Rentang waktu belakangan, ada sejumlah pernyataan dirasa kurang tepat dan berpotensi bias dilontarkan oleh pejabat lembaga/badan negara ke publik dalam konteks terorisme. Diawali jelang akhir tahun 2021, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam himbauannya ke masyarakat untuk berhati-hati saat hendak memberikan sumbangan, sempat menyinggung modus kelompok teroris menjadikan kotak amal sebagai wadah pengumpulan dana untuk memberangkatkan anak-anak muda ke Irak dan Suriah. Kemudian diawal tahun 2022 dalam agenda Halaqah Kebangsaan Optimalisasi Islam Wasathiyah dalam Mencegah Ekstremisme dan Terorisme yang digelar MUI disiarkan di kanal YouTube MUI, Rabu (26/1), Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri mengaku akan melakukan pemetaan terhadap masjid untuk mencegah penyebaran paham terorisme. Dalam tayangan, sang pejabat tak merinci masjid mana saja masuk dalam pemetaan Polri. Dia hanya mengatakan ada masjid cenderung “keras”. Entah apa pemaknaan keras dimaksud, wallahualam. Masjid pun dikelompokkan ke dalam warna: “ada yang hijau, ada yang keras, ada yang semi keras dan sebagainya. Ini jadi perhatian kita semua,” katanya.
Perihal berderma, himbauan pejabat BNPT tak salah. Supaya masyarakat sadar dan rasional menyalurkan sumbangan ke tempat dinilai tepat. Maksud tepat disini penyaluran melalui sarana atau lembaga yang bisa mempertanggungjawabkan dana sampai tujuan sesuai kaidah agama, peraturan dan manajemen yang baik. Masalah pernyataan pejabat tadi, seharusnya isu derma membawa-bawa kotak amal ditelaah lebih dulu dalam lingkup terbatas. Melibatkan aparat terkait dan pemangku kepentingan mulai pemuka dan Ormas agama terkemuka agar dapat ditangani secara profesional. Bukankah seharusnya agenda memerangi terorisme dilakukan secara senyap dan tersistematis? Berkoar ke publik agaknya bukan cara ideal intelijen bekerja. Apalagi statement tanpa didukung data dan tafsiran utuh. Seperti mengkategorikan masjid berdasarkan warna. Justru menuai pertanyaan dan keraguan umat. Dasarnya apa? Lantas apa kriterianya? Apakah ketika menyinggung isu politik, ekonomi dan sosial, masjid akan dikategorikan “radikal”? Cara penyampaian tanpa konsep nan jelas selain bisa menyesatkan juga mengganggu kondusifitas. Kita mendukung lembaga dan institusi negara memerangi terorisme. Tapi arah dan kerangka bekerja harus jelas. Dengan begitu cara sama dipakai menindak semua gerakan terindikasi dan resmi dinyatakan teroris. Jangan malah ada kelompok yang mau dirangkul.
Sentra Umat
Tulisan ini tak akan menyinggung lebih dalam soal masjid, kotak amal dan isu terorisme. Karena untuk mengatasinya pemahaman kami cukup sederhana: persempit celah kejahatan dengan memperbanyak kebaikan. Memetakan masjid ini radikal dan itu tidak bukan cara bijak apabila niatnya benar-benar mau menangani terorisme. Ujungnya malah blunder sehubungan bakal muncul resistensi dari kalangan masyarakat sebab kacamata yang dipakai sangat subjektif dan tanpa indikator terukur. Bukan meminimalisir, pendekatan berkoar ke publik juga memberi panggung ke teroris. Alhasil mereka beranggapan benar-benar besar padahal faktanya secara jumlah tak sampai nol koma sekian persen. Berangkat dari sini, perspektif lebih penting dikedepankan justru dengan menebar kesadaran warga untuk lebih memfungsikan masjid. Seiring makin tumbuh kesadaran dalam diri umat, maka akan mempersempit ruang bagi upaya-upaya pihak lain untuk menggerogoti citra masjid yang begitu positif keberadaannya bagi negeri. Jadi bukan umbar pernyataan yang dapat melahirkan prasangka atas masjid, sebaliknya bagaimana mendekatkan umat dengan sarana pembentuk modal sosial tersebut.
Apalagi peran masjid sangat sentral dan berpengaruh bagi umat Islam di Indonesia selaku mayoritas khususnya berikut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara umumnya. Sebagai wadah pengajaran ilmu dan hukum agama dan humaniora, media penguatan spirit dan soliditas umat, pusat konsolidasi gerakan memerdekakan negeri di masa perjuangan dulu kala hingga rekayasa sosial dan membangun lingkungan ke arah lebih baik pada masa paska kemerdekaan sampai detik ini. Berkaca pada pengaruh yang demikian kuat, tak heran di masa penjajahan dan pemberontakan seperti PKI, masjid tempat yang perlu diwaspadai mengingat penyumbang utama gerakan perlawanan. Selain sumber kontra terhadap pihak dan musuh bangsa secara fisik, masjid juga telah lama difungsikan menentang segala bentuk kezaliman dan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip agama dan moralitas serta rasa kemanusiaan. Termasuk memproteksi umat dan masyarakat dari penindasan ekonomi.
Bahkan cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI) dulu berasal dari kas masjid. Berawal dari kegelisahan Patih Banyumas yang juga wakil bupati, Raden Wirjaatmadja melihat abdi publik (sama dengan PNS) guru sekolah terjebak pinjaman bunga tinggi. Ya, tak jauh beda dengan kini ada Pinjol. Pinjam-meminjam dengan “lintah darat” dan rentenir sudah jadi kebiasaan priyayi dan abdi publik zaman itu. Berbekal keahlian dalam keuangan dan sudah dipercaya mengelola kas masjid kota Purwokerto sebesar 4.000 gulden, sang Patih berkeinginan menolong masyarakat. Uang kas dipakai untuk memberi pinjaman ke pegawai rendahan yang membutuhkan. Upaya kemudian berlanjut menyasar para petani. Mengutip dari buku One Hundred Years Bank Rakyat Indonesia 1895-1995 dan Warta BRI (1982), pada 16 Desember 1895 sang Patih bersama rekannya mendirikan De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden atau Bank Simpan Pinjam Pemuka Bumputra Purwokerto. Di tahun 1897 bank tersebut bergantinama Poerwokertosche Hulp en Spaar Landbouw Credietbank alias Bank Kredit Simpan Pinjam Pertanian Purwokerto. Tahun selanjutnya dikenal sebagai Volksbank alias Bank Rakyat, kadang diterjemahkan sebagai Bank Desa yang terus tumbuh di berbagai tempat.
Revitalisasi
Upaya perlawanan seperti di atas sangat relevan diangkat dalam upaya memperkuat peran masjid. Kezaliman dan penindasan akan terus dan selalu ada. Terutama dalam lingkup perekonomian. Mayoritas masyarakat masih dalam posisi rentan akibat belum optimalnya negara (baca: pemerintah) jalankan amanah UUD 1945 dan melindungi kepentingan ekonomi dalam negeri. Ditambah praktik-praktik membuat ekonomi nasional dikuasai segelintir golongan. Makin pelik di ranah akar rumput menyeruak kasus pinjaman yang menjerat warga dengan bunga tinggi dan dihantui terror baik itu berupa Pinjol dan lainnya. Harus diakui praktik-praktik rentenir masih mengkhawatirkan. Merespon fenomena, sejumlah daerah sudah mulai muncul gerakan. Dalam lingkup provinsi kita bisa meniru upaya Jawa Barat turut difasilitasi Pemerintah Provinsi (Pemprov), menghadirkan sektor jasa keuangan yang dapat memberikan pinjaman ringan bagi warga melalui instrumen jasa keuangan syariah berupa Bank Wakaf Mikro dan bank syariah yang bisa diakses melalui masjid-masjid. Pendekatan tadi jelas strategis. Sebab masjid punya daya keterjangkauan sangat tinggi dan sudah terbentuk komunitas serta rasa saling mengenal antara pengurus masjid dan warga.
Riau perlu menempuh cara serupa guna menyiasati problem ekonomi umat dan masyarakat. Menimbang Riau berbudaya melayu yang identik dengan ajaran Islam. Meski tak sebanyak Jawa Barat, jumlah masjid di Provinsi Riau tergolong signifikan. Ditambah keberadaan sekolah dan bentuk sarana pendidikan agama lain seperti pondok pesantren. Dari sini tergambar potensi besar pemanfaatan sektor keuangan syariah. Seiring sudah berjalan program-program seperti dana Wakaf yang diinisiasi Bank Indonesia (BI), hingga Juli 2021 telah mengumpulkan sebanyak Rp212 Miliar berasal dari dana wakaf sebanyak Rp7,7 miliar dan komitmen wakaf senilai Rp205 miliar. Berikut komitmen BI mendukung pengembangan instrumen sosial milik umat Islam dalam upaya mensejahterakan umat yang salah satunya dikemas dalam kegiatan Gerakan Riau Berwakaf 2021, dan begitujuga di sisi pengambil kebijakan yakni Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau juga telah menaja program serupa dengan gerakan wakaf Rp 1.000 per orang. Tinggal sekarang bagaimana membentuk ekosistem yang solid terdiri dari pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dan bersinergi. Supaya wakaf tersebut dirasakan langsung manfaatnya oleh warga dan diimplementasikan secara luas.
Pendekatan dipaparkan barusan akan efektif dijalankan apabila melibatkan masjid. Kembali mengulang apa yang telah disampaikan sebelumnya, daripada melontarkan pernyataan masjid radikal yang multitafsir dan bisa berujung ambigu, merevitalisasi peran masjid sebagai sarana perbaikan kondisi bangsa jauh lebih urgen untuk dilempar ke publik. Percuma membahas terorisme sampai mulut berbuih jika akarnya yakni kemiskinan lalai dibenahi. Pendekatan seharusnya komprehensif dan memukul langsung inti permasalahan. Terorisme pada dasarnya gerakan berbasis ideologi. Ketidakadilan, penindasan, kemiskinan dan aspek-aspek yang menurunkan derajat kemanusiaan ibarat pupuk yang menyuburkan eksistensinya.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU