Ironi tak henti-hentinya muncul di negeri ini. Dua bulan belakangan harga minyak goreng “meroket” di pasaran. Masyarakat Riau turut mengeluhkan kenaikan harga, dimana harga minyak goreng kemasan mencapai Rp.17 ribu-Rp18 ribu per kilogram bahkan lebih. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM, Provinsi Riau mengatakan kenaikan harga minyak goreng terjadi merata di seluruh Indonesia. Hal tersebut terjadi karena kenaikan harga bahan baku kelapa sawit. Akibatnya harga penjualan harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) naik. Meski secara logika agak lucu juga, kita sebagai negara penghasil bahan baku harusnya tak tergantung harga global. Menyikapi situasi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau mengantisipasi agar kenaikan harga minyak goreng tidak terus melambung, ber koordinasi dengan distributor untuk menjaga pasokan. Namun melihat akar permasalahan, pendekatan disebut barusan tak cukup. Secara logika aneh memang. Negara penghasil minyak sawit terbesar dunia tapi harga minyak goreng naiknya tak kira-kira.
Sehubungan minyak goreng merupakan Sembako dan banyak dipakai oleh pelaku usaha kecil, efek bola saljunya patut dikhawatirkan. Terlebih saat perekonomian belum sepenuhnya pulih dan masyarakat berjuang untuk bertahan hidup. Wajar muncul persepsi negara gagal hadir menjaga pemenuhan kebutuhan pokok dalam negeri. Apalagi dari analisis banyak pihak, faktor pemicu ternyata akibat permintaan ekspor. Sehingga pabrik kelapa sawit lebih mengutamakan menjual hasil kelapa sawit ke luar negeri ketimbang untuk kebutuhan domestik. Asumsi tadi diperkuat oleh pernyataan Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) saat menjelaskan kiat Pemerintah menyiasati harga minyak goreng, yakni memastikan pasokan dalam negeri tercukupi dan mengendalikan ekspor CPO. Bahkan pemerintah juga berencana menghentikan ekspor CPO. Selain respon atas kenaikan harga minyak goreng, juga bentuk tindak lanjut arahan Presiden saat berbicara di Lemhanas Oktober 2021 lalu: dalam rangka meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Kembali menyinggung peran pemerintah sebagai regulator, jika ekspor CPO tak terkendali biang kerok tidak terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, maka pemerintah harus mengintervensi lewat kebijakan.
Eksploitasi Keunggulan
Bagi Riau, ironi lebih menyesakan dada. Padahal dari total ekspor CPO Indonesia 20 persennya berasal dari Riau. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Riau mencatat India, Cina, dan Pakistan menjadi pasar terbesar CPO dari Riau yang setiap harinya diekspor melalui lima pelabuhan yakni KPPBC TMP B Pekanbaru, KPPBC TMP B Dumai, KPPBC TMP C Tembilahan, dan KPPBC TMP C Bengkalis. Bahkan CPO Riau makin dilirik, termasuk oleh negara maju. Ini terungkap jelas saat Riau mendapat kunjungan Duta Besar Uni Eropa (UE) beberapa waktu lalu. Perwakilan UE berkomitmen mendorong kerjasama bisnis antara pihaknya dengan Provinsi Riau guna meningkatkan ekspor CPO. Bahkan UE mengimingi-imingi pemberian insentif berupa pajak rendah. Melihat perubahan sikap UE yang dulu begitu getol mengampanyekan isu negatif sawit menjadi lebih terbuka sampai-sampai menyodori insentif pajak, wajar memantik asumsi. Ibarat pepatah, pasti ada udang di balik batu. Berkaca dari daya tarik semakin menguat bak magnet, Riau perlu perencanaan dan pengelolaan yang mumpuni. Narasi utamanya bukan saja menyoal produksi tetapi juga bagaimana limpahan kekayaan alam dirasakan masyarakatnya. Apa guna perkebunan sawit tampak ujung ke ujung tapi pihak luar untung sementara kita malah buntung. Meningkatkan kinerja ekspor penting dilakukan. Namun ketahanan pangan dalam negeri jangan sampai terabaikan.
Bagi Provinsi Riau, tingginya permintaan UE dan negara lain atas CPO adalah momentum berharga. Pemprov Riau harus mampu mengeksploitasinya untuk mendukung kepentingan daerah dan dalam negeri. Caranya bukan ekspor jor-joran CPO yang sekarang terbukti berdampak negatif terhadap kebutuhan dalam negeri, rakyat kesusahan dan secara ekonomi juga lebih merugi. Riau perlu memperkuat sektor perkebunan daerah teristimewa subsektor perkebunan kelapa sawit melalui perumusan kebijakan yang dipandang tepat dan penguatan dari sisi regulasi. Dengan begitu pengelolaan hasil sektor perkebunan lebih optimal. Jika ekspor CPO terus berlangsung tak akan memberi nilai tambah bagi daerah dan negara. Perusahaan perkebunan jelas lebih suka menjual CPO ke luar. Kita perlu mencontoh daerah sentra sawit lain seperti Kalimantan Timur (Kaltim) yang sudah lebih dulu mengatur pembangunan hilirisasi perkebunan. Diantaranya menerbitkan payung hukum di tingkat daerah untuk menata hilirisasi pembangunan perkebunan berkelanjutan. Di Kaltim sendiri Peraturan Daerah (Perda) mewajibkan perusahaan pemilik produksi perkebunan mengarahkan minimal 70 persen dari hasil produksi ke pembangunan industri hilir. Perda itupun ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur dan sudah diadopsi hingga ke tingkat Kabupaten/Kota.
Riau sebenarnya sudah memiliki Perda mengatur soal perkebunan, yaitu Perda 6/2018 tentang Penyelenggaraan Perkebunan. Pada bagian menimbang telah memaparkan bahwa landasan pembentukan Perda supaya perkebunan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan Daerah terutama untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan Daerah, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. Dua hal disebut terakhir relevan dengan topik tulisan. Meski begitu, materi Perda belum detail membahas hilirisasi dan upaya mewujudkan. Memang menyoal regulasi harus dibarengi kesiapan dari berbagai aspek. Barangkali disini pula dilema Perda Riau. Mulai database aktivitas produksi sawit hingga masterplan dan kesiapan teknis guna memperkuat keterdukungan kegiatan hilirisasi. Lemahnya pengelolaan sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas) Riau di awal masa jaya memberi pelajaran berharga, misalnya soal ketidaktransparanan lifting yang dicap banyak merugikan Riau. Jangan sampai sawit bernasib serupa. Setakad ini, sayangnya, DJBC Riau belum tahu pasti beratan tonase per hari mengingat hanya mencatat penerimaan kepabeanan dan cukai saja. Ini perlu jadi bahan evaluasi. Selanjutnya, jika menekankan hilirisasi maka Pemda perlu memfasilitasi agar dapat terarah. Terkait ini penting menggesa penyediaan kawasan industri atau bentuk lain semisal Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai episentrum dan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengelola hasil CPO. Peliknya Riau disini. Pemenuhan infrastruktur masih PR besar. Sebenarnya dengan posisi Riau sebagai salah satu pemain utama sektor kelapa sawit di lingkup nasional memberi keuntungan tersendiri. Keunggulan tadi membuat Riau punya posisi tawar menuntut perhatian lebih Pemerintah Pusat. Sehingga dapat menarik alokasi anggaran dari pusat guna mengejar ketertinggalan infrastruktur dalam rangka mendukung hilirisasi. Toh Pemerintah Pusat sendiri melalui lisan presiden sudah menyadari pentingnya meningkatkan nilai tambah dari pemanfaatan sumber daya alam dan lebih berhati-hati mengekspor bahan baku termasuk CPO. Artinya sinyal bertempuk dua belah tangan. Sekarang terpulang ke Pemda jalankan misi.
H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc (Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau)