Menjaga Optimisme Melalui Kebijakan

Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi 3 DPRD Provinsi Riau

Tanggal 15 Maret belum lama berlalu punya arti penting untuk dibedah. Pada tanggal tersebut diperingati Hari Konsumen Sedunia. Filosofi dibalik hari tersebut bukan saja menyoal perlunya negara mengatur atau mengeluarkan kebijakan tentang hak konsumen. Dalam kesempatan ini, ada aspek lebih fundamental yang perlu diangkat. Berangkat dari luasnya makna dari kata konsumen yaitu sebagai kelompok ekonomi yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi baik oleh sektor pemerintah maupun swasta. Mengacu ke pengertian dipaparkan barusan, isu lebih relevan tentu saja terkait masa pandemi. Terutama perlunya untuk menjaga tingkat optimisme konsumen terhadap perekonomian.

Berangkat dari narasi di atas, perlu menarik “benang merah” antara kondisi dan situasi terkini dengan masyarakat selaku konsumen. Apalagi data dan angka mengungkap pemandangan tak biasa. Menurut laporan Bank Indonesia (BI), keyakinan konsumen Indonesia di awal tahun 2021 menurun dibandingkan bulan dan tahun sebelumnya. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sebagai salah satu alat ukur ilmiah di awal tahun 2021 berada di 84,9. Lebih rendah dibanding capaian pada Desember 2020 sebesar 96,5. Penjelasan mengenai indeks, level 100 merupakan ambang batas optimisme dan keyakinan konsumen. Penurunan disebabkan rendahnya ekspektasi konsumen atau masyarakat terhadap kondisi ekonomi enam bulan akan datang. Mencakup perkiraan ekspansi kegiatan usaha, ketersediaan lapangan kerja, dan penghasilan ke depan.

Sinyal

Meski data di atas bicara persepsi, turunnya keyakinan dan tingkat kepercayaan konsumen tentu bukan sinyal baik. Karena persepsi berangkat dari realita yang dihadapi konsumen dan masyarakat. Dapat dimaklumi, di masa pandemi optimisme menurun akibat keadaan serba tak pasti dan akses ke sumber perekonomian makin sempit. Namun jika kita melihat ke belakang, ternyata tren persepsi negatif sudah terjadi sebelumnya. Bisa kita lihat untuk lingkup Provinsi Riau, pesimisme sudah muncul sebelum pandemi. Setidaknya tergambar dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan penurunannya Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Provinsi Riau di penghujung tahun 2019. Bahkan indeks tadi menempatkan optimisme ekonomi konsumen Riau berada di peringkat akhir dari 10 provinsi di Sumatera. Artinya secara umum menunjukkan konsumen kurang optimis dan merasakan penurunan kondisi ekonomi.

Kita jelas harus punya harapan dan berpikiran positif semoga kondisi dan situasi bangsa dan daerah ke depan terus membaik. Dengan demikian tingkat kepercayaan konsumen terhadap perkonomian pun turut membaik. Namun kekuatan do’a saja tidak cukup tanpa terpenuhinya azas sunatullah berupa rencana dan tindakan nyata; Asa baik juga percuma jika tanpa aksi dan berleha-leha. Perlu terobosan terutama dari sisi pengambil kebijakan untuk menghadirkan “oase” di tengah kegersangan keadaan. Terutama memprioritaskan intervensi terhadap aspek yang memicu pesimisme terhadap ekonomi. Dari data yang ada, telah mengungkapkan variabel mendasar yang mempengaruhi pesimisme konsumen atas kondisi ekonomi, seperti: tingkat konsumsi makanan dan komoditas bahan makanan, pakaian, akomodasi, pendapatan rumah tangga, akses pendidikan dan kesehatan, konsumsi untuk hiburan/rekreasi dan konsumsi untuk transportasi. Selama pendemi terjadi penurunan tingkat konsumsi di seluruh kategori tingkat pengeluaran dan mayoritas kelompok usia. Selagi belum ada upaya benar-benar menyasar akar pemasalahan, termasuk agar permintaan (demand) dan konsumsi tidak anjlok, sulit rasanya berharap lepas dari bayang-bayang buruknya keadaan ke depan. Kekhawatiran malah bisa berujung deflasi yang merugikan sektor produksi. Lumrah, tatkala kondisi ekonomi memburuk, tanda dini biasanya masyarakat dan konsumen memilih menghemat belanja dan menyimpan uang untuk kebutuhan prioritas. Kecenderungan pun sudah tampak sejak 5 tahun terakhir. Tahun 2017 IKK nasional pernah mencatat angka terendah. Bagi kami Komisi yang membidangi ekonomi dan keuangan, penurunan konsumsi bukan kabar baik untuk setoran pajak (PPN).

Momentum

Oleh karena itu, dalam mengeluarkan kebijakan dan stimulus ekonomi, Pemda diharapkan dapat mengambil kebijakan tepat. Khususnya membantu objek paling rentan dan paling terdampak dari kesulitan ekonomi dan pandemi. Jangan sampai kebijakan hanya berpihak dan mengedepankan insentif ke pelaku usaha kelas kakap dan pegawai negeri saja. Sementara pelaku usaha UMKM dan pekerja informal dinomorduakan. Padahal mereka pondasi terakhir perekonomian bangsa, berikut dominasinya juga menentukan peningkatan daya beli. Relevan dengan hal tadi, kebijakan pemerintah pusat yang obral “diskon” kebijakan mulai keringanan pajak, kemudahan berusaha dan berinvestasi patut dikritisi. Sampai-sampai mengorbankan kesejahteraan pegawai dan buruh serta mengabaikan ekonomi berkelanjutan dan dampak lingkungan. Sikap tadi bukannya anti investasi. Tapi sangat disayangkan output kebijakan cenderung pro kepentingan pemilik modal besar dan menyelamatkan kekayaan segelintir orang saja. Sementara agenda kebijakan memperbaiki daya beli mayoritas kelompok masyarakat selaku konsumen justru tidak jelas.

Peringatan Hari Konsumen semestinya dapat menjadi momentum penting sebagai pemantik untuk mendorong penguatan konsumen khususnya di tengah pandemi. Kembali ke tema pokok tulisan, penguatan diarahkan bagaimana intervensi kebijakan diarahkan setepat dan secermat mungkin. Berupa kebijakan yang mendorong konsumsi masyarakat dan membuat kepercayaan terhadap kegiatan usaha tetap terjaga. Memperkuat sisi permintaan sehingga upaya pemulihan ekonomi nasional dapat diwujudkan. Adapun di sisi pasokan (supply) memberi berbagai stimulus ke pasar yang diharapkan dapat mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional berjalan lebih cepat. Kedua fokus perhatian harus berjalan berbarengan. Hanya kebijakan berkeadilan dan dapat dirasakan setiap golongan jalan menuju kesejahteraan. Inilah kunci membangkitkan optimisme terhadap pemulihan dan kebangkitan perekonomian bangsa.

Baca Juga

BANSOS TANPA PAMRIH

Bantuan Sosial (Bansos) menjadi topik pembicaraan di berbagai media. Berawal dari keputusan Pemerintahan di bawah …