Hari Lahir (Harlah) Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni momentum untuk merefleksi kondisi berbangsa dan bernegara. Mengevaluasi sudah sejauhmana Pancasila mewujud dalam praktik kehidupan. Seumpama cermin dipakai berkaca, memastikan apakah penampilan sudah baik dan sesuai harapan. Tujuan intropeksi tentunya terbangun kesadaran dan menginspirasi perubahan ke arah benar dan lebih baik. Membahas filosofi Pancasila tak lekang oleh waktu. Ini dikarenakan setiap silanya diintisarikan dari nilai yang bersemayam di tengah masyarakat nusantara. Terutama ajaran agama sebagai dasar pijakan. Nilai-nilai inilah yang melindungi bangsa kita dari serbuan degradasi moral dan pengkhianatan. Di saat sama menampakkan siapa yang ikhlas dan tulus membela kepentingan negeri. Peristiwa paling relevan diangkat pemberontakan PKI yang sejak awal mengklaim diri pelindung Pancasila. Bahkan pentolannya DN Aidit mengarang buku berjudul “Membela Pantjasila”. Waktu itu Pemerintah yang dikuasai loyalis komunis memfitnah dan menyebut orang-orang yang berseberangan pembangkang negara. Namun topeng terbuka. Klaim mereka hanyalah kedok. Sosok pengkhianat PKI sendiri.
Pola serupa bisa kembali terjadi. Mengutip perkataan orang bijak, sejarah terus berulang. Di lisan mengaku yang diperjuangkannya kepentingan bangsa, tetapi nyatanya demi kepentingan kuasa dan elit semata. Jika dahulu pendiri bangsa menjadikan Pancasila alat integrasi, kini dijadikan alat pemecah-belah atau menyerang kubu berbeda pandangan. Tanpa disadari, perilaku tadi bentuk kegagalan mengambil pelajaran dari masa lalu. Sekaligus bertolakbelakang dengan sejarah lahirnya Pancasila. Bisa dibaca literatur sejarah. Diceritakan bahwa dalam sidang BPUPKI kubu Islam punya perwakilan terbanyak dan unggul secara suara. Mengacu ke prinsip demokrasi, mayoritas punya posisi penentu hasil atau keputusan. Sewaktu membahas dasar negara, Kubu Islam memperjuangkan Islam sebagai acuan negara. Suasana pun berlangsung panas. Perdebatan menajam. Kendati punya kuasa memaksakan ide, akan tetapi sikap Kubu Islam tidak arogan. Justru mengalah untuk kepentingan lebih besar.
Paradoks
Mungkin kita pernah bertanya, mengapa sudah berpuluh tahun Indonesia merdeka tapi buah merdeka tak kunjung dalam genggaman? Jawabannya mungkin disebabkan kita jauh melenceng dari Pancasila. Memaknai Pancasila tentu bukan kayak agama. Pancasila lebih ke konsensus yang disepakati bersama. Panduan mencapai tujuan. Ironisnya, belakangan Pancasila lebih sering diributkan dan diperebutkan daripada diimplementasikan. Tak heran bangsa terus gaduh dan hilang arah. Negara yang idealnya memberi teladan, malah sebaliknya meruntuhkan pondasi Pancasila. Tersaji di ranah realita berbagai paradoks. Elit dan konglomerat diberi penguasaan lahan sampai ratusan tahun, sementara perkampungan masyarakat digusur atas nama investasi. Rakyat berobat mahal dan sulit, mau hidup sehat juga susah asbab harga kebutuhan pokok kian meroket. Terbukti inflasi bahan pangan bergejolak awal tahun 2024, melampaui rata-rata tingkat pendapatan masyarakat dan Upah Minimum Regional (UMR). Seakan belum cukup penderitaan, gaji dipotong berbagai iuran. Salah satunya bikin heboh Tapera. Bumi kaya sumber daya atas dan bawah tanah, namun menyubsidi kebutuhan rakyat saja penuh perhitungan. Herannya Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggelontorkan dana Rp7,3 triliun guna menyubsidi penjualan sepeda motor listrik. Padahal tidak jelas urgensinya bagi masyarakat kebanyakan.
Begitujuga kontroversi teranyar di sektor pendidikan. Manakala Pemerintah Amerika Serikat yang notabene menganut paham liberal mengumumkan penghapusan utang mahasiswa (student loan) teruntuk 4,75 juta peminjam demi membantu rakyatnya, di era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sejumlah perguruan tinggi menawarkan Pinjaman Online (Pinjol) ke mahasiswa guna menyiasati Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang naik berkali-kali lipat. Paradigma di luar nalar tadi diprotes keras Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih dari Fraksi PKS sewaktu pembahasan bersama menteri terkait. Konstitusi dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah menggariskan bahwa penyelenggaraan pendidikan tugas dan kewajiban negara. Alokasi 20 persen anggaran pendidikan (Rp660 triliun) turut dipertanyakan penggunaannya. Aspek berikut terkait pendidikan yakni soal pembangunan karakter. Sempat heboh isu dikurangi dan dihapusnya pelajaran penting, seperti pelajaran agama dan kewarganegaraan di RUU Sisdiknas yang akhirnya batal dilanjutkan. Terang saja bikin khawatir masa depan generasi bangsa. Belum lagi upaya penyisipan agenda merapuhkan sendi moral. Baru-baru ini hasil kajian yang dilakukan Perkumpulan Nusantara Utama Cita (NU Circle) dan Ormas Muhammadiyah mengungkap lolosnya Buku Panduan Program Sastra Masuk Kurikulum untuk mendukung Kurikulum Merdeka Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang ternyata mengandung unsur kekerasan seksual, pedofilia dan LGBT.
Terakhir di luar tataran kebijakan, ranah sosial juga mengungkap betapa genting keadaan. Berkaitan isu kemanusiaan misalnya tragedi yang dialami masyarakat di bumi Palestina, masih ada warga menganggap yang terjadi di sana peperangan. Sedangkan fakta sebenarnya pembantaian. Disamping itu adapula yang terang-terangan menyatakan dukungan ke penjajah israel, yang mana sudah terang-terangan berlawanan dengan Pancasila dan pembukaan UUD 1945. Sikap ini selain menciderai prinsip kemanusiaan, juga ibarat benalu dan duri dalam daging. Bagaimana mungkin orang-orang yang memiliki pola pikir tadi akan mau berjuang ketika bangsa ini dijajah secara fisik, politik, ekonomi dan lainnya? Oleh karena itu revitalisasi dan penguatan kembali kesadaran berbangsa melalui pemahaman akan Pancasila perlu ditempuh. Caranya bukan diukur dari seberapa besar dan banyak simbol dan monumen burung garuda dibangun. Atau sila-silanya dipajang di gedung dan perkantoran. Revitalisasi terwujud bila nilai-nilainya dapat diterapkan dan diejawantahkan ke ranah nyata. Disamping menerapkan, juga kepedulian. Kala nilai Pancasila dirongrong dimana posisi kita? Selagi masih bersemayam di dalam diri kita kepedulian terhadap bangsa, maka itu indikasi tertancapnya Pancasila dalam diri.
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.
ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU