Berbagi Adalah Fitrah Manusia

Ramadhan pergi, Syawal menanti. Sedih senang bercampuraduk jadi satu. Hari kemenangan datang setelah berjuang melawan hawa nafsu melalui ibadah puasa sebulan lamanya. Status fitrah jelas paling dinanti. Bagaikan terlahir kembali, suci. Menguatkan hakikat penciptaan manusia hanya untuk beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Namun fitrah itu status istimewa. Hanya mereka bersungguh-sungguh meraihnya. Buahnya tampak dari kendali atas diri yang selama Ramadhan dilatih secara berkala membentuk kekuatan ruhaniah. Melatih kemampuan mengendalikan hawa nafsu yang kerap merusak fitrah manusia dan sering menjerumuskan ke jurang kenistaan. Ramadhan mengajarkan kita menjadi manusia tampil wajar dan apa adanya, realistis, rasional dan proporsional. Contoh kecil sebelum berbuka kita ingin itu dan ini sebagai hidangan berbuka tapi tatkala azan magrib berkumandang, semua hasrat sebelumnya seakan sirna setelah minum seteguk air.

Sungguh rugi Ramadhan berlalu tanpa pelajaran. Ramadhan tak hanya menempa kesalehan pribadi tapi paling utama kesalehan sosial. Mereka puasanya berhasil akan terbentuk karakter khaira ummah atau umat terbaik: memberi warna positif bagi lingkungan. Ketika insan tersebut menjadi pemimpin akan memberi teladan, cerdas secara intelektual juga cerdas “mata hati”, bermartabat serta memiliki kepekaan sosial tinggi. Membatasi diri terhadap sesuatu yang halal bukan perkara mudah. Tidak sekedar menggembleng ego, Ramadhan juga memotivasi semangat bersedekah dan berbagi. Secara perlahan mindset kita digiring dari cenderung konsumerisme ke altruisme. Berbagi adalah tindakan paling mulia dan memunculkan rasa bahagia. Islam mengajarkan gemar memberi dan hindari meminta-meminta. Memberi juga bukan soal kuantitas tapi komitmen dan konsistensi. Memberi juga berkaitan dengan akhlak. Sebagaimana hadist: “sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Ia mencintai kedermawanan serta akhlak mulia, Ia membenci akhlak buruk.” (HR. Al Baihaqi).

Warisan Berharga

Spirit berbagi asbab jayanya peradaban Islam di masa lalu. Dalam konteks Indonesia, sejarah mencatat sumbangsih raja-raja dan rakyat nusantara “bersedekah” nyawa, pikiran dan harta bagi perjuangan bangsa. Termasuk Sultan Syarif Kasim II mengirimkan bantuan bagi Indonesia yang baru saja merdeka berupa materi sejumlah 13 juta gulden. Warisan karakter ini wajib dijaga dan dilestarikan. Patut disyukuri, meski dilanda berbagai cobaan berat dan tantangan, semangat tersebut tetap menguat. Tergambar dari laporan lembaga Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index yang dirilis belum lama ini. Menurut survei, Indonesia masuk 10 besar negara paling dermawan di dunia. Sebuah capaian membahagiakan. Dikutip dari Kompas.com, survei tersebut disusun berdasarkan data yang dianalisis berdasarkan tren perilaku dermawan selama masa krisis ekonomi -termasuk selama pandemi dan di tengah perjuangan dalam upaya pemulihan- sampai ketidakstabilan geopolitik di suatu negara tersebut. Tiga aspek perilaku dermawan yang dinilai: membantu orang asing, menyumbangkan uang ke lembaga amal dan mengikuti kegiatan amal secara sukarela.

Dari laporan, Indonesia menduduki posisi ke 10 dengan perolehan nilai 42 persen untuk aspek membantu orang asing, 69 persen untuk aspek menyumbangkan uang ke lembaga amal, dan 40 persen untuk aspek mengikuti kegiatan amal secara sukarela. Meski peringkat terbawah, menariknya Indonesia unggul di beberapa poin. Untuk kategori “menyumbangkan uang ke lembaga amal” secara persentase kita lebih baik dibanding Kanada yang menempati posisi ke 6 (63 persen), Australia di posisi ke 4 (65 persen), Selandia Baru di posisi ke 3 (65 persen) bahkan unggul dibanding posisi pemuncak di Amerika Serikat (61 persen). Sementara untuk kategori “kegiatan amal secara sukarela” kita juga lebih baik dibanding Belanda di posisi ke 8 (36 persen), Kanada (37 persen), Irlandia di posisi ke 5 (38 persen) dan Australia (37 persen).

Kenapa kita pantas bahagia? Karena laporan tadi mengungkap solidnya ikatan sosial antar warga Indonesia walau secara ekonomi peserta survei lain merupakan negara maju dan lebih baik segi pendapatan. Kemajuan memang tak mutlak diukur dari pendapatan perkapita warga, tetapi seberapa kuat ikatan sosial antara warga. Perihal keunggulan Indonesia di dua poin di atas, penting untuk membangun optimisme bangsa ke depan. Pertama, maraknya muncul inisiatif menggalang kepedulian warga atas isu-isu sosial, yang ditandai banyak muncul lembaga amal. Lembaga-lembaga tersebut semakin profesional dan masif menggelar aksi sosial. Kedua, disamping inisiatif membentuk wadah guna menggalang kepedulian, ternyata masyarakat kita juga punya keinginan kuat melakukan kegiatan amal secara sukarela. Jadi keunggulan dua poin dari survei tersebut sebuah perpaduan sempurna.

Perlu fasilitasi

Namun sangat disayangkan potensi tadi masih bersifat aksi spontan. Meski aksi sosial bersifat sukarela, namun kontribusinya juga penting. Semestinya eksistensi kekuatan sosial diakomodir dalam cetak biru atau rencana Pemerintah dan berperan aktif sebagai problem solver. Seperti kegiatan nasional baru-baru ini yakni peluncuran Cinta Zakat oleh Presiden RI Joko Widodo, yang digelar secara virtual di gedung daerah Balai Serindit, Kamis (15/4/2021). Oleh Gubri Syamsuar gerakan tadi ditindaklanjuti di Provinsi Riau. Sebagaimana pidato Presiden, zakat dapat diselaraskan dengan program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan memacu kesejahteraan rakyat. Namun kegiatan Cinta Zakat belum cukup. Apalagi tak jelas kemana arah dan outputnya. Ditambah skeptisme masyarakat ketika zakat dan wakaf diurusi negara.

Sikap barusan muncul bukan tanpa sebab. Barangkali diakibatkan kecenderungan selama ini Pemerintah menganggap masyarakat sebatas objek pembangunan. Padahal dalam demokrasi masyarakat subyek pembangunan itu sendiri. Dalam RPJMD Provinsi Riau 2019-2024 peran lini sosial nyaris tak disinggung secara khusus, dan perannya menyikapi isu-isu strategis daerah. Jadi jangan salah ketika Pemerintah merencanakan dan merealisasi program kurang mendapat dukungan. Cek saja di lapangan, ada sarana dan prasarana sudah dibangun tapi terlantar dan tak terpakai. Kalaupun ada nomenklatur mengarah ke pemberdayaan sosial itu sebatas program kerja saja lagi-lagi tanpa indikator dan output yang jelas. Tingginya kesadaran masyarakat berbagi adalah berkah dan butuh fasilitasi agar punya ruang berpartisipasi lebih banyak. Untuk menuju ke sana, pengambil kebijakan harus merubah paradigma. Termasuk memandang pembangunan bukan semata fisik namun juga pembangunan manusia. Keduanya harus sinkron.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

RUNTUHNYA PANCASILA KAMI

Hari Lahir (Harlah) Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni momentum untuk merefleksi kondisi berbangsa …