MENGATASI KESENJANGAN DUNIA PENDIDIKAN

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau melalui Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Riau membentuk tim Pengentasan Anak Tidak Sekolah (PANTAS). Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disdik Provinsi Riau, M Job Kurniawan mengatakan bahwa program tadi merupakan salah satu program Kepala Daerah dalam rangka menuntaskan wajib belajar 12 tahun. Adapun program PANTAS berupaya mengotimalkan pusat kegiatan belajar masyarakat PKBM lewat paket C dan mengoptimalkan program SMA terbuka khusus di daerah 3T terpencil, serta memotivasi masyarakat orang tua bagaimana anak bisa bersekolah. Adapun kegiatan meliputi pendataan dan menginventarisasi agar dapat diketahui latar belakang dan penyebab kenapa anak tidak sekolah, sebagai bahan untuk mengambil solusi dan kebijakan. Dalam implementasi, tim PANTAS juga melibatkan seluruh stokeholder seperti BKKBN, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Riau, dinas pendidikan kabupaten/kota, akademisi, tokoh masyarakat, cabang dinas dan lainnya.

Langkah Pemprov di atas patut diapresiasi. Sebagaimana kita ketahui, pendidikan merupakan proses sangat penting dalam pembentukan pola pikir dan karakter manusia. Selain menjadi sarana menambah wawasan dan meningkatkan kualitas SDM, pendidikan juga faktor yang dapat menempa kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah. Di tataran praktis lumrah ada pemikiran awam mengganggap pendidikan ibarat tiket menuju pencapaian lebih baik dari sisi perekonomian atau sederhananya membuka peluang kesempatan kerja. Adapun bagi kepentingan bangsa, semakin baik kualitas SDM maka semakin maju dan berkembang bangsa tersebut. Berangkat dari urgensi pendidikan itulah Pemerintah mengusung program Wajib Belajar 12 Tahun, sebuah program lanjutan dari program Wajib Belajar 9 Tahun yang mana menurut Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah program pendidikan minimal yang seharusnya dapat diikuti oleh warga negara Indonesia. Tugas ini menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Kronis

kita berharap ikhtiar Pemprov Riau berujung langkah konkrit mengatasi akar permasalahan. Tak bisa dipungkiri sektor pendidikan punya masalah tersendiri di negeri ini. Paling mengemuka soal kesenjangan. Ini sebenarnya klise tapi hingga kini masih menghantui dunia pendidikan kita. Paling ketara perihal sarana dan fasilitas. Jangankan antara swasta dengan negeri, sesama sekolah negeri juga alami hal sama. Sebut saja antara sekolah negeri kota dan desa; sekolah “favorit” dan “non favorit” dan lain-lain. Siswa dari keluarga kelompok ekonomi ke bawah kesulitan mendapat kesempatan pendidikan lebih baik. Ketika anak usia sekolah idealnya menghabiskan waktu untuk belajar, masih banyak anak harus berjuang nyambi bekerja untuk lanjutkan sekolah sekaligus bantu menghidupi keluarga. Persoalan ekonomi bukan faktor tunggal penghambat mereka bersekolah. Seringkali komplikasi keterbatasan ekonomi yang mereka alami dibenturkan dengan tuntutan pengeluaran untuk bersekolah. Mulai keperluan operasional ke sekolah sampai kutipan uang atau biaya yang memberatkan dan terkadang dilakukan secara serampangan. Sebagian dapat ditanggulangi setelah viral di berita dan sosial media.

Kembali menyoal Riau, problem pendidikan boleh dibilang cukup kronis. Paling gerah tentunya kabar Riau menempati rangking ketiga nasional persentase tertinggi angka putus sekolah. Secara garis besar ada beberapa faktor penyebab anak tidak sekolah atau putus sekolah di Riau. Mulai persoalan geografi, ekonomi, sosial dan kesenjangan antar sekolah SMP dengan SMA serta sarana. Yang disinggung terakhir termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau 2019-2024 mengungkap kondisi bangunan sekolah di Riau sebagian besar dalam keadaan rusak. Selama tahun 2021 Pemprov Riau berupaya membangun ratusan Ruang Kelas Baru (RKB) di berbagai daerah. Namun pembangunan masih kurang untuk memenuhi kebutuhan. Karena ini tak hanya menyoal kualitas berupa perbaikan tapi juga kuantitas. Terutama pelosok desa, masih banyak jauh dari jangkauan sekolah. Laporan dinas terkait menyebut bahwa dari Angka Partisipasi Sekolah (APK) dari SMP/MTs ke SMA/SMK/MA mengungkap bahwa masih ada puluhan ribu siswa tak tertampung setiap tahunnya. Temuan barusan bukan informasi baru. Di sisi lain, implikasi belum meratanya sarana-prasarana sekolah negeri memicu gejolak tiap tahun manakala Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Belum memadainya jumlah sekolah negeri di zonasi berdampak pada tidak terpenuhinya hak pendidikan bagi setiap anak. Berkaca dari PPDB sistem zonasi telah berjalan, eksekusinya boleh dibilang kurang terukur. Terkesan Pemda kurang paham daerahnya sendiri. Baik itu lalai mempertimbangkan jumlah dan penyebaran sekolah negeri, kepadatan penduduk di suatu tempat dengan ketersediaan jumlah sekolah negeri dan aspek lainnya.

Penghambat

Problematika kesenjangan di sektor pendidikan jelas penghambat utama mewujudkan kemajuan daerah jika tidak ditanggulangi secara sistematis dan responsif. Pengalaman selama pandemi yang mengungkap berbagai kekurangan selama ini luput dari perhatian semestinya menyadarkan pemangku kepentingan untuk berbenah. Selama pandemi terbukti kesenjangan dihadapkan perubahan metode pembelajaran berbasis daring menghasilkan shock nasional. Kebijakan dipaksakan jalan secara mendadak tanpa didahului penguatan unsur utama pendidikan seperti sarana dan prasarana serta tenaga pengajar. Mengacu ke fenomena tersebut, kebijakan merdeka belajar yang pernah dicanangkan Menteri Nadiem Makarim dipertanyakan. Karena istilah “merdeka belajar” bermakna bebas, independen, tanpa ada tekanan. Namun nyatanya di lapangan justru menambah beban. Meski konsep pembelajaran daring punya nilai positif, tapi pelaksanaannya terkesan latah dan sekedar ikut-ikutan tren online. Padahal pelaksanaan daring butuh penguasaan mumpuni. Bagi para siswa di pedalaman tentu makin kesulitan dan membuat mereka makin tertinggal.

Kita berharap upaya pusat dan daerah membenahi pendidikan realistis. Seringkali perubahan kebijakan mengundang kontroversi. Habis dibuat lalu diralat. Sementara akar permasalahan pendidikan terlupakan. Termasuk paling hangat rencana revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Mengutip pemberitaan media massa, ada hal menarik saat Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) bertemu dengan Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan kritik terhadap rencana revisi UU tersebut. Dalam kesempatan itu, APPI terkejut ternyata Presiden Jokowi belum mengetahui proses perubahan UU Sisdiknas. Setelah mendengar masukan, Presiden Jokowi setuju membuat kajian sebelum revisi UU Sisdiknas, supaya ada perumusan peta jalan pendidikan sebelum pemerintah dan DPR mengubah UU. Meski respon Presiden bagus, tapi agak lucu rasanya revisi UU substansial ditempuh tanpa kajian komprehensif. Sedari awal revisi UU Sisdiknas menuai polemik sebab dianggap jauh dari semangat gotong royong dan kontraproduktif dengan visi Jokowi membangun SDM unggul. Belum lagi tudingan lain terhadap muatan RUU seperti isu permulaan penghapusan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), penghapusan frasa madrasah dan sejumlah isu krusial lain.

Membahas langkah realistis, pembenahan kesenjangan sarana dan prasarana serta penguatan aktor utama di bidang pendidikan harusnya diprioritaskan. Di lingkup daerah, Pendekatan Pemprov di tahun 2021 sebagaimana tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) menyasar permasalahan pembangunan SDM dipandang sudah oke. Sekarang tinggal konsistensi. Terutama pembenahan akses pelayanan pendidikan masih rendah dan rasio ketersediaan sekolah belum memenuhi standar berikut memfasilitasi guru yang belum berkualifikasi S1/DIV dan akses pendidikan lebih baik bagi penyandang disabilitas. Mengenai tenaga pengajar, dari publikasi statistik pendidikan Provinsi Riau didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau bahwa ada kesenjangan persentase guru layak mengajar di Riau. Guru yang telah memenuhi syarat kualifikasi akademik tersebut dikelompokkan sebagai guru layak mengajar oleh Kemendikbud. Berdasarkan jenjang pendidikan, terjadi kesenjangan persentase guru layak mengajar antara jenjang pendidikan SMA dan SMK. Selain kualitas, beban kerja guru juga turut mempengaruhi bagaimana kualitas proses belajar mengajar di dalam kelas. Beban kerja guru tersebut dapat dilihat dengan menghitung rasio murid-guru yang menggambarkan jumlah murid terhadap jumlah guru pada jenjang pendidikan tertentu. Hal-hal mendasar inilah seharusnya mendapat porsi perhatian dalam kebijakan ke depan.

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau

Baca Juga

ISRA’ MI’RAJ DAN SPIRIT PERUBAHAN

 “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil …