Beberapa minggu belakangan polemik menyeruak ke ruang publik terkait penunjukan Penjabat (Pj) Walikota Pekanbaru dan Pj Bupati Kampar jelang berakhirnya masa jabatan dua kepala daerah di kabupaten/kota tersebut. Perbincangan di kedai-kedai kopi hingga membanjiri pemberitaan media massa lokal yang terang-terangan mengerucut ke sejumlah nama mengisi kekosongan jabatan strategis sampai pelantikan kepala daerah definitif hasil Pilkada serentak yang dijadwalkan tahun 2024. Perkara dipicu beredarnya Surat Keputusan (SK) Pj Walikota Pekanbaru dan Pj Bupati Kampar, tapi bukan dari enam nama yang diusulkan Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar. Bahkan isunya persetujuan segera diteken dan disampaikan ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Sekdaprov Riau sendiri menjawab pertanyaan wartawan perihal SK viral yang menyebut bahwa Sekwan DPRD Riau akan ditunjuk sebagai Pj Wako Pekanbaru dan Kepala Dinas (Kadis) Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Riau Pj Bupati Kampar. “Tapi SK belum saya terima,” balasnya melalui chat ke wartawan. Sekdaprov pun meminta agar semua pihak untuk menunggu kepastian SK resmi dari Mendagri.
Kencangnya desas-desus menuai beragam tanggapan dan persepsi dari kalangan masyarakat. Bukan hanya warga di kabupaten/kota terkait, tapi juga Riau pada umumnya. Sebab ini memicu tanda tanya dan prasangka baik itu terhadap figur yang akan ditunjuk juga dalam konteks kepemimpinan Provinsi Riau. Bermula dari SK lalu cerita menggelinding kemana-mana. Sampai-sampai batalnya Gubri memimpin upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sekaligus menyerahkan penghargaan kepada siswa dan guru berprestasi serta tokoh pendidikan di halaman kantor Gubernur Riau Jumat (13/5/2022), pun dihubung-hubungkan akibat kurang sregnya orang nomor satu itu dengan salah seorang calon Pj yang namanya sejak awal tak masuk dalam daftar usulan Gubri ke pusat. Padahal ketidakhadiran Kepala Daerah dalam suatu acara merupakan hal biasa. Meski begitu publik sudah terlanjur membuat penafsiran. Isu yang lalu lalang jelas bukan hal baik bagi jalannya roda pemerintahan daerah.
Kepentingan
Heboh soal nama-nama Pj yang ditunjuk di luar dari daftar usulan Gubri ke pusat memang menarik beragam opini. Sekedar diketahui, berdasarkan aturan dalam Pasal 5 ayat 2 Permendagri No 1 tahun 2018 perubahan atas Permendagri Nomor 74 Tahun 2016 disebutkan bahwa, Pjs bupati/wali kota ditunjuk oleh menteri atas usul gubernur. Meski begitu di bagian berikutnya yakni ayat 3 disebutkan bahwa dalam konteks melaksanakan kepentingan strategis nasional, Pjs bupati/wali kota dapat ditunjuk oleh menteri tanpa usul gubernur. Artinya terbuka dua cara penunjukkan. Adapun kami dari sudut pandang legislatif lebih memilih pendekatan konservatif memaknai aturan dimaksud. Bahwa penunjukan atas usul gubernur semestinya didahulukan penerapannya dibanding ayat berikutnya. Apalagi pada ayat 3 ada kata “dapat”, yang mana bisa ditafsirkan sesuatu yang bersifat opsional. Mengacu dari penelaahan atas regulasi, wajar mengundang perbedaan pendapat. Karena ini bukan semata menyoal Pj. Tapi ada celah kepentingan politik berkaitan masa transisi menuju Pilkada serentak nasional 2024 serta kepentingan lain.
Dalam kesempatan ini, sebagai bagian dari DPRD Riau mitra strategis Pemprov Riau merasa perlu menyampaikan pandangan mengenai kisruh penunjukan Pj. Pertama, secara regulasi penunjukan sah-sah saja langsung dari menteri. Akan tetapi dari segi penyelenggaraan pemerintahan, mendasarkan penunjukan atas usul gubernur dinilai punya nilai plus. Walau nama diusulkan juga tidak sepenuhnya terlepas dari kepentingan politik kepala daerah. Namun mari melihat dampaknya ke organisasi Pemda. Perlu diingat Pemprov perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Semestinya setiap keputusan pusat diharapkan memperkuat organisasi di tingkat daerah bukan malah sebaliknya. Kalau benar nantinya isu Pj yang ditunjuk di luar usulan gubernur, dikhawatirkan sedikit banyak akan mempengaruhi iklim di daerah. Gubernur usulkan nama tentu dipandang bisa sejalan. Selain itu, perihal isu adanya manuver dari beberapa nama untuk jadi penjabat, jika benar terbukti dan direstui pusat maka jelas makin memperkeruh suasana.
Sekali lagi, kami memandang sederhana, yaitu bagaimana Pj yang ditunjuk dapat menjalankan tugas, pokok dan fungsi sesuai kewenangan. Dalam menjalankan peran, kesamaan visi kepala daerah di tingkat provinsi dengan Pj kabupaten/kota bisa dibilang modal utama. Semua demi tercapainya penyelenggaraan pemerintahan. Lebih lagi selaku anggota Daerah Pemilihan (Dapil) Pekanbaru, status ibukota Provinsi Riau dengan segudang persoalan butuh penjabat yang benar-benar bisa diandalkan. Tak bisa nyambi apalagi Pj ditunjuk memimpin OPD punya beban kerja tinggi. Pekanbaru jadi percontohan. Bukan hanya menangani masalah rutin kayak banjir, sampah, optimalisasi pelayanan administratif, tetapi juga mewakili kepentingan masyarakat. Menjadi penengah menyiasati problem semisal dampak proyek atau kegiatan Pemerintah Pusat yang berlarut-larut seperti IPAL, butuh keberpihakan terhadap warga yang lama menderita dan terganggu. Begitujuga ada proyek dan kegiatan yang merusak infrastruktur jalan yang sudah dibangun warga secara swadaya. Persoalan bukannya selesai kalau penjabat ditunjuk cuma modal kedekatan tanpa punya pengalaman.
Kedua, Seperti sudah disinggung sebelumnya, meski penunjukan nama di luar usulan gubernur oleh pusat sudah diatur dalam regulasi, seharusnya dijalankan dengan prinsip keterbukaan. Sekarang kan tidak begitu. Pemaknaan aturan tanpa penjelasan. Kalau Mendagri langsung mengacu ke ayat 3, harusnya dijelaskan dulu dasar pertimbangan “kepentingan strategis nasional” pada ayat dimaksud secara terbuka. Karena kita hidup di negara demokrasi dan reformasi yang diperjuangkan mati-matian melahirkan pengakuan atas otonomi daerah. Jadi sedapat mungkin yakinkan masyarakat bahwa penunjukan jauh dari kesan subjektif dan otoritatif. Perlu diketahui Riau punya pengalaman kelam dan pahit dengan gaya dan praktik otoriter. Sejarah mencatat betapa kerasnya perlawanan unsur daerah Riau atas praktik dimaksud, salah satunya saat calon gubernur jagoan pusat dikalahkan oleh putra daerah pada 2 September 1985.
Tuntutan keterbukaan semakin menguat paska undang-undang Pilkada yang berkaitan masa transisi menuju Pilkada serentak nasional 2024 digugat ke MK. Di lembaga DPR-RI sendiri Fraksi PKS diantaranya melalui anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera pernah menyoroti sikap pemerintah yang belum menindaklajuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta adanya peraturan pelaksana atau aturan turunan untuk para penjabat kepala daerah akibat pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. Malah Mendagri Tito Karnavian menanggapi putusan MK terkait perkara 67/PUU-XIX/2021 dan perkara nomor 15/PUU-XX/2022 soal Penjabat (Pj) Kepala Daerah berdalih bahwa Pemerintah tak wajib membuat aturan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) untuk pemilihan tersebut. Meski putusan MK terkait aturan turunan bukan di amar putusan melainkan pertimbangan, bukan berarti dianggap angin lalu. Melalui aturan turunan tersebut mekanisme dan persyaratan akan terukur serta jelas. Sehingga pengisian posisi penjabat tidak mengabaikan prinsip demokrasi. Kita ingin nama ditunjuk sebagai Pj abdi bagi masyarakat bukan abdi kepentingan elit dan sesaat.