Awal bulan ini (3/10/2022) Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar menggelar rapat bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam rangka evaluasi dan percepatan pelaksanaan kegiatan APBD dan APBN Provinsi Riau Tahun Anggaran (TA) 2022. Dalam rapat digelar secara tertutup termasuk bagi awak media tersebut, Gubri mengakui masih didapati anggaran pusat belum terserap maksimal di beberapa OPD (sumber: www.cakaplah.com). Orang nomor satu itupun minta agar dievaluasi dan realisasi lebih dimaksimalkan. “Kalau tak dipercepat, takutnya nanti akan dikurangi kedepannya,” lanjut Gubri. Upaya evaluasi kinerja sangat bagus. Namun harapan kami selaku lembaga legislatif, menggesa kinerja bukan semata demi menyelamatkan transfer anggaran ke Riau tahun berikut. Tapi ditempuh supaya membawa perbaikan dan kemajuan bagi daerah serta memenuhi hak masyarakat atas Pemerintah Daerah (Pemda). Karena cenderung jelang akhir tahun Pemda pada umumnya ngebut realisasi anggaran. Syukur-syukur kalau pelaksanaan on the track. Parahnya, banyak kegiatan digesa terkesan asal jalan dan buyar dari indikator yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan. Tradisi kejar akhir tahun memang akhirnya bikin birokrasi selamat, tapi kerap korbankan kualitas program pemenuhan hajat masyarakat.
Dari beberapa OPD, Gubri menyentil Dinas Kesehatan. “Masih kecil itu di Dinas Kesehatan, sudah dilaksanakan, tapi belum maksimal”, cakap orang nomor satu di Riau. Di sini mirisnya. Paling disorot Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Padahal sangat bermanfaat mencapai sasaran dan program kesehatan di daerah. Mengacu ke petunjuk teknis Peraturan Menteri Kesehatan, BOK adalah bantuan pusat ke daerah untuk percepatan capaian target program kesehatan prioritas nasional. Biaya operasional dikhususkan membantu Puskesmas beserta unit khusus semisal Poskesdes/Polindes, Posyandu dan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Perihal Puskesmas, ujung tombak pelayanan kesehatan bersifat promotif dan preventif, meliputi pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, pelayanan kesehatan masyarakat dan perorangan primer. BOK juga pernah dipakai Pemprov Riau untuk bayar insentif tenaga kesehatan menangani pasien Covid-19 yang sempat tertunda di tahun 2020 karena terkendala dana dari pemerintah pusat. Disamping itu, ada agenda lebih penting dibalik perlunya optimalisasi dana BOK yakni mengatasi stunting di Provinsi Riau.
Ancaman
Stunting dulu dikenal “anak kerdil”. Pengertian kekinian: kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Ini terjadi terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yakni mulai janin hingga anak berusia dua tahun. Meski lama merdeka, masalah klasik khas negara dunia ketiga tadi masih PR besar Indonesia. Mengutip hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, prevalensi stunting masih di angka 24,4% atau sekitar 5,33 juta balita. Meski terus menurun, angka tadi masih belum aman. Lagipula bisa saja itu baru yang terdata. Indonesia masih lebih tinggi dibanding Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) lebih lagi dari Singapura. Agenda besar ini butuh fokus. Problem stunting multidimensi. Walau menyangkut aspek kesehatan kayak kekurangan gizi kronis, infeksi berulang dan seterusnya, akan tetapi penyebab tak berhenti disitu. Sulitnya akses pelayanan kesehatan, buruknya sanitasi, anggaran tak memadai, ketidakpedulian sosial dan komitmen pemerintah juga sangat berkontribusi.
Bicara ancaman stunting sangat nyata. Dampak mulai gangguan kesehatan fisik dan pertumbuhan, juga buat lemah sistem kekebalan tubuh bahkan kesehatan jiwa dan perkembangan otak. Sehingga tingkat kecerdasan anak berpotensidi bawah rata-rata. Ujungnya, tingkat produktivitas Sumber Daya Manusia (SDM) menurun. Apabila tidak diturunkan, cepat atau lambat akan menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan sosial serta memperburuk kualitas politik dan demokrasi. Tanpa SDM sehat jiwa dan raga, proyeksi bonus demografi Indonesia 2030–2035 tinggal angan. Jadi, baik sebab dan akibat stunting sama-sama multimensi. Pemerintah sendiri sudah antisipasi. Mulai memperkuat program pangan dan gizi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025 dan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Perpres diadopsi dari Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selaku pelaksana percepatan penurunan stunting telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting (RAN-PASTI) 2021–2024 (Peraturan BKKBN 12/2021).
Teruntuk Riau, prevalensi Balita alami stunting 23,3%. Riau cukup berhasil turunkan angka stunting dan masuk indikator kinerja Kepala Daerah di RPJMD Provinsi Riau 2019-2024. Komitmen Kepala Daerah pun patut dihargai, dengan terbitnya Keputusan Gubernur Riau Nomor Kpts.233/III/2022 tentang Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Provinsi Riau. Kami mengapresiasi penghargaan diterima Pemprov Riau atas kinerja 8 aksi konvergensi penurunan stunting wilayah Regional I dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kendati begitu, jalan masih terjal. Ada 6 kabupaten/kota di Riau prevalensi di atas rata-rata provinsi. Tertinggi Rokan Hilir yaitu 29,7%, diikuti Indragiri Hilir 28,4%, Rokan Hulu 25,8%, Kampar 25,7%, Indragiri Hulu 23,6% dan Kepulauan Meranti 23,3%. Sesuai arahan Presiden, angka stunting ditargetkan turun ke 14 persen di tahun 2024. Berangkat dari tuntutan, tergambar urgensi dukungan anggaran. Kembali menyoal rendahnya serapan BOK Riau, tentu sangat disayangkan. Padahal, mengacu ke Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Percepatan Penurunan Stunting tahun 2021, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyinggung bahwa selain DAK, BOK menentukan langkah seperti penyusunan regulasi di tingkat daerah terkait stunting, pemetaan dan analisis situasi program stunting, Pelaksanaan rembuk stunting, pembinaan kader pembangunan manusia 1000 HPK, pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita, sosialisasi dan publikasi stunting, pencatatan dan pelaporan, review kinerja tahunan aksi integrasi stunting dan lain-lain.
Sinergi
Maafkan kedua orangtuamu kalau tak mampu beli susu, Bbm naik tinggi susu tak terbeli, orang pintar tarik subsidi mungkin bayi kurang gizi. Sepenggal lirik lagu berjudul “Galang Rambu Anarki” karya Iwan Fals masih relevan. Mengungkap keprihatian dan ancaman meningkatnya stunting paska kenaikan BBM. Logika sederhananya, kalau sebelum BBM naik angka stunting Indonesia 24,4 persen (di atas toleransi WHO) apatah lagi paska kenaikan BBM yang bikin harga-harga tambah mahal? Bahan pangan bergizi sebagai kunci mencegah stunting jelas makin sulit dijangkau kebanyakan masyarakat. Berangkat dari tingkat kegawatan, Pemda diminta meningkatkan level kewaspadaan sembari genjot kinerja. Diawali evaluasi dan menyiasati permasalahan percepatan penurunan stunting, diantaranya: konvergensi program di tingkat daerah yang setakad ini belum optimal; penerjemahan kebijakan penurunan stunting dalam perencanaan dan penganggaran di daerah; penguatan pendampingan di tingkat kabupaten/kota dan keluarga; integrasi sistem pemantauan dan evaluasi; dan belum adanya “satu data” pendekatan penurunan stunting menyasar rumah tangga 1.000 HPK.
Tantangan semakin berat mengacu ke target penurunan prevalensi stunting 14% di tahun 2024. Guna mencapai target, setiap tahunnya harus ada penurunan 2,7% dalam waktu 5 tahun. Namun, upaya ditempuh jangan pula berorientasi sekedar turunkan angka di atas kertas. Pendekatan Pemerintah terutama Pemda mesti dirasakan langsung manfaat dan perubahan oleh masyarakat. Sebenarnya banyak cara tersaji dan bisa ditempuh. Pastinya, sekali lagi, ini tak akan tuntas bila Pemda kerja sendiri. Harus ada kolaborasi dan sinergi libatkan banyak pihak dan lintas sektoral. Ambil contoh inovasi sinergitas program Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS), dimana Pertamina Hulu Rokan (PHR) berkontribusi dalam penurunan dan pencegahan stunting melalui Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Pemda di Riau juga bisa meniru program Pemda di Jawa Timur, yang membuat program subsidi ikan menyasar warga yang memiliki atau membawa Balita saat berada di pasar. Terkait pengawasan, disiagakan petugas Dinas Perdagangan setempat. Hasil dan progres ternyata positif. Buktinya, jumlah Balita gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis di daerah setempat di Jatim berhasil dikurangi. Di sini lain, Pemda dapat bersinergi sekaligus memperkuat perekonomian para nelayan lokal. Sekarang tinggal kesungguhan dan kepedulian demi masa depan generasi.
H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau