20 Januari yang belum lama kita lalui momentum bersejarah bagi kota Pekanbaru khususnya dan Riau umumnya. Tersebut 63 tahun lalu, tepatnya 20 Januari 1959, terbitlah Surat Keputusan bernomor Des 52/1/44-25 yang isinya menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau sekaligus menegaskan status Pekanbaru sebagai Kotamadya Daerah Tingkat II Pekanbaru. Peristiwa dimaksud memang lebih menonjolkan nilai historik daripada daya tarik bersifat heroik. Barangkali inipula agaknya kenapa kurang dapat sorotan. Sebab tidak terlalu mengemuka perjuangan melibatkan pergolakan dan perlawanan penuh intensitas fisik. Namun, dibalik peristiwa justru tersimpan pelajaran sangat berharga dan relevan untuk diangkat guna menelaah isu di masa sekarang. Preseden luar biasa tersebut tersaji dalam fase menuju hari H yakni 20 Januari 1959, yang mana antara satu fragmen atau satu peristiwa merupakan satu kesatuan alias rangkaian tak terpisahkan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum nama Pekanbaru ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Riau, Kota Tanjung Pinang Kepulauan Riau ditunjuk sebagai ibu kota propinsi walau hanya bersifat sementara. Mengutip dari berbagai sumber sejarah yang ada, berdasarkan penetapan Gubernur Sumatera di Medan tertanggal 17 Mei 1956 maka Kota Pekanbaru dijadikan daerah otonomi yang disebut Harminte (kota Baru) sekaligus dijadikan Kota Praja Pekanbaru. Lalu pada tahun 1958, Pemerintah Pusat, dalam hal ini melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), mulai ancang-ancang menetapkan ibukota Provinsi Riau secara permanen. Mendagri mengirim surat kawat ke Gubernur tertanggal 30 Agustus 1958 bernomor Sekr. 15/15/6. Sebagai tindak lanjut dan tanggapan atas surat dimaksud, maka Gubernur -tak lepas dari masukan sejumlah tokoh sebagai badan penasehat- memutuskan membentuk suatu Panitia Khusus (Pansus). Sisi menariknya adalah, bahwa landasan pembentukan Pansus berangkat dari komitmen untuk menghasilkan keputusan atas dasar pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Swatantra tingkat I Riau tertanggal 22 September 1958 bernomor 21/0/3-D/58 menjadi landasan hukum dibentuk panitia Penyelidik Penetapan Ibukota Daerah Swantantra Tingkat I Riau. Pembentukan panitia pun bukan sekedar formalitas atau sekedar basa-basi. Terbukti, dalam rangka menampung dan mendengar pendapat para pemuka masyarakat, penguasa perang Riau Daratan dan Riau Kepulauan, Panitia berkeliling ke seluruh daerah di Riau. Melalui angket yang secara langsung diadakan oleh panitia, diambillah ketetapan bahwa kota Pekanbaru terpilih sebagai ibukota Provinsi Riau. Keputusan langsung disampaikan kepada Mendagri. Akhirnya, tertanggal 20 Januari 1959 terbit Surat Keputusan bernomor Des 52/1/44-25 yang menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau sekaligus memperoleh status Kotamadya Daerah Tingkat II. Untuk merealisasikan penetapan, Pusat membentuk Panitia Interdepartemental. Mengingat pemindahan ibukota dari Tanjungpinang ke Pekanbaru menyangkut kepentingan banyak departemen. Sebagai pelaksana di daerah dibentuk badan di Pekanbaru yang diketuai Penguasa Perang Riau Daratan Letkol. Kaharuddin Nasution.
Partisipasi dan Keterbukaan
Ulasan sekilas khazanah sejarah Riau di atas menyajikan banyak masukan berharga. Terutama guna menelaah isu paling hangat belakangan terkait pemindahan Ibukota Negara. Namun objek tulisan bukan menolak pemindahan ibukota. Sebab dari beberapa alasan dan pertimbangan boleh jadi dirasa cukup rasional. Permasalahan sekarang adalah apakah proses sudah selaras dengan peraturan perundang-undangan dan memenuhi berbagai aspek? Seperti diberitakan, proses pengesahan dari Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi UU sangat dikebut. Hanya dalam waktu 40 hari sejak Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN terbentuk (sejak 7 Desember 2021) lalu disahkan pada 18 Januari 2022. Dalam waktu sempit, Pansus RUU IKN juga sempat studi banding ke BSD City serta Alam Sutera dua hari jelang paripurna. Bahkan demi kejar deadline untuk diparipurnakan, rapat digesa 16 jam hingga subuh! Proses inilah dikritik berbagai elemen. Di kelembagaan DPR-RI sendiri, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR-RI selaku satu-satunya fraksi yang menolak beralasan bahwa cara pembahasan RUU IKN tak belajar dari UU Cipta Kerja, yang mana dalam penyusunan menurut Mahkamah Konstitusi (MK) banyak tak sejalan dengan ketentuan berlaku. FPKS DPR RI juga menyebut sejumlah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) semisal bab, pasal dan ayat juga belum rampung dibahas. Dengan pembahasan “sistem kebut semalam” wajar banyak ragu perumusan sudah melibatkan partisipasi dari elemen dan pemangku kepentingan.
Padahal partisipasi dan keterbukaan sebagai pemenuhan aspek formil atau formalitas dalam penyusunan produk hukum mutlak untuk dipenuhi. Di sinilah kelemahan UU Ciptaker yang diputus inkonstitusi. Kembali ke awal tulisan, perihal partisipasi ada baiknya menatap jauh ke belakang. Mengambil pelajaran proses pemindahan ibukota dari Tanjungpinang ke Pekanbaru. Ini cara sejarah menyentil dan memberitahu arah yang ideal. Pemilihan Pekanbaru sebagai ibukota baru Provinsi Riau melibatkan suara berbagai unsur berkepentingan. Sampai-sampai untuk mendengar pendapat lewat angket panitia berkeliling ke daerah-daerah di Riau. Jangan tanya dan bandingkan kondisi daerah dulu dengan sekarang. Meski kini kondisi akses jalan Riau banyak rusak dan tak layak, apatah lagi dulu. Sudahlah begitu, jarak ke berbagai wilayah juga sangat jauh. Belum lagi bicara situasi kala itu dalam suasana belum sepenuhnya kondusif paska gerakan PRRI di Sumatera Tengah, termasuk di Riau. Akan tetapi meski dalam kondisi dan situasi sangat terbatas, tak menyurutkan ikhtiar dan menghalangi upaya memenuhi azas formil dan formalitas penentuan ibukota Provinsi Riau yang baru.
Kita sebagai entitas Riau patut bangga atas “kedewasaan” berdemokrasi masa lalu Riau. Sejarah penetapan ibukota Provinsi Riau semestinya jadi referensi dalam pembahasan ibukota negara baru. Apalagi selama pembahasan RUU IKN tak banyak dibuka ruang untuk beradu ide, opini dan argumentasi. Termasuk soal penetapan daerah lokasi IKN. Iseng-iseng gali info lebih dalam ke sumber FPKS DPR-RI, ternyata belum ada penjelasan hasil studi kelayakan alasan terpilihnya Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur sebagai Ibu Kota Negara. Dalam Naskah Akademik (NA) RUU IKN juga tidak dipaparkan secara detail. Padahal Pemerintah sudah menunjuk lembaga konsultan asing McKinsey sebagai pemenang lelang studi kelayakan teknis calon lokasi ibu kota negara dengan nilai pagu Rp 25 miliar dari APBN tahun 2019. Rencana Induk IKN juga tidak dibahas karena nanti akan diatur dengan Peraturan Presiden. Berkaca pada UU Ciptaker yang banjir kritik lalu ujungnya diputus MK bertentangan dengan konstitusi, khawatir IKN pembahasannya senyap bernasib sama. Bagi kami selaku pihak penyelenggara pemerintahan daerah memaknainya sederhana, jika kebijakan dan regulasi di pusat begini prosesnya bagaimana mungkin daerah selalu dituntut hasilkan produk yang lebih baik?
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU