Siang, 01 Oktober 2018 sebuah panggilan di akun telegram.
“Kami baru selesai rapat. Kami putuskan antum berangkat ke Palu. Esok hari!” demikian suara di seberang sana memberikan arahan.
“Siap, Ustadz!” jawabku. Tak ada sedikitpun terbersit untuk menolak.
Panggilan itu tak lain berasal dari Ketua DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Provinsi Riau Hendry Munief.
Aku sama sekali belum mengabari istriku. Belum mengatur rencana kerja di perusahaanku saat kutinggalkan. Namun mengucapkan kata “Siap!” seolah harga yang sempurna untuk kami dalam memenuhi panggilan ini.
Segera kutelpon istriku di rumah. Aku minta ia mempersiapkan segala kebutuhan yang selalu kubawa menyambangi daerah bencana.
“Seperti apa yang dibawa ke Lombok. Karena kemungkinan via darat sampai lima belas jam, tolong ranselnya yang 40 liter saja,”
Istriku sudah sangat memahami arahan ini. Ia juga bukan orang yang terbiasa menolak penugasanku ke daerah bencana.
“Apa sudah hilang trauma di Lombok?” kalimat itu begitu lemah.
“Aku coba. Insya Allah bisa diatasi,”
Ya. Saat aku bergabung di Tim Unit Reaksi Cepat DPW PKS Riau di Lombok, aku juga mengalami gempa berkali-kali.
Paling mengerikan ketika aku membawa seorang anak ke salah satu Rumah Sakit Swasta di Mataram. Saat itu pula gempa terjadi. Seisi Rumah Sakit berhamburan. Aku menyaksikan kepanikan tak terperi. Ngeri!
Malam terakhir saat berada di Mataram, di tengah tidurku, aku terbangun mendadak. Berlari dan bertakbir. Aku seperti merasakan gempa yang teramat dahsyat terjadi!
Namun ternyata, itu perasaanku saja. Tidak ada gempa terjadi. Beberapa petugas jaga di Markaz Dakwah DPW PKS Nusa Tenggara Barat (NTB) menenangkanku. Jiwaku terguncang.
Tak berhenti sampai di situ, aku masih kerap kali merasakan badanku sempoyongan tanpa sebab; aku trauma!
Namun lagi-lagi ini panggilan jiwa. Tak kuasa kutolak. Ini bagian dari hidupku yang paling mengesankan. Itu saja!
“Hanin bagaimana?” ujarnya dari seberang. Terdengar berat. Ia menyebut nama anak kami yang berusia sebelas bulan.
“Insya Allah dia akan paham,” aku menjawab singkat.
Keluarga kami sama seperti keluargamu, Sahabat. Ingin kebersamaan, quality time, serta keceriaan yang terus direngguk bersama dalam satu tempat.
Namun kami ingin memilih jalan berbeda. Kami merajut cinta dalam pengabdian kepada sesama. Berazzam menjadi insan-insan bermanfaat. Terlebih kami berdiri bersama dalam barisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai yang terdepan dalam bidang kemanusiaan.
Partai yang para kadernya berebut demi mengabdi dalam kebaikan. Partai yang pemimpinnya shalih, dan sangat sedikit tertidur karena memikirkan kesusahan sesama, termasuk para korban di lokasi bencana.
“Berangkatlah. Mungkin kita akan ke Jannah-Nya dengan amal bakti di daerah bencana ini,” demikian pesan singkat istriku melalui WhatsApp.
Aku terenyuh. Darah kami, ditempa dalam tarbiyah. Jiwa kami, diasah dalam gerak jamaah. Azzam kami diasuh dalam Lillah. Setidaknya demikian yang kupahami.
Kulangkahkan kakiku mantap. Kegendong ranselku. Aku tahu, istriku menitikan air mata. Biarlah sedih hanya sementara.
Kutahu pula ia bangga; bahwa aku suaminya, yang gagah melangkah untuk mengabdi pada sesama!
Kang Ewa
Menunggu Penerbangan ke Palu
Balikpapan, 03/10/18