SEJAHTERAKAN PETANI DEMI KEBERLANGSUNGAN NEGERI

Beberapa hari lalu, tepatnya 24 September 2021, punya makna istimewa dalam perjalanan sejarah bangsa. Pada tanggal tersebut setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Tani. Penetapan tanggal 24 September sebagai Hari Tani tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Soekarno Nomor 169 Tahun 1963. Pemilihan Hari Tani bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang lahir melalui proses panjang. UU itu menjadi spirit dan dasar dalam upaya merombak struktur agraria Indonesia yang timpang dan sarat kepentingan sebagian golongan akibat warisan kolonialisme pada masa lalu. Termasuk antisipasi agar lahan garapan masyarakat tak begitu saja mudah diserobot pihak lain. Intinya, sejarah penetapan Hari Tani bentuk pemuliaan tertinggi terhadap masyarakat tani Indonesia.

Sekarang, di tahun 2021, Hari Tani Nasional memasuki usia peringatan ke-58. Namun segudang persoalan klasik masih saja menghantui pertanian nasional. Walau negeri kita dianugerahi tanah subur dan iklim tropis yang menjanjikan bagi produksi hasil pertanian, namun ironi masih terjadi. Boleh dikata menjadi petani di negeri ini bukan perkara mudah. Masyarakat petani masih saja senantiasa dibuat limbung akibat ketidakpastian harga, sulitnya pembiayaan, terdesak akibat alih fungsi lahan, proteksi negara yang lemah dan serbuan komoditas impor, rendahnya regenerasi petani serta permasalahan lain yang dinilai substansial demi menjaga keberlanjutan sektor vital itu. Jangan lupakan pula konflik agraria yang terus intens terjadi melibatkan antara masyarakat petani dengan pengusaha dan juga dengan badan usaha Negara. Untuk perkara konflik, Riau menjadi salah satu provinsi dengan kasus cukup banyak.

Problematika tadi jelas klise. Sudah berulang kali pula disuarakan lewat berbagai kesempatan dan forum. Mulai dialog hingga penyampaian aspirasi cara lain. Beberapa minggu jelang Hari Tani, dalam dialog berlangsung virtual antara petani sawit Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin (Jumat (3/9/2021) dalam rangka acara peresmian panen perdana kelapa sawit dan peninjauan santripreneur di Kabupaten Rohil, petani mengeluhkan sulitnya memperoleh pembiayaan dan mahalnya harga pupuk. Disamping dialog, masyarakat petani juga berulang kali menyampaikan protes. Paling heboh petani jagung di Blitar yang sampai ditangkap karena membentangkan poster berisi keluhan saat kunjungan Presiden Joko Widodo di Blitar awal bulan ini. Sungguh miris. Para petani berjuang bukan hanya untuk kehidupan dan mata pencaharian mereka saja, namun sesungguhnya ada kepentingan bangsa juga di sana dalam konteks ketahanan pangan. Keluhan mereka pertanda keadaan tidak baik-baik saja. Ketika keluhan diredam, bukan berarti masalah berhasil dipendam.

Memprihatinkan

Apa yang menimpa sektor pertanian butuh tindakan. Apalagi sektor dimaksud mendekati titik kritis. Secara penghasilan, para petani jauh dari ideal dan level sejahtera. Ombudsman RI menyebut pendapatan mayoritas atau sekitar 60 persen petani Indonesia tak lebih dari Rp. 150 ribu perbulan. Jumlah tadi mendasarkan dari survei Badan Pusat Statistik (BPS), dimana pendapatan petani sebesar Rp. 4,95 juta per musim tanam per hektare (Ha) atau sekitar Rp. 1,25 juta per bulan dengan asumsi setahun terdapat 3 musim tanam. Jika mengacu ke hasil sensus pertanian yakni 60 persen petani padi menguasai lahan cuma 1.000 meter persegi lahan tanam, maka jika dikaji lebih dalam rata-rata 60 persen petani pendapatannya kisaran Rp150 ribu per bulan. Data BPS perihal sumber penghasilan utama pada 2020 juga mencatat, jumlah rumah tangga tergolong miskin di Indonesia sebagian besar berasal dari sektor pertanian. Mereka menyumbang kontribusi terbesar yakni 46,30 persen. Ditambah selama pandemi banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan bergeser dari kota ke desa. Paling banyak lari ke sektor pertanian. Dampaknya jumlah tenaga kerja pertanian meningkat.

Berkaca dari semakin berat tekanan dialami sektor pertanian plus banyaknya permasalahan, dunia bertani jelas dianggap ribet dan tidak prospek segi penghasilan dan kesejahteraan oleh kalangan generasi muda. Ujungnya mengurangi minat mereka jadi petani. Ancaman regenerasi ini sudah tampak dan trennya makin menguat. Mengutip data BPS, jumlah rumah tangga pertanian mengalami penurunan dari 31,2 juta pada 2003 menjadi 27,7 juta pada 2018. Berdasarkan lapangan pekerjaan utama, penurunan pekerja terbanyak salah satunya terjadi di bidang pertanian. Khusus pangan, jumlah petani padi turun dari 14,1 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 13,2 juta rumah tangga pada 2018. Kita masih bersyukur kontribusi pertanian terhadap PDB cukup besar, yakni 13,7 persen. Namun jangan senang dulu. Perlu ditekankan kembali, beban sektor pertanian semakin berat akibat pergeseran tenaga kerja akibat pandemi. Pemerintah mulai pusat hingga daerah dituntut all out dan serius membenahi dan memperkuat sektor pertanian melalui kebijakan konkrit. Komitmen Presiden Joko Widodo yang dulu pernah digemborkan selama kampanye Pemilu 2014 dengan memuliakan petani, sudah benar. Cuman perlu pembuktian. Langkah-langkah memperkuat sektor pertanian sudah terpampang jelas di depan mata, yakni:

Pertama, meningkatkan kapasitas produksi dengan cara pengembangan lahan dan perluasan area tanam serta peningkatan produksi. Sehingga impor komoditas pangan dapat ditekan. Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah harus berpihak pada petani, bukan latah berdalih demi memenuhi demand dalam negeri atau konsumen. Keputusan impor jor-joran selama ini terbukti merugikan petani dan diakui Presiden sendiri bikin neraca dagang tekor parah.

Kedua, diversifikasi pangan lokal dengan memperkaya keberagaman pangan berbasis kearifan lokal yang beragam dan bergizi.

Ketiga, penguatan cadangan dan sistem logistik pangan mulai tingkat desa hingga provinsi serta mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk mengakselerasi Penguatan Pangan Pemerintah Daerah.

Keempat, modernisasi sektor pertanian, termasuk menjaga keberlangsungan program-program yang dapat mengembangkan pertanian di daerah semisal food estate berbasis korporasi tani.

Terakhir kelima, menggenjot produktivitas agar dapat mendorong ekspor dan pertumbuhan eksportir baru.

Ketika upaya di atas dapat terlaksana, niscaya kesejahteraan para petani pun dapat terpenuhi. Ketika petani sejahtera maka sektor pertanian akan Berjaya. Jika ini dapat tercapai maka sudah separoh jalan menuju kedigdayaan bangsa.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

 

Baca Juga

RAMADHAN MODAL SOSIAL BERHARGA

Bulan mulia kembali hadir ke tengah kita. Sebagaimana diketahui, terdapat perbedaan terkait jadwal permulaan puasa …