Selain puasa, Ramadhan dikenal sebagai bulan diturunkan al-Qur’an. Untuk memperingatinya, di tengah masyarakat digelar Nuzul al-Qur’an. Meski terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu 17, 18, 19 dan 24 Ramadhan, namun itu bukan persoalan. Paling esensial dikedepankan adalah sejauhmana umat Islam mampu meresapi nilai dan makna dibalik peristiwa nuzul al-Qur’an dan berupaya menerapkan ke konteks kehidupan sekarang. Ayat 1 sampai 5 surat Al-‘Alaq yang oleh mayoritas mufassir disebut sebagai wahyu pertama turun mengandung keistimewaan karena diawali dengan Iqra’. Kata fenomenal sekaligus memiliki beragam tafsir. Satu kata dengan kekuatan gagasan yang bisa menerangi peradaban. Bila membaca karya dan pendapat para mufassir al-Qur’an, masing-masing punya pendekatan dan penjelasan tentang kata Iqra’. Ulama menyebutkan bahwa kata Iqra’ diambil dari kata kerja qara’a yang mulanya berarti menghimpun. Dalam aktivitas pengucapan, ketika kita merangkai huruf atau kata maka diartikan sebagai kegiatan membaca. Namun ada juga menafsirkan perintah membaca Iqra’ itu sendiri tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan.
Membaca di sini tak mesti diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karena dalam ayat tidak dinyatakan ada objek bacaan. Malaikat Jibril As ketika itu juga tidak sedang membaca satu teks tertulis. Atas dasar itu pula kenapa ada riwayat mengisahkan bahwa Nabi Muhammad Saw bertanya: ma aqra’ artinya “apakah yang saya harus baca?.” Keberagaman pendapat bukti keberkahan Al Qur’an sebagai sumber pengetahuan. Adapun kata Iqra’ bisa ditarik kesimpulan bahwa pemaknaan dan penggunaan bisa sangat luas. Dapat digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya. Oleh karena objeknya bersifat umum bisa menjangkau banyak hal. Objek tersebut bisa berupa bacaan suci bersumber dari Tuhan menyangkut ayat-ayat tertulis maupun tak tertulis. Kenapa ayat pertama menyuruh kita “membaca”? Sebab di sinilah fase penentu sekaligus penyebab utama setiap kegagalan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Semisal lalai membaca yang tersirat dan tersurat dari setiap kejadian. Dialami mulai skop personal sampai urus-mengurus negara. Itulah kenapa al-Qur’an mengatur berbagai aspek mulai pedoman menjalankan kehidupan hingga kumpulan aturan dan pedoman kebijakan. Semua disampaikan baik secara konkrit berupa bahasa hukum ataupun diintisarikan dari kisah umat terdahulu serta lewat perumpamaan. Ini sungguh modal dan bekal berharga bagi manusia sepanjang zaman. Mencegah hal sama tak kembali berulang atau merespon berbagai kekurangan umat terdahulu melalui penyempurnaan supaya bisa diraih capaian lebih baik lagi. Namun itu hanya bisa dicapai bila mau menerapkan Iqra’ dan cakap membaca peristiwa.
Membaca Situasi Momentum Nuzul Qur’an semakin bernilai dan relevan diangkat mengingat situasi saat ini. Terutama dalam konteks berbangsa dan bernegara. Kenapa mengarah ke sana? Karena ayat al-Qur’an banyak menyinggung urusan publik dan urgensinya. Kembali ke realita, dapat disaksikan dan dirasakan secara langsung dari isu dan peristiwa berkembang belakangan. Paling hangat soal tekanan ekonomi masyarakat yang makin berat. Diawali kenaikan harga komoditas pangan kemudian disusul kenaikan tarif PPN 11 persen. Bicara Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kenaikan disebut-sebut baru terjadi di Pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak era Orde baru. Seakan belum cukup, berbagai komoditas mulai energi seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) ikut naik berikut wacana kenaikan LPG 3 kg, tarif listrik sampai jasa telekomunikasi. Beberapa kenaikan bersamaan dengan bulan Ramadhan dikhawatirkan bisa bikin inflasi meningkat. Kami selaku anggota DPRD Provinsi Riau di komisi membidangi keuangan termasuk urusan pajak, punya pandangan sederhana. Bahwa naiknya berbagai komoditas dan pajak secara bersamaan hanya akan menambah beban masyarakat dan memukul para pelaku usaha akibat melemahnya daya beli. Kita dapat memahami urgensi pajak bagi pendapatan negara. Tapi sayang waktunya sangat tidak tepat. Kebijakan tanpa membaca keadaan. Sehingga sudut pandangnya mementingkan penyelamatan keuangan negara tanpa peduli penderitaan dan tekanan dihadapi masyarakat. Dampak kebijakan paling fatal dirasakan daerah. Perihal PPN sebagai pungutan pemerintah dari setiap transaksi jual-beli barang atau jasa, bagaimanapun beban akan dirasakan konsumen dan bakal berdampak ke pelaku usaha. Mereka lebih memilih menurunkan margin untuk menjaga harga di tingkat konsumen.
Mirisnya, selama pandemi keuntungan pelaku usaha kebanyakan UMKM tergerus akibat kebijakan pembatasan. Dampak paling terasa pemutusan kerja di banyak sektor. Sekarang mereka terpaksa menerima keuntungan tipis seiring harga bahan pokok naik plus pajak. Keuntungan kian tergerus dan beban makin tinggi tentu bukan sinyal baik. Pelaku usaha dan pedagang kecil berada bak telur di ujung tanduk. Dari segi kebijakan, kenaikan PPN di saat harga komoditas merangkak naik sungguh kontraproduktif dengan upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) digemborkan Pemerintah yang menghabiskan anggaran tak sedikit. Ironisnya lagi, Pemerintah dulu malah sempat mengeluarkan stimulus pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor dan PPh badan yang notabene dinikmati masyarakat menengah atas. Ketika pengambil kebijakan gagal membaca kondisi, bangsa bisa berujung petaka.
Terkait pajak, sangat layak untuk diketengahkan pemikiran Ibnu Khaldun dalam karya spektakulernya berjudul Muqadimmah, yang mana berangkat dari pemahaman paripurna atas al Qur’an. Menurut Ibnu Khaldun, pengenaan tarif pajak sangat menentukan kehidupan sosial dan politik. Dibuat rendah agar ekonomi bisa bergerak bagus dan negara stabil serta kuat. Kenaikan pajak yang melampaui kemampuan warga -termasuk saat dihadapkan kenaikan harga komoditas- sangat berbahaya bagi produktivitas dan berdampak buruk terhadap kegiatan ekonomi. Ibnu Khaldun menilai, di masa ekonomi sedang baik pendapatan negara dari pajak bertambah tinggi dengan tarif pajak rendah. Sebaliknya, di masa ekonomi sulit pendapatan negara dari pajak tetap rendah meski tarif pajak dibuat tinggi. Pajak ringan bagus bagi keberlangsungan negara. Ibnu Khaldun juga menilai, kebijakan menaikkan surplus permintaan dengan cara memperbesar belanja birokrasi langkah keliru. Pemerintah yang baik birokrasinya efektif dan efisien. Dengan demikian, pungutan pajak untuk membiayai pemerintahan bisa minimal. Ibnu Khaldun berargumen seperti itu karena dia hidup dan menyaksikan runtuhnya Daulah Abbasiyah karena korupsi, ketamakan, asyik hidup mewah dan keserakahan pejabatnya sementara pajak yang diterapkan tinggi.
Memang pemerintah harus memungut pajak sebagai sumber pendorong ekonomi dan penggerak pembangunan. Tapi perekonomian tumbuh jika kebijakan pemerintah mendukung pertumbuhan kegiatan ekonomi, bukan sebaliknya. Penyesuaian pajak juga diarahkan dalam rangka semakin meningkatkan pelayanan dan belanja publik ke masyarakat. Bukan untuk kegiatan tidak prioritas semisal pembangunan Ibukota Negara yang sebenarnya bisa ditunda mengingat keuangan negara dalam keadaan sakit.
Terakhir, Nuzul Qur’an adalah terminal perhentian sementara untuk mengoreksi diri. Banyak ayat al Qur’an mewanti-wanti konsekuensi dari kegagalan membaca dan mengambil pelajaran. Bacalah kisah umat terdahulu dimana penguasanya diberi kekuasaan dan kekuatan lebih, namun ujungnya dihinakan karena semena-mena dan merasa unggul, minim empati kepada kaum lemah, merajalelanya praktik kezaliman dan ketidakadilan. Oleh karena itu, wajar kenapa Iqra’ begitu ditonjolkan dalam sejarah turunnya al Qur’an. Sebab membaca ayat dan firmanNya selain bernilai ibadah, paling utama pintu memperoleh pengetahuan dan pemahaman untuk terhindar dari berbagai penyimpangan. H
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU