhluk di alam semesta, bukan sebaliknya.

Sangat merugi apabila peringatan tahun baru Islam sebatas siklus tahunan. Momentum ini semestinya bak tangga untuk naik level. Untuk mencapainya, terlebih dulu perlu muncul kesadaran akan makna dan nilai hijrah serta tujuan hidup di muka bumi. Berbicara tujuan hidup, ajaran Islam tak lepas dari ibadah. Ibadah bukan berarti sempit. Implementasinya berbagai lini dan aktivitas kehidupan. Karena ajaran Islam memuat konsep paripurna bagi kehidupan manusia dan berorientasi menghadirkan kebaikan bagi semua. Sejarah sudah mencatat bukti kesuksesan. Lihatlah negara Madinah yang dibangun Rasulullah paska peristiwa hijrah yang mana salah satu role model demokrasi modern dan pruralisme. Diikuti masa pemerintahan para sahabat Nabi sampai era kejayaan Baghdad dan Turki Utsmani yang berhasil membentuk ekosistem kehidupan inklusif dan memberi naungan nyaman bagi semua unsur, suku dan agama. Ini berkat ajaran yang meletakan keberagaman sebagai pondasi kehidupan. Sebab perubahan ke arah lebih baik tak akan bisa dicapai jika selalu mencari perbedaan.

Selamat tahun baru Islam 1444 Hijriah. Semoga Allah SWT beri hidayah dan menguatkan tekad berhijrah ke kehidupan lebih baik.

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota DPRD Provinsi Riau

Baca Juga

ISRA’ MI’RAJ DAN SPIRIT PERUBAHAN

 “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil …