Hari Kebangkitan Nasional (HKN) yang diperingati setiap tanggal 20 Mei bukan sekedar momentum mengingat kembali sejarah bangsa. Tapi paling mendasar kesempatan untuk mengenali unsur utama menuju kemerdekaan bangsa. Mengulas sekilas sejarah HKN, kita akan mengidentikan peristiwa tumbuhnya rasa kesadaran rakyat sebagai “orang Indonesia” saat itu dengan berdirinya Boedi Oetomo (Budi Utomo). Karena memang pada 20 Mei 1908 itulah lahir organisasi Budi Utomo. Di masa itu, yang bisa mengenyam pendidikan sangat terbatas. Kemudian Politik Etis memungkinkan perluasan kesempatan pendidikan bagi penduduk asli Indonesia. Meski penerapan Politik Etis di bidang pendidikan kala itu hanya bisa diakses oleh anak-anak elit pribumi dan ditujukan untuk menyediakan tenaga kerja untuk birokrasi kolonial yang sedang tumbuh, sedikit banyak mempengaruhi penyebaran ide-ide politik tentang kebebasan dan kemerdekaan. Sehingga dari kelompok elit hasil pendidikan ini perlahan ikut andil dalam kebangkitan anti-kolonialisme dan kesadaran nasional.
Namun menggali dari berbagai sumber sejarah, banyak juga berpendapat bahwa Budi Utomo bukan satu-satunya gerakan yang patut diberi apresiasi atas tumbuhnya kesadaran berbangsa. Tanpa bermaksud mendiskreditkan, dasar pemilihan Budi Utomo sebagai pelopor kebangkitan nasional berulang kali dipertanyakan lantaran keanggotaan Budi Utomo hanya sebatas etnis dan teritorial Jawa. Ini terbukti pada kongres pertama di Yogyakarta pada 3-5 Oktober 1908, Dokter Tjipto Mangunkusumo yang waktu itu sudah menjadi dokter pribumi di Demak dengan keras mengemukakan pentingnya pendidikan bukan hanya untuk priyayi dan masyarakat Jawa tapi menyasar seluruh masyarakat Hindia Belanda. Ia mengusulkan lebih lanjut agar Budi Utomo mengorganisasikan diri secara politik untuk meningkatkan perannya. Namun usulan beliau malah ditolak oleh kongres. Sebab dalam anggaran dasar Budi Utomo tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis”.
Fakta di atas membuat tujuan Budi Utomo memang bersifat Jawa-Madura sentris, bukan nasional. Mungkin ada alasan kenapa begitu. Perihal sumbangsih disamping peran Budi Utomo, tak kalah penting diangkat adalah peran perkumpulan lain yang dianggap mewakili upaya membangun kesadaran dan kebangkitan nasional. Salah satunya kehadiran Sarekat Islam (SI). Berbeda dengan Boedi Oetomo, SI tidak membatasi keanggotaan hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura. Hal ini terlihat pada susunan para pemimpinnya: Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Keanggotaan organisasi pun mencakup lintas wilayah Hindia Belanda. Tidak seperti Budi Utomo yang hanya berkutat di bidang pendidikan dan kebudayaan, cakupan aktifitas SI merambah ke ranah politik. Meski organisasi SI berlabel agama bukan berarti SI tidak peka terhadap perbedaan. Tujuan utama pembentukan SI justru untuk membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong serta mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI juga terbuka untuk semua lapisan masyarakat, bukan hanya kalangan elit.
Sumber Kekuatan
Berangkat dari pemaparan sejarah di atas, HKN dapat dimanfaatkan untuk mengenali unsur-unsur penting meraih kesadaran nasional sebagai bekal menghadapi tantangan di masa kini dan mendatang. Diantara unsur penumbuh nasionalisme kebangsaan di masa lalu yang membentuk mentalitas dan perjuangan melawan kolonialisme tidak bisa dilepaskan dari unsur primordial yakni agama. Bahkan bisa dibilang faktor penting sebagai pembangkit kesadaran nasional dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Peran agama dalam konteks kesadaran nasional kemudian diwujudkan dalam bentuk gerakan lebih konkret. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di belahan dunia lain. Sebut saja gerakan revolusi Belanda melawan Spanyol pada abad ke-16 merupakan gerakan keagamaan. Begitu juga gerakan nasionalisme Inggris di abad ke-17 sebagai suatu gerakan nasionalis teramat penting di Eropa yang melahirkan revolusi kaum Puritan. Demikian juga revolusi di Amerika Utara dipelopori kaum Puritan. Adapun di Indonesia, konsekuensi logis dari mayoritas penduduknya, maka Islam faktor pendorong terbentuknya nasionalisme.
Namun patut disayangkan, belakangan muncul upaya-upaya yang justru mencitrakan agama sebagai biang pemecah belah bangsa atau anti nasionalisme. Istilah seperti radikal cenderung diarahkan ke satu agama. Dari sini lalu sering dimanfaatkan pihak tertentu untuk membangun sentimen dan opini kebencian terhadap ajaran Islam. Melihat lebih dalam, sebenarnya bukan agama sumber masalahnya. Namun ketika ajaran agama kerap disuarakan untuk menentang kezaliman dan ketidakadilan yang terang-terangan dipertontonkan oleh kaum kuat atau menyinggung kepentingan pihak tertentu, ketika itulah agama dan tokoh-tokohnya bakal dimusuhi. Persis sikap para penjajah terhadap gerakan perjuangan kemerdekaan berbasis agama. Belakangan, munculnya istilah mendiskreditkan agama dirasa sudah kelewat batas. Peristiwa cukup relevan sebagaimana dialami Ustad Abdul Somad (UAS) yang ditolak saat berkunjung ke Singapura dan sempat ditahan dalam ruangan dengan dalih UAS dituduh ekstrimis dan segregasionis. Meski Singapura punya otoritas, namun alasan penolakan dinilai sangat tendesius dan tanpa dasar. Apalagi UAS penceramah dan tokoh pendidik yang kerap berkunjung hingga ke wilayah pedalaman dan terisolir mengajar ilmu agama sampai tema kebangsaan. Dalam konteks Riau, tokoh mendapat penambalan gelar adat dari Lembaga Adat Melayu (LAM) sebagai Datuk Seri Ulama Setia Negara. Secara nasional UAS juga kerap diundang ke berbagai instansi dan lembaga termasuk berceramah di Mabes TNI tentang nasionalisme, Beliau juga diberi penghargaan oleh media massa nasional Republika sebagai Tokoh Perubahan. Bukannya UAS, sikap Singapura justru dianggap berbahaya dan bisa memicu segregasi atas tuduhan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Tuduhan berujung serius karena setiap pihak yang hadiri kajian atau mengundang UAS bisa-bisa ikut dicap terpapar ekstrimisme dan segregasionisme.
Akhir tulisan, kembali ke tema HKN, peran agama pembentuk kesadaran nasional di masa lalu sekaligus kunci menghadapi tantangan ke depan. Memojokkan ajaran agama dan pemukanya ketika dianggap berseberangan dengan kelompok tertentu atau karena berani mengkritik kezaliman dan ketidakadilan yang terjadi, justru bentuk pengulangan kekeliruan. Agama dan nilai normatif akan selalu hadir untuk meluruskan yang bengkok dan penyimpangan dalam tatanan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itulah esensi dari eksistensinya. Ketika nilai dan suara kebenaran distigmatisasi bahkan sampai dianggap ujaran kebencian hanya karena menyinggung para elit dan penguasa, sementara di sisi lain praktik ketidakadilan, kezaliman dan kecurangan terus terjadi dan dipoles supaya tampak baik, maka siap-siap saja bak kata pepatah sejarah akan berulang. Karena kebatilan tidak akan pernah menang atas kebenaran sehebat apapun kuasa dan harta. Ingat sejarah kebangkitan nasional yang sanggup menaklukan para penjajah.