Rabu pekan ini (19/5/2021) Presiden RI Joko Widodo direncanakan akan bertolak ke Riau dalam rangka kunjungan kerja ke Riau setelah terlebih dahulu mengunjungi Provinsi Kepri. Menurut informasi dari Sekretariat Kepresidenan saat Rakor persiapan Kunker Presiden RI ke Provinsi Riau secara virtual yang dihadiri Wagubri dan segenap Forkopimda, bahwa terdapat beberapa agenda kunjungan yakni meninjau kegiatan vaksinasi Covid-19 di Kabupaten Kampar, meninjau komoditi perkebunan karet rakyat serta memantau perkembangan sejumlah proyek pembangunan, diantaranya jalan tol Pekanbaru-Padang.
Menyinggung yang disebut terakhir, kita berharap kunjungan Presiden ke Riau tidak semata menaruh perhatian ke kegiatan Pemerintah Pusat di daerah saja. Tetapi Presiden sekiranya juga dapat mendengar dan berkomitmen menindaklanjuti aspirasi dan kebutuhan masyarakat Riau berupa terutama infrastruktur mendasar. Pembangunan tol memang cukup bagus dalam hal efisiensi dan efektivitas pergerakan dan mobilitas antar kabupaten/kota di Riau yang secara geografis terbentang jarak cukup jauh. Namun multiplier effect-nya dirasa sangat terbatas dan tidak berdampak langsung terhadap peningkatan ekonomi akar rumput yang secara jumlah lebih banyak. Apalagi tol juga bersifat komersil.
Persoalan infrastruktur dipandang perlu disampaikan Kepala Daerah dalam kesempatan istimewa kunjungan Presiden RI adalah seputar persoalan jalan di Riau. Lagipula hal ini juga sudah menjadi concern pasangan Gubernur Riau (Gubri) dan Wakil Gubernur Riau (Wagubri). Gubri pun kerap menyinggung di berbagai kesempatan dan terus mengusulkan ke Pemerintah Pusat agar jalan nasional maupun jalan provinsi di Riau dapat ditingkatkan sekaligus diperbaiki. Bahkan pemenuhan kebutuhan pembangunan jalan di Riau juga telah diusulkan perubahan status dari jalan provinsi menjadi ruas jalan nasional dalam rencana perubahan RPJMN, demi menyiasati keterbatasan anggaran daerah.
Beban Bersama
Peliknya urusan infrastruktur jalan di Riau dilatarbelakangi banyak hal. Namun paling utama itikad dan tekad serta manajerial. Kemantapan jalan merupakan faktor penting yang mesti dipenuhi pemerintah untuk memperlancar mobilitas masyarakat. Buruknya kondisi jalan berakibat bertambahnya waktu tempuh dan biaya operasi kendaraan. Imbasnya sangat tidak ramah bagi aktivitas keseharian dan produktivitas masyarakat yang ujungnya berdampak terhadap ekonomi daerah. Terpenuhinya kemantapan jalan juga berperan menekan biaya logistik nasional. Maka perlu diapresiasi upaya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Riau di tahun ini mengeluarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) khusus perihal Efektivitas Program Pembangunan dan Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Pemprov Riau TA 2020. Untuk Riau mungkin baru pertama kali diterbitkan laporan dimaksud tadi. Upaya tersebut wajar mengingat infrastruktur bagian tak terpisahkan dari pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), disamping sebagai bentuk evaluasi dan mencari penyebab serta memberi rekomendasi terkait problem klasik pemenuhan jalan di Riau. Adapun detail problematika permasalahan ini akan dibahas di kesempatan lain.
Sekarang menyoal siapa memikul amanat pemenuhan kemantapan jalan? Daerah saja jelas tak akan sanggup sendirian. Terbatasnya kemampuan anggaran daerah ditambah belanja daerah didominasi belanja operasi menjadi faktor penghambat. Mengutip pernyataan Gubri dalam sebuah wawancara “sampai kiamat tak akan selesai”. Apalagi penyebab kerusakan jalan di Riau juga punya titik persinggungan perihal kewenangan. Ambil contoh kasus akibat abrasi sungai yang membuat badan jalan terkikis oleh aliran sungai. Dari temuan Komisi IV DPRD Riau tak sedikit jalan berada di pinggiran sungai hampir putus. Ini jelas mengancam jalan yang juga termasuk aset milik daerah sebagai wujud belanja modal. Untuk itu perlu inventarisasi. Jika berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) di bawah kewenangan Pemerintah Pusat maka perlu dikoordinasikan dengan baik.
Turut menyulitkan pemantapan jalan di Riau adalah kerusakan yang dipicu truk Over Dimensi Over Load (ODOL) yang keberadaannya makin banyak dan sampai meresahkan warga. Bahkan disebut menyumbang kerusakan jalan hingga ratusan kilometer dan bahkan korban jiwa. Apesnya Riau lebih banyak kebagian kerusakan jalan, lingkungan, dan kecelakaan daripada pemasukan. Dari informasi cukup banyak kendaraan “obesitas” dimaksud justru berplat non BM. Riau makin tak berdaya sejak 2016 akibat jembatan timbang tak lagi beroperasi setelah kewenangan diserahkan ke Kemenhub. Padahal kalau tetap dioperasikan daerah, setidaknya bisa menindak ODOL. Keberadaan jembatan timbang jelas solusi praktis, jangka pendek dan lebih rasional dibanding razia secara terus menerus yang butuh biaya lebih besar untuk personil dan operasional di lapangan.
Terakhir, pemenuhan kemantapan jalan di Riau semakin urgen menimbang sejumlah wilayah di Riau diproyeksikan sebagai kawasan industri strategis dan masuk radar kepentingan nasional dan fokus pengembangan wilayah di masa mendatang. Oleh karena itu Riau perlu menuntut pembangunan berkeadilan. Jangan sampai daerah berjibaku soal infrastruktur tapi keuntungan ekonomi lebih banyak lari ke pusat. Sebagaimana dirasakan Riau selama ini yang menagih keadilan DBH dari sektor Migas dan Sawit lantaran antara pendapatan tidak sepadan dengan cost mengatasi masalah di daerah. Berangkat dari peta problematika, nilai strategis dan tuntutan keadilan, persoalan infrastruktur di Riau semestinya masuk skala prioritas Pemerintah Pusat. Toh ujungnya bakal membawa keuntungan bagi kepentingan nasional. Selama distribusi pembangunan belum merata dan Jawa-sentris, jangan harap ekonomi Indonesia menguat. Menguatirkan iya.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU