Sosok manusia yang dikenang dan terukir dalam sejarah adalah mereka yang berani berkorban. Harta bahkan jiwa dan raga. Baik itu yang bersuara membela kebenaran, menentang tirani dan kezaliman termasuk melakukan upaya membawa aura dan efek positif bagi lingkungan sekitar. Begitujuga momen Idul Adha yang diperingati kaum muslim seluruh dunia, tersebutlah kisah nabi Ibrahim As dan anaknya Ismail As. Pengorbanan yang mereka contohkan pondasi bagi peradaban manusia. Mengajarkan bahwa ketakwaan, kepedulian dan segala istilah kebaikan butuh komitmen dan aksi bukan lip service dan janji. Buah ketakwaan nabi Ibrahim As dan Ismail As, atas seizin Allah SWT, di tanah yang gersang bisa berkembang kota makmur penuh keberkahan.
Idul Adha bukan sekedar perkara menyembelih hewan kurban. Jika dikaji mendalam banyak pesan moral plus motivasi bagi kita untuk menggapai derajat tertinggi bahkan melebihi malaikat. Manusia yang memilih jalan dan amal kebaikan dengan kehendak bebas yang diberikan Tuhan jelas lebih istimewa. Karena di saat kita beramal baik pasti diserang berbagai bisikan keraguan, ejekan dan hinaan dari segala penjuru mata angin yang melemahkan dan mengurungkan niat baik semula. Ketika kita menempuh jalan menuju Allah SWT dan mengorbankan yang dimiliki dan paling dicintai, di saat sama kita sudah menaklukkan hawa nafsu, egois dan segala aspek yang merendahkan. Secara harfiah, kita dididik untuk sadar bahwa kitalah yang memegang kendali atas harta, tahta dan benda, bukan sebaliknya.
Istimewa dalam Suasana Prihatin
Tahun ini, umat Islam masih menggelar Idul Adha dengan cara berbeda. Suasana istimewa dan rasa prihatin. Istimewa dikarenakan ritual Idul Adha itu sendiri. Adapun prihatin diakibatkan pandemi di Indonesia belum sepenuhnya terkendali. Akan tetapi pandemi membuka mata manusia, bahwa ada lebih berkuasa atas kehidupannya. Dalam artikel di Financial Times, seorang penulis terkemuka Hanry Mance memaparkan bahwa pandemi telah memicu munculnya “pencarian Illahiyah” oleh masyarakat di banyak negara terutama negara maju. Tulisan tadi diperkuat hasil studi Pew Research Center, dimana mayoritas masyarakat Amerika Serikat mengaku lebih rajin berdo’a meminta Tuhan mengakhiri wabah. Fenomena sama juga terjadi di Indonesia.
Kesadaran beragama bukan semata giatnya menjalani ritual. Ketakwaan jalan kembali ke fitrah yang pada akhirnya memunculkan kesadaran perlunya menjalin hubungan baik ke mahluk lain. Relevansi ketakwaan dan meningkatnya kepedulian sosial dapat dibuktikan. Hasil survei lembaga internasional menempatkan Indonesia di peringkat teratas negara paling dermawan. Disamping antusiasme berderma dan berjiwa sosial tinggi ternyata Indonesia juga berada di peringkat teratas negara paling religius. Mengutip hasil survei Pew Research Center melaporkan 96 persen responden mengganggap keimanan kunci moralitas seseorang dan 98 persen menganggap agama penting dalam kehidupan. Selama pandemi banyak kisah tersaji di media sosial dan pemberitaan perihal meningkatnya kepedulian antar sesama warga; yang mampu membantu yang lemah; Meningkatnya kepedulian membela kepentingan kelompok termarjinal; Keberanian menyuarakan ketimpangan dan kritik terhadap kebijakan Pemerintah dalam penanganan pandemi dan lain-lain.
Kepahlawanan Sosial
Ketakwaan dan kepedulian terhadap sesama inilah esensi yang bisa dipetik dari momen Idul Adha. Kisah nabi Ibrahim As dan nabi Ismail As insipirasi bagi peradaban. Syariat kurban mengandung makna hubungan dengan Allah SWT tak bisa dipisahkan dengan kepedulian terhadap sesama. Keduanya satu kesatuan tak terpisahkan. Aspek religius haruslah melahirkan altruisme dan humanisme. Kekuatan inilah yang menjaga bangsa Indonesia sejak perjuangan kemerdekaan hingga kini. Pandemi hanyalah satu dari sekian tantangan yang sebelumnya telah berlalu ujian lebih berat bagi bangsa Indonesia. Meski rasa frustasi, kebimbangan dan beban menghantui pikiran dan jasad setiap insan, selagi ketakwaan dan kepahlawan sosial terus bersemi dalam diri yakinlah kita mampu melewatinya. Spirit sama yang memotivasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menaja program tebar 1.000.000 paket kurban ke pelosok negeri di Idul Adha tahun ini. Mengingat program pangan sangat penting. Selain menjaga pola hidup sehat, masyarakat butuh kecukupan nutrisi.
Jadi, aksi adalah penentu saat ini. Sayangnya, menguatnya kepekaan sosial di tengah masyarakat justru direspon dengan pendekatan kurang tepat oleh pemangku kekuasaan. Contoh saja kegemaran pejabat dan instansi menyematkan istilah gotong-royong dalam berbagai program Pemerintah. Bukan mengundang empati, cara tadi justru terkesan mengeksploitasi kebaikan warga. Semestinya kesadaran sosial masyarakat biarkan saja mengalir apa adanya, adapun Negara urus saja lingkup tanggungjawabnya semaksimal mungkin. Apalagi ironi justru terjadi di masa kritis. Bukannya berkorban kebijakan anggaran demi rakyat, Pemerintah malah hitung-hitungan. Lihat saja program vaksinasi, semula malah diperbolehkan untuk dijual dengan embel-embel gotong-royong. Meski keputusan akhirnya dibatalkan setelah mengundang cibiran dan kritikan, kebijakan tadi kadung menuai persepsi buruk. Diperparah dengan pernyataan pejabat negara bahwa vaksinasi gotong-royong demi mengurangi beban negara. Padahal di saat sama Pemerintah belum optimal menjaga masyarakat bebas dari rasa khawatir atas kehidupan selama upaya pencegahan penularan seperti pembatasan sosial. Begitupula jaminan terhadap profesi dan mata pencaharian yang terdampak pandemi berikut terhadap pejuang garda terdepan seperti tenaga kesehatan yang untuk hak mendasar seperti insentif saja penyalurannya tak lancar. Wajar bila warga mengharapkan pemangku kekuasaan memberi contoh pengorbanan di waktu krisis seperti sekarang. Belajar dari peristiwa Idul Adha, nabi Ibrahim AS sebagai sosok pemimpin dan anaknya nabi Ismail AS memberi contoh langsung pengorbanan dimaksud. Bukan sekedar jargon. Berdasarkan itu, Pemerintah mulai pusat dan daerah dituntut lebih mengoptimalkan alokasi dan realisasi anggaran. Bila dianggap perlu, lakukan rasionalisasi belanja dengan menunda proyek yang tak terlalu penting dan menguras anggaran. Dan memastikan alokasi untuk memenuhi kebutuhan warga berupa pangan, kesehatan dan pemulihan ekonomi agar mereka dapat bertahan.
SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU