Jalan Para Aktivis

Oleh: Wamdi Jihadi

Kehidupan sederhana membuat Nurcholis Madjid dan Omi (istrinya) tidak terlalu risau dengan uang. Tetapi, persoalannya berbeda ketika Nadia sakit. Saat itu usianya belum genap satu tahun. Sudah dua hari badannya panas, dan mereka tidak punya uang untuk membawanya ke dokter. Omi mengumpulkan botol dan koran bekas. Lalu ia menjualnya, “Uangnya untuk berobat, kalau ada sisanya untuk beli telor buat Nadia.”

Saya memulai tulisan ini dengan mata berkabut, menangis. Pembuka yang saya kutip dari bukunya Ahmad Gaus AF, ‘Api Islam Nurcholish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner’ betul-betul merasuk dalam sanubari. Ada seorang tokoh besar, gembongnya aktivis yang memperjuangkan nilai-nilai tapi mesti bertarung habis-habisan dengan kerasnya kehidupan perekonomian rumah tangga.

Bila demikian adanya kehidupan seorang aktivis, maka kita seperti dihadapkan dengan dua pilihan; melanjutkan kegiatantersebut dengan segala resikonya, atau berfokus saja dengan kesibukan meningkatkan taraf kehidupan. Idealnya memang kedua-duanya seiring sejalan, namun terkadang yang terjadi tidak saling menggenapi.

Aktivis, ada teman-teman yang menyebutnya sebagai akronim dari ‘aktif dengan kantong tipis.’ Ke sana ke mari hilir mudik tapi tidak menghasilkan finansial. Seperti misalnya menghadiri diskusi dengan mahasiswa, kajian, rapat, memobilasi demonstrasi, turun melakukan aktivitas sosial di masyarakat, dan lain sebagainya. Namun, yakinlah di atas sekedar hitungan angka-angka ada kepuasan di dalam sana. Ada nilai yang tersampaikan, yang mungkin masih sebagai kecambah tapi suatu hari ia akan tumbuh dan berkembang.

Seperti hal-nya para founding fathersbangsa kita ini, walaupun mereka pada akhirnya menduduki jabatan tertentu, namun jiwa aktivisnya tidak pernah layu, justeru di saat itulah menemukan momentumnya, dari sekedar bersuara menjadi pemegang kuasa. Lihat misalnya bung Hatta yang tidak menjadikan jabatan sebagai kapal keruk kekayaan, bahkan ia pernah menyimpan foto sepatu Bally di dompetnya dengan harapan bila cukup uang baru akan dibelinya, namun sayang hingga ia tutup usiaharapan itu tidak pernah kesampaian.

Dan kalau kita lihat salah satu bolongnya bangunan dari rumah kebangsaan pada diri pemimpin kita hari ini diberbagai level, maka ‘jiwa aktivis’ adalah jawabannya. Harusnya mereka datang memberi, bukan mengambil. Hadir untuk melindungi, bukan pembiaran (kalau tidak dikatakan menzolimi). Dan naik untuk sebuah perhatian, bukan justeru minta diperhatikan.

Menjadi aktivis itu sebuah pilihan, pilihan yang hanya dilihat oleh mata yang batasnya tidak hanya dinding yang tampak di muka. Pilihan untuk tidak menempuh jalan-jalan yang banyak dilalui manusia. Sebuah pilihan untuk pemuliaan jiwa.

Baca Juga

Misi Menjaga Fitrah

Pekanbaru – Tak terasa bulan suci dan penuh limpahan keberkahan telah berlalu. Tinggalkan sejuta kenangan. …