Jakarta – Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PKS Syahrul Aidi Maazat menyebut mafia tanah masih berkeliaran di Indonesia saat ini. Imbas dari kegaduhan yang mereka buat yaitu saat pelaksanaan ganti rugi lahan tol Pekanbaru-Padang Ruas Pekanbaru-Bangkinang. Dia meminta presiden segera putus mata rantai mafia tanah di level nasional.
Hal itu dia sampaikan usai melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi V DPR RI dengan Kementerian PUPR yang membidangi pengembangan jalan tol nasional pada Selasa (26/5/2021). “Kebetulan pak menteri dan presiden ke Riau meninjau perkembangan jalan tol Pekanbaru-Padang. Saya diminta oleh masyarakat di sana kepada pak menteri terkait pengadaan lahan untuk jalan tersebut. Ada masalah yaitu di 2018, status lahan disana setelah penetapan Perda RTRW berubah statusnya dari HPL (Hak Penggunaan Lainnya) menjadi HPK (Hutan Produksi Konversi). Jadi lahan masyarakat” kata Syahrul Aidi sesuai dengan video yang beredar.
Syahrul Aidi melanjutkan dia mendengar kabar, ada mafia yang bermain pada saat penetapan RTRW tesebut. Dimana, kebun-kebun perusahaan di inklaf (dikeluarkan) dari HPK menjadi HPL. Untuk mengganti itu, dicaploklah lahan masyarakat yang awalnya HPL menjadi HPK. Masyarakat tidak tahu. Masalahnya, katanya, ketika ada tanah masyarakat yang saat ini berstatus HPK dan terkena jalur pembangunan jalan tol, masyarakat tidak mendapatkan ganti rugi.
Dia menyarankan ke Menteri PUPR, untuk menyelesaikan persoalan ini jangan melakukan pendekatan hukum saja. Namun juga melakukan pendekatan sosial. “Kalau ini dilakukan, maka masyarakat akan terzolimi. Karena orang hukum akan membaca dasar hukumnya saja.” tegas Syahrul Aidi lagi.
“Saya mewakili masyarakat disana ingin menyampaikan, mohon kita melakukan koordinasi dengan Kementerian LHK mengenai status lahan masyarakat ini jangan melalui pendekatan hukum saja. Karena status HPK lahan masyarakat ini baru di 2018” tegasnya.
Status lahan yang dipolemikkan oleh Syahrul Aidi tersebut berada di Desa Kualu Nenas Kabupaten Kampar Riau. Salah seorang warga terkena imbas yaitu Herman menyebut lahan warga yang terkena HPK seluas 50 hektar dengan pemiliknya sekitar 50 orang. Warga telah mengelola lahan tersebut sejak tahun 1965 dan tidak jauh dari wilayah perkampungan. ***