Asa Keadilan di RUU Provinsi Riau

Tidak banyak barangkali dari kita yang tahu apa spesialnya 28 November bagi Provinsi Riau dan Melayu sebagai kebudayaan sekaligus peradaban. Pada tanggal itu, setelah beberapa bulan paska Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirimkan pesan kawat kepada Presiden Sukarno. Pesan tertanggal 28 November 1945 menyatakan bahwa Kesultanan Siak Sri Inderapura berdiri teguh di belakang Republik Indonesia. Namun dukungan atas kemerdekaan Indonesia tak sekedar di lisan. Sultan Syarif Kasim II mengirimkan bantuan berupa materi sejumlah 13 juta gulden, yang saat itu dipakai sebagai bekal bagi negara dalam menjalankan aktivitas di awal-awal. Kita sebagai masyarakat bumi lancang kuning pantas berbangga, sebab Riau punya andil terdepan dalam sejarah berdirinya negara Republik Indonesia. Namun tentu dukungan dan perjuangan Sultan Syarif Kasim II tak hanya berkirim harta dan dana bagi negara. Tapi jauh ke belakang, totalitas perjuangan sudah tampak.

Sebagaimana dimuat dalam karya Sapardi Djoko Damono & Marco Kusumawijaya dalam Siak Sri Indrapura (2005: 71), sedari awal era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Sultan Syarif Kasim II sudah menempatkan diri sebagai penentang kaum penjajah. Melakukan perlawanan dengan cara-cara elegan sebab beliau sadar menentang secara frontal sama saja bunuh diri. Oleh karena itu, perjuangan beliau dilakukan secara holistik. Setelah dinobatkan menjadi sultan pada 1915, beliau meningkatkan kualitas rakyat Siak Sri Indrapura melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah agar rakyatnya dan anak-anak dari berbagai lapisan bisa mengenyam pendidikan. Sekolah itu mengimbangi Hollandsch-Inlandsche School (HIS) milik Belanda yang hanya menerima murid kalangan tertentu. Suwardi Mohammad Samin dalam Sultan Syarif Kasim II: Pahlawan Nasional dari Riau (2002: 66) mencatat sekolah dasar tadi pertama di Riau menjalankan kurikulum memadukan unsur Islam dan nasionalisme, termasuk mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Perjuangan sama juga ditempuh permaisuri Syarif Kasim II, Syarifah Latifah, juga turut mendirikan sekolah khusus untuk perempuan pertama di Riau. Sekolah yang bernama Latifah School diresmikan pada 1926.

Tuntutan Keadilan

Kini setelah berpuluh-puluh tahun berlalu, sejumlah pihak yang berlatarbelakang sejarawan bertanya kenapa pamor Sultan Syarif Kasim II seolah-olah kalah dibanding raja-raja nusantara lainnya yang berjasa mendirikan republik? Pertanyaan diajukan tanpa maksud mengusung sentimen sempit. Karena beliau berjuang tanpa pamrih dan tidak menginginkan timbal balik atas pengorbanan. Namun arah pertanyaan ini ditujukan untuk menyentil kesadaran dan penghargaan terhadap sejarah. Karena bangsa besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan para pahlawannya. Dalam konteks sekarang, apresiasi terhadap perjuangan Sultan Syarif Kasim II masih menyisakan rasa hampa penuh tanda tanya. Secara kasatmata Riau sebagai warisan nyata kerajaan Siak masih saja terus berjuang untuk memperoleh keadilan perhatian dan perlakuan dari pemerintah pusat selaku pengelola negara. Keadilan yang terus digaungkan sepeninggal Sultan Syarif Kasim II melalui berbagai bentuk tuntutan, mulai tataran normatif dan konstusional berupa kebijakan pembagian anggaran lebih baik hingga yang paling ekstrem menuntut Riau merdeka yang dulu pernah diserukan.

Kini asa menuntut keadilan kembali mengemuka. Lahirnya inisiatif lembaga DPR RI yang diinisiasi Komisi II untuk melakukan penyusunan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Provinsi Riau. Bahkan tim kerja yang dipimpin perancang/Badan Keahlian DPR RI sudah melakukan kunjungan ke Riau untuk menggali masukan dan aspirasi dari berbagai pihak yang berkepentingan sebagai bahan dalam penyusunan Naskah Akademik dan draf Rancangan Undang Undang (RUU) Provinsi Riau. Antusiasme atas RUU tersebut wajar. Beragam tanggapan dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan, para tokoh adat dan elemen masyarakat Riau semata ikhtiar memperjuangkan keadilan bagi Riau. Walaupun informasinya RUU Provinsi Riau menyasar aspek yuridis atau dasar hukum pembentukan Provinsi Riau yang harus disesuaikan dengan UUD 1945 karena setakad ini masih berdasarkan Undang Undang RIS yaitu Undang Undang RIS No. 7 Tahun 1950, tepatnya UU No 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau dan Undang-Undang nomor 61 tahun 1958, namun diharapkan concern tak sebatas itu.

RUU Provinsi Riau diharapkan berani menampung narasi besar. Bukan berkutat seputar urusan administratif dan yuridis saja. Akan tetapi paling utama mendengar dan berangkat dari aspirasi dan keluhan daerah. Muatan RUU akan menggambarkan kesungguhan itikad dan penghargaan terhadap nilai historis Riau serta kontribusi Sumber Daya Alam (SDA) bagi perekonomian bangsa selama ini dan nilai strategis Riau secara geografis bagi Indonesia ke depan. Boleh dibilang ini momentum dan kesempatan langka bagi Riau untuk mengakselerasi ketertinggalannya. Oleh karenanya, para tokoh daerah, politisi, pers hingga elemen masyarakat harus bersatu dan berpadu menyuarakan keinginan yang membuncah dari pikiran dan sanubari, supaya RUU memberi ruang khusus bagi Riau. Keinginan terbesar dari RUU Provinsi Riau kiranya ada apresiasi yang diberikan secara khusus berupa status daerah istimewa, sebagaimana salah satu poin yang telah disampaikan Forum Komunikasi Pemuda Masyarakat Riau (FKPMR) melalui Ketuanya DR. drh. Chaidir MM ketika diundang sebagai narasumber dalam penyusunan konsep awal RUU Provinsi Riau oleh Badan Keahlian DPR (cakaplah.com, 23/11/2020). Keinginan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan menilik relasi sejarah Riau dengan kemerdekaan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Ditambah nilai kontribusi SDA berupa Migas dan sektor perkebunan yang ke depan makin prospek. Riau sesungguhnya hanya menginginkan keadilan yang perlu dijawab melalui bahasa regulasi dan kebijakan, bukan sekedar jargon dan janji dibibir saja.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC (Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau, fraksi PKS)

Baca Juga

RUNTUHNYA PANCASILA KAMI

Hari Lahir (Harlah) Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni momentum untuk merefleksi kondisi berbangsa …