Riau dan Misi Pariwisata Medis

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM (Anggota DPRD Riau)

Pekanbaru – Ada hal menarik untuk dibahas berkaitan pembahasan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) atau Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Badan Legislasi DPR-RI pekan lalu. Dihadapan sejumlah pemangku kepentingan diantaranya IDI, PDGI, Adinkes, senator Dapil Riau Abdul Wahid menyinggung fenomena warga Riau yang lebih suka berobat ke luar negeri, seperti ke Malaysia dan Singapura. Apa yang disampaikan tokoh senayan bukan sesuatu yang baru dan sudah lama diketahui. Di tahun 2016, Gubernur Riau (Gubri) dulu, Arsyadjuliandi Rachman pernah menyinggung hal sama saat acara peresmian salah satu RS swasta di Pekanbaru. Dihadapan Menteri Kesehatan (Menkes) saat itu Nila Farid Moeloek selaku yang hadir meresmikan, Arsyadjuliandi Rachman menyampaikan kegelisahan dan kekhawatiran melihat banyaknya masyarakat Riau berobat ke luar negeri. Saat itu dipaparkan angka bahwa setiap tahun terdapat ribuan masyarakat Provinsi berobat ke Malaysia dan diperkirakan membelanjakan sekurangnya setengah triliun untuk keperluan berobat. Adapun pemicu kekhawatiran Gubri sebelumnya lebih ke sisi pendapatan. Seiring banyaknya warga berobat ke luar negeri otomatis Pendapatan Asli Daerah (PAD) Riau dari kesehatan berkurang. Gubri Syamsuar dalam satu kesempatan bersama Menkes Budi Gunadi kembali menceritakan kecenderungan masyarakat Riau dan pelayanan RS di negeri jiran. Menkes pun kaget dengar pemaparan Gubri.

Tak sulit menebak alasan kenapa masyarakat Riau lebih suka berobat ke luar negeri terutama Malaysia. Dari segi biaya transportasi jauh lebih murah daripada ke Jakarta. Terjangkaunya biaya transportasi tentu bukan satu-satunya pertimbangan. Aspek lain yang mempengaruhi, sebagaimana telah disinggung saudara Abdul Wahid adalah biaya dan harga obat lebih murah. Selain itu, seperti dikemukakan Gubri Syamsuar dalam pertemuan dengan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) di Gedung Daerah Balai Serindit bulan lalu, didukung pula sistem pelayanan profesional, cepat, tepat dan sigap. Tulisan pengalaman seorang wartawan Riau yang dimuat di Kompasiana menarik diangkat. Singkat cerita, orang tuanya sakit dan dibawa ke RS dalam negeri. Setelah pemeriksaan, didiagnosis ada batu empedu dan harus dioperasi. Setelah melalui pertimbangan, pihak keluarga memutuskan tidak operasi dan memilih berobat ke Malaka. Hal kurang menyenangkan terjadi saat urus administrasi. Keluarga kaget lihat tagihan belasan juta selama perawatan seminggu. Merasa tak wajar, si wartawan meminta rincian tagihan dan menelpon pejabat BPJS Pekanbaru sekedar memastikan. Selang beberapa waktu, pihak RS memanggil dan mengklarifikasi tagihan cuman Rp. 6.000.000. Si wartawan merasa beruntung punya koneksi. “Gimana masyarakat biasa?,” Cakapnya. Lanjut kisah, mereka bertolak ke Malaka. Setelah mendaftar lalu menemui dokter spesialis. Menariknya, saat pihak keluarga memberi hasil diagnosa RS dalam negeri, dokter tak percaya dan meminta periksa ulang. Esok pagi keluar hasil uji dan dokter menyatakan batu empedu tak ada, dan empedu pasien dalam kondisi bagus. Sang wartawan pun terkejut biaya lebih murah. Setelah bolak balik Malaysia selama 1 bulan, orang tuanya dinyatakan sembuh.

Wisata Berobat

Barangkali warga Riau lain juga alami peristiwa di atas. Bikin iri menengok betapa efisien dan efektifnya pelayanan kesehatan di negeri tetangga. Sekaligus getir lihat kondisi di negeri sendiri. Sekilas, fenomena warga berobat ke luar negeri sesuatu yang biasa saja. Toh tiap orang bebas mau berobat kemana. Tapi kalau dikaji lebih dalam, yang berobat bukan hanya kalangan ekonomi atas. Namun juga kalangan menengah. Wakil Menteri Kesehatan dr. Dante Saksono, Sp.PD., memaparkan sekurangnya ada 1 juta orang Indonesia berobat ke luar negeri. Total biaya dikeluarkan mencapai 1,1 miliar dolar! Jumlah tadi bukan sedikit. Perkara yang perlu dikhawatirkan Pemerintah terutama daerah (Pemda) bukan hanya kehilangan PAD. Semestinya dasar pemikiran adalah semakin banyak duit diperoleh warga di dalam negeri pergi ke negara lain. Jadi poin terpenting sekarang bagaimana membuat dalam negeri punya daya tarik medis atau menurut istilah kekinian pariwisata medis. Bicara keuntungan, menurut riset pendapatan yang diperoleh pasar pariwisata medis di seluruh dunia diperkirakan mencapai 61,172 miliar dolar AS pada tahun 2016 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 165,3 miliar dolar AS pada tahun 2023. Sejumlah tempat di Malaysia jadi tujuan sebab warga tidak hanya disuguhkan tawaran menarik berobat dengan biaya lebih murah. Tapi juga plus sambil wisata. Sedikit banyak turut membantu pemulihan pasien.

Sudah saatnya Pemerintah pusat hingga daerah mencurahkan perhatian. Memfasilitasi pertumbuhan industri wisata medis dalam negeri. Apalagi Pusat sudah punya perencanaan. Batu loncatan pengembangan industri wisata medis nasional dibentuknya Indonesia Health Tourism Board yang sudah masuk pokok bahasan di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves). Namun jalan masih jauh penuh kerikil dan terjal. Kendati target sebatas membendung warga berobat ke luar negeri dan mengalihkan ke dalam negeri saja. Memancing minat warga harus diawali langkah memajukan layanan. Menyoal layanan publik kesehatan, kita tahu sama tahu kondisinya. Perlu diakui, perihal terobosan atau inovasi sebenarnya negara kita tak kalah hebat. Kemenkes menyatakan akhir 2023, seluruh data RS di Indonesia terhubung dengan Indonesia Health Services (IHS) yang diberi nama SatuSehat. Secara konsep bagus. Mengintegrasikan seluruh aplikasi kesehatan yakni data rumah sakit, aplikasi pihak Organisasi Profesi, aplikasi kesehatan masyarakat semisal PeduliLindungi, hingga pendeteksi data kesehatan pribadi warga. Sayangnya, banyak sistem dan aplikasi dibuat tapi output-nya dipertanyakan. Tak usah dulu bahas aplikasi. Pengelolaan sistem jaminan kesehatan amburadul. Warga “dipaksa” ikut BPJS, sampai “diancam” tak bisa urus administrasi lain. Tapi pelayanan tak kunjung optimal. Paling miris pernyataan Menkes Budi Gunadi baru-baru ini menyentil orang kaya pakai BPJS. Netizen menilai Menkes tak paham Pancasila. Negara mestinya berterimakasih, berhubung orang kaya mau gotong royong bantu sesama warga. Karena bayar iuran, mereka berhak atas layanan. Di negara lain, jaminan kesehatan murni dari negara. Toh rakyat sudah ditagih pajak.

Tak hanya teknologi. Gedung megah, dokter hebat, fasilitas dan keberadaan alat termutakhir, RS kayak di Pekanbaru kayaknya cukup memadai. Namun itu saja tak cukup meniru kesuksesan wisata medis negara tetangga. Sarana dan prasarana masih banyak tuntutan. Perhatian dari Pemerintah Pusat sangat diperlukan. Kami di lembaga legislatif mendukung Gubri Syamsuar yang meminta agar dibangun Rumah Sakit Pusat (RSP) di Riau. Sudah sepantasnya Riau punya RS Pusat untuk penyakit tertentu. Seperti diketahui, Rumah Sakit Umum milik Pemerintah Pusat di Sumatera baru di Padang (RSUP M Djamil), di Medan RSUP (Adam Malik) dan Palembang (RSUP Mohammad Hoesin). Mengingat sumbangsih kekayaan alam Riau, sepantasnya dapat atensi serupa. Terlebih secara historis Riau dulu punya peran sentral di Selat Malaka dan Sumatera. Sisi sejarah tadi didukung geografis Riau yang strategis. Kehadiran RSP tidak hanya menarik minat warga Riau berobat di dalam negeri. Tapi juga menarik warga Sumatra Bagian Utara (Sumbagut) yang kebanyakan memilih berobat ke Malaysia ketimbang ke Jakarta asbab ongkos lebih mahal. Bagi Riau, disamping membantu negara meminimalisir warga ke luar negeri juga datangkan keuntungan. Paling pokok, urgensi dibalik tuntutan RSP di Riau selaras dengan tujuan transformasi kesehatan Kemenkes, yaitu memenuhi pelayanan kesehatan secara maksimal di dalam negeri sehingga tidak perlu pergi jauh ke luar negeri guna memperoleh pelayanan kesehatan yang baik.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

ISRA’ MI’RAJ DAN SPIRIT PERUBAHAN

 “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil …