Mengawal Spirit Otonomi Daerah

Beberapa hari lalu, Badan Dinas Pendapatan Daerah (Bapenda/Dispenda) se-Indonesia menggelar Rapat Koordinasi Teknis Nasional (Rekorteknas) bertempat di Kota Pekanbaru sebagai tuan rumah. Acara tersebut dibuka oleh Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri. Dari beberapa topik pembahasan dalam Rakorteknas, ada satu topik menarik untuk diangkat, perihal Rancangan Undang-undang (RUU) Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Dalam Rakorteknas turut diagendakan perumusan usulan dari Pemda selaku peserta untuk kemudian disampaikan sebagai masukan dalam pembahasan RUU. Informasi terakhir, beleid yang prosesnya dimulai 2010 kembali digesa agar bisa segera tuntas. Secara maraton, Komisi XI DPR RI akhirnya telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU ke Menteri Keuangan (Menkeu) setelah sebelumnya melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk menampung masukan dari berbagai kalangan.

Lantas kenapa RUU HKPD pantas mendapat perhatian? Karena aturan ini nantinya mengatur ulang tata kelola hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, serta UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Secara umum Menkeu menyebut beberapa objek utama RUU adalah restrukturisasi jenis pajak daerah, perluasan basis perpajakan daerah dan penyederhanaan jenis retribusi daerah. Namun diskursus dalam pembahasan RUU memantik skeptisme dan mengundang kecurigaan motif lain. Paling mengemuka soal transfer Dana Alokasi Umum (DAU). Dari naskah akademik dan draf RUU HKPD yang disampaikan Pemerintah melalui Surpres (Surat Presiden) ke DPR, tidak didapati lagi klausul dan ketentuan yang menyebutkan persentase pagu dalam transfer DAU ke daerah ditetapkan sekurangnya sebesar 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri Neto.

Konsekuensi

Konsekuensi paling dikhawatirkan dari perubahan, ke depan pemerintah pusat bisa “sesuka hati” menentukan besaran anggaran DAU ke daerah, mengingat tak ada lagi ketetapan yang mengatur porsi. Di satu sisi, alasan pemerintah pusat bisa saja tampak heroik dan masuk akal yakni supaya transfer ke daerah lebih “dinamis” dan tidak terbaku batasan minimal plus meminta pengertian bahwasanya kondisi keuangan/penerimaan negara saat ini tengah dalam tekanan hebat. Namun perlu dipertimbangkan pula, jika RUU HKPD disahkan dan klausul tersebut berlaku tentu beban keuangan daerah ke depan dipastikan bakal bertambah berat. Mengingat DAU juga menjadi salah satu komponen pendapatan bagi APBD, yang mana angka 26 persen selama ini menjadi rujukan Pemda dalam merencanakan APBD. Pemda tentu lebih suka dan memilih DAU bersifat fix sehingga penerimaan tidak bertambah merosot.

Selain soal DAU, aspirasi dan tuntutan lain yang urgen untuk diakomodir dalam RUU HKPD tentang porsi pembagian hasil kekayaan lebih adil dan transparan. Patut diapresiasi Pemprov Riau diwakili oleh saudara Asisten III Pemprov Riau Syahrial Abdi turut bersuara dalam diskusi nasional secara virtual bertema “RUU HKPD Dalam Tinjauan Penguatan Desentralisasi Fiskal Pusat dan Daerah untuk Keadilan Bagi Rakyat Indonesia”, yang digelar Forum Rakyat Kaltim Bersatu (FRKB) bersama Pemprov Kalimantan Timur (Kaltim). Kesamaan Riau dan Katim dalam momentum ini adalah sebagai provinsi penghasil sawit terbesar di Indonesia tapi belum pernah menikmati Dana Bagi Hasil (DBH) perkebunan sawit. Padahal di saat sama Riau, Kaltim dan provinsi lain yang punya keunggulan sumber daya alam justru jadi pihak pertama yang menanggung risiko akibat kerusakan infrastruktur dan lingkungan yang timbul dari kegiatan dan aktivitas eksploitasi sumber daya alam di daerahnya.

Perkuat Otoda

Oleh karena itu, RUU HKPD harus dapat memperkuat spirit Otonomi Daerah (Otoda) sebagai produk reformasi di bidang politik dan pemerintahan. Artinya Otoda harus menjadi spirit yang mendasari penyusunan. Diantaranya mendorong pengelolaan dan pengalokasian sumber daya nasional secara transparan, akuntabel dan berkeadilan bagi daerah. Paling ketara sebagaimana telah disinggung soal DBH dan perhatian terhadap daerah penghasil sumber daya alam dan penyumbang ekspor. Jika membandingkan belanja pemerintah pusat dan daerah, alokasi belanja di kementerian atau lembaga lebih mendominasi dibandingkan daerah. Wajar muncul asumsi bahwa perimbangan keuangan pusat dan daerah masih jauh dari kata adil. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pun mencatat kesimpulan serupa, bahwa selama ini pengelolaan anggaran negara masih terpusat. Buktinya dana diberikan ke Pemda di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten/Kota belum menyentuh angka 30 persen. Pola ini bila dibiarkan terus terjadi, maka kesenjangan pusat dengan daerah makin menguat dan “menguatirkan”.

Pembahasan RUU HKPD juga diminta tidak terburu-buru apalagi sekedar mengutak-atik pasal. Kita menghendaki ada narasi lebih progresif yang berorientasi mewujudkan hubungan pusat dan daerah lebih baik di masa mendatang. Jika bisa terwujud, maka kelak ditulis dengan tinta emas sebagai warisan sejarah dalam berbangsa dan bernegara. Jangan sampai RUU HKPD membawa bangsa mundur dalam agenda reformasi. Teruntuk Riau, kita perlu mencontoh Provinsi Kaltim yang tampak cukup solid memperjuangkan aspirasi selama momen pembahasan RUU HKPD. Sampai-sampai mereka membentuk Forum Rakyat Kaltim Bersatu (FRKB). Daerah harus sadar mumpung masih proses penyusunan RUU tersebut harus dikawal. Termasuk paling konkrit bicara alokasi. Jika pusat berdalih utak-atik pasal dalam RUU HKPD disebabkan kondisi keuangan negara, maka jangan hanya daerah yang disuruh kencangkan ikat pinggang, pusat juga. Bila perlu, porsi alokasi APBN minimal 50 persen untuk daerah yang dibagi ke 34 provinsi dari Sabang sampai Merauke secara adil dan proporsional. Dengan begitu tidak lagi didominasi pusat. Seumpama biduk rumah tangga, bila pendapatan seret, jangan jatah makan anak dan istri saja dikurangi sementara sang bapak masih hedon dan kekenyangan. Susah sama susah senang sama senang, itu baru dinamakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Komisi II DPRD Riau Soroti Empat Masalah di UPT KPH Mandau

Duri – Komisi II DPRD Provinsi Riau melakukan Kunjungan Insidentil (Kuntil) ke Unit Pelaksana Teknis …