Beratnya tantangan perekonomian yang dihadapi Indonesia pada dasarnya bersumber dari dua hal, kesenjangan pendapatan dan kemiskinan. Yang kaya semakin kaya -atau diperkaya- sementara yang miskin makin tertekan akibat kebijakan dan minimnya akses memperbaiki kehidupan dan menggapai kesejahteraan. Selama pandemi Covid-19 dua hal tadi menyeret Indonesia lebih dalam ke jurang depresi, bahkan ancaman resesi. Selama pandemi pula segudang permasalahan seakan berebut muncul kepermukaan, dampak akumulatif dari kelalaian atau kegagalan pemangku kekuasaan menanganinya di waktu normal plus sifat latah menganggap semua baik-baik saja.
Paling utama, permasalahan ekonomi imbas pendekatan ekonomi yang tidak sejalan dengan filosofi ekonomi Indonesia. TAP MPRS Nomor XXII 1966 dan TAP MPR Nomor XVI/1998 merupakan panggilan untuk kembali kepada konstitusi yakni UUD 1945 terutama pasal 33 yang menetapkan pedoman Perekonomian disusun berdasarkan pada asas kekeluargaan”. Sementara realita didominasi pendekatan liberal-kapitalistik. Pembangunan yang berfokus pada pertumbuhan justru menghasilkan kesenjangan dan tak banyak menolong mengurangi kemiskinan. Kekayaan alam dinikmati segelintir pihak, kesehatan dan pendidikan yang idealnya dimaknai sebagai investasi serta subsidi kebutuhan mendasar semua dianggap beban negara.
Jalan keluar dari permasalahan hanya satu: Indonesia harus kembali ke khittahnya. Sebagaimana digariskan UUD 1945, hanya ekonomi kerakyatan mampu menjadi penyangga. Secara eksplisit, perhatian pemerintah harusnya tercurah pada pelibatan secara aktif pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Merekalah kunci perekonomian bangsa selamat dari keterpurukan dan terbukti tangguh melewati krisis sudah-sudah. Karena UMKM berperan menjaga daya beli masyarakat dan menggerakkan sektor riil.
Sayangnya di masa kritis seperti sekarang keseriusan dan totalitas pemerintah terhadap mereka masih dipertanyakan. Dari segi kinerja anggaran meski pemerintah pusat hingga pemerintah daerah punya program riil berupa pemulihan ekonomi, tapi realisasinya setakad ini belum optimal. Untuk Riau, dari total dana refocusing dan realokasi di APBD Riau 2020, realisasi anggaran yang disuntikkan untuk menggerakkan perekonomian sesuai arahan pemerintah pusat dan kontribusi daerah dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) per-awal Oktober 2020 masih zonk.
Padahal di dalamnya ada alokasi yang menyasar pelaku UMKM. Gubernur Riau (Gubri) kepada awak media menyatakan bahwa belum terealisasi anggaran terkendala data calon penerima bantuan yang masih butuh validasi. Melihat ketidaksiapan ini, muncul skeptisme apakah sebelum pandemi UMKM sudah menjadi concern kebijakan Pemprov? Walaupun dapat dimengerti saat ini dalam kondisi tidak biasa, namun terus berdalih bisa jadi jebakan. Justru dalam keadaan darurat pemerintah dituntut gerak cepat.
UMKM dan Koperasi
Belum optimalnya capaian program atau kegiatan yang menyasar UMKM sebenarnya dapat disiasati dengan memberdayakan aset perekonomian bangsa yang telah mengakar di tengah akar rumput. Adapun yang dimaksud tentu saja koperasi yang peran strategisnya dapat diberdayakan dalam agenda pemulihan ekonomi nasional. Koperasi lebih realistis dipakai untuk menjangkau UMKM termasuk membantu menyalurkan program bantuan atau kredit untuk permodalan para UMKM. Di tengah pandemi harusnya koperasi garda terdepan pemulihan ekonomi nasional. Selain bisa diandalkan dari segi data dan informasi terkait dengan pelaku langsung UMKM, yang bahkan pihak perbankan kerap memakai data dari koperasi, juga dinilai lebih akomodatif dan lebih bersahabat secara prosedural dan administratif bagi pelaku UMKM dibandingkan perbankan.
Ketika bicara permodalan, koperasi juga lebih efektif karena mengetahui persis seluk beluk usaha anggotanya. Meski koperasi dicap kuperasi –karena sering keteteran dari segi adaptasi pembaharuan dan teknologi terutama di era digital- justru di sini keunggulannya”. Karena harus disadari belum keseluruhan pelaku UMKM bisa mengakses platform digital atau akrab dengan prosedural. Disamping hal tadi, keterkaitan koperasi secara langsung dengan pemerintah mulai Kementerian Koperasi dan UKM hingga Dinas dan OPD di tingkat daerah semakin memperkuat peran strategisnya. Minimnya campur tangan pihak lain dan kedekatan yang intim memudahkan pemantauan dan pengawasan oleh pemerintah. Apalagi di masa butuh eksekusi cepat dan cermat seperti sekarang, maka momentum tepat bagi pemerintah untuk memperkuat positioning koperasi sebagai jantung perekonomian nasional.
Berdasarkan pemaparan di atas, tahun ini dan ke depan lebih realistis bagi Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemprov Riau untuk terus berupaya merevitalisasi peran koperasi terutama dalam agenda pemulihan ekonomi di daerah. Karena koperasi wujud implementasi sesungguhnya dari UUD 1945. Revitalisasi baik itu berupa sentuhan sederhana seperti pembenahan aspek prosedural dan proses agar tidak berbelit-belit yang dapat mengurangi minat masyarakat untuk bergabung atau mendirikan koperasi, hingga fasilitasi kebijakan yang berorientasi membangun ekosistem baru yang dapat menciptakan kondisi saling mendukung dan menguatkan setiap pelaku ekonomi dengan melibatkan masyarakat akar rumput.
Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud tentu prasaratnya koperasi harus diberi kepercayaan. Diawali dari dukungan regulasi, jika benar UU Cipta Kerja mengakomodir pendekatan lebih baik terhadap UMKM dan koperasi maka implementasinya tentu harus digesa dengan menerbitkan peraturan teknis yang dalam penyusunannya -sesuai janji pemerintah pusat- lebih banyak menampung aspirasi dan kebutuhan di daerah. Kita berharap narasi kebijakan untuk memperkuat koperasi lebih progresif ke depannya, termasuk membuka akses lebih besar bagi koperasi yang memungkinkan masuk ke sektor-sektor ekonomi unggulan nasional dan daerah yakni pangan, komoditas, maritim, pariwisata, dan industri pengolahan. Dengan pendekatan lebih baik terhadap UMKM dan koperasi niscaya ekonomi Indonesia akan bisa terselamatkan.
Oleh: Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau