PANCASILA BUTUH BUKTI

Setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Pancasila. Istilah yang merujuk pada lima pilar yang menjadi dasar berdirinya NKRI. Pancasila sebagai filosofi berbangsa dan bernegara selalu jadi topik hangat di tengah kita melalui beragam media. Setiap diskusi, silang pendapat dan argumentasi yang muncul baik itu kala Hari Pancasila dan di luar momen itu merupakan hal positif untuk memperkaya khazanah pemahaman terhadap Pancasila. Dengan begitu hadir upaya untuk merevitalisasi pancasila sebagai dasar negara berikut rujukan serta inspirasi untuk menjawab berbagai tantangan kehidupan bangsa.

Namun ada fenomena lain perlu dikhawatirkan seiring menguatnya konflik dan tensi di ranah politik dan sosial akibat kekeliruan memahami Pancasila. Fenomena dimaksud seringnya Pancasila dipakai sebagai alat untuk mendukung kepentingan satu pihak. Sejarah terus berulang, begitu orang bijak berkata. Begitupula sejarah terkait Pancasila. Sejak dulu hingga kini selalu laris dipakai sebagai tameng. Istilah seperti “anti pancasila” begitu mudah dilontarkan untuk menyudutkan pihak lain yang berseberang pendapat. Cara tersebut bukannya memperkuat Pancasila justru malah memperlemah Pancasila itu sendiri.

Pancasila bukan label yang bisa seenaknya disematkan. Pancasila tak pandang pejabat negara dan pemerintahan hingga rakyat biasa. Penentu seseorang berjiwa Pancasila adalah sejauhmana individu dapat menerapkan nilainya dalam kehidupan tanpa melihat status sosial, ekonomi dan profesi. Oleh karenanya, setiap kekisruhan yang mengeksploitasi Pancasila untuk keuntungan kelompok harus dihentikan. Sebab perbuatan tadi justru hanya akan menghantarkan bangsa ke kehancuran. Alih-alih merasa pancasilais, menklaim secara sepihak dan menyudutkan pihak lain justru pengkhianatan terhadap nilai Pancasila.

Implementasi

Menyoal Pancasila maka pertanyaan paling relevan diajukan adalah bagaimana cara mewujudkannya. Inilah modal menjawab problematika kebangsaan. Akan tetapi penerapan nilainya mesti terlebih dahulu diawali oleh Negara (baca: Pemerintah). Pancasila bukan jargon dan pemanis bibir. Tetapi butuh bukti. Pancasila butuh diimplementasikan dan dirasakan kehadirannya. Negara mesti paham esensi dan mengimplementasikan melalui instrumen kebijakan. Konkritnya tercermin dalam program pembangunan yang dilakukan. Pemerintah harus tampil di depan memastikan Pancasila menjadi sumber nilai dalam setiap program dan kerja-kerja pembangunan nasional di segala sektor. Namun kenyataan berkata lain. Pancasila belum menjadi referensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lihat saja mulai pembentukan regulasi sebagai pedoman hingga kebijakan.

Dalam praktik pembentukan peraturan perundang-undangan waktu belakangan cukup memberi gambaran betapa nilai Pancasila diabaikan. Tak sedikit UU yang digugat atau diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan Pancasila. Sebut saja paling heboh Omnibus Law UU Cipta Kerja yang digugat elemen masyarakat seantero negeri, selanjutnya peraturan yang membuka investasi Miras juga UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang dinilai menurunkan kedudukan Pancasila dan mendegradasi Pancasila menjadi trisila dan ekasila. Hal sama juga didapati di ranah kebijakan. Kalangan ekonomi atas difasilitasi dengan berbagai paket ekonomi. Para pengemplang pajak diberi perlakuan istimewa melalui tax amnesty mengundang kecemburuan dan dianggap tidak adil oleh mereka yang taat pajak. Sementara kalangan masyarakat kebanyakan dihadapkan beban yang semakin berat seiring wacana kenaikan PPN. Sulit berharap masyarakat menerapkan nilai Pancasila sementara penyelanggara pemerintahan saja gagal paham. Padahal ketika Pancasila gagal dipahami negara, konsekuensinya sangat fatal. Efeknya arah pembangunan tidak tepat sasaran, minim partisipasi dan dukungan serta penolakan.

Pembangunan Manusia

Agenda pembangunan sarana tepat untuk memperkuat nilai Pancasila. Selama ini paradigma pembangunan belum komprehensif. Pembangunan lebih menonjolkan fisik dan konstruksi semata. Meski pembangunan tadi urgen, pembangunan manusia juga menduduki prioritas sama. Sehebat apapun fisik dibangun jika tak disertai pembangunan manusia ujungnya sia-sia. Pembangunan manusia memunculkan rasa memiliki dan pemanfaatan infrastruktur akan optimal. Beranjak ke skala lokal, sudah tepat misi pasangan Kepala Daerah sebagaimana tertuang dalam RPJMD Provinsi Riau yakni: mewujudkan sumber daya manusia yang beriman, berkualitas dan berdaya saing global melalui pembangunan manusia seutuhnya. Sekarang tinggal realisasi. Kita menghendaki pembangunan terkonsentrasi pada rakyat, dengan memandang mereka sebagai subjek pembangunan serta berorientasi pemberdayaan bukan objek kegiatan.

Berangkat dari sudut pandang tersebut, sudah sepantasnya Pemprov memfasilitasi penguatan nilai Pancasila melalui modal sosial yang ada. Terutama melalui agama sebagai pondasi Pancasila itu sendiri. Namun pada kenyataannya beberapa tahun belakangan, DPRD Riau selaku representasi masyarakat menemui kesulitan dan menerima banyak keluhan dari masyarakat perihal sulitnya mengajukan usulan rumah ibadah. Ironisnya, di saat banyak masyarakat butuh rumah ibadah yang layak, Pemprov Riau mengalokasikan dana besar guna mempercantik rumah ibadah yang sudah dianggap layak. Masyarakat memandang ini tidak adil. Disamping memfasilitasi umat agama beribadah, pembangunan manusia juga dapat ditempuh melalui penguatan Ormas dan perkumpulan sebagai elemen penting di tengah masyarakat berikut aktor utama dalam sejarah perjuangan kemerdekaan juga menginisiasi lahirnya Pancasila. Pendekatan terhadap Ormas harus diubah, membina bukan membinasakannya. Terkait stigma negatif, tak lantas memukul rata semua Ormas berkelakuan sama. Banyak Ormas berdedikasi tinggi bagi bangsa dan negara, salah satu contoh Muhammadiyah dan NU serta lainnya yang tak dapat disebut satu persatu. Makanya dalam Rancangan Perda Ormas Provinsi Riau, kami selaku anggota Pansus mengatur penghargaan terhadap Ormas yang berkontribusi nyata di tengah masyarakat. Cara-cara yang dipaparkan di atas langkah konstruktif untuk melestarikan nilai Pancasila daripada membentuk lembaga ini dan itu. Karena yang dibutuhkan saat ini adalah bukti bukan lagi narasi.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

BANSOS TANPA PAMRIH

Bantuan Sosial (Bansos) menjadi topik pembicaraan di berbagai media. Berawal dari keputusan Pemerintahan di bawah …