Mengapa kita senantiasa berupaya untuk melakukan kebaikan? Betul. Karena setiap kebaikan yang kita kerjakan itu sebenarnya untuk diri kita sendiri. Ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam QS. Al-Jasiyah:15, Allah berfirman:
“Barang siapa mengerjakan kebajikan, maka itu untuk dirinya sendiri, dan barang siapa mengerjakan kejahatan, maka itu menimpa dirinya sendiri; kemudian kepada Tuhanmu kamu dikembalikan”.
Tanpa disadari, terkadang balasan kebaikan itu datang saat kita berada dalam situasi yang sangat sulit. Dan dalam keadaan sulit itu, tak sempat terpikirkan hal-hal baik yang pernah kita lakukan terhadap orang lain. Semestinya memang tidak harus kita ingat segala kebaikan yang kita lakukan terhadap orang lain. Saya jadi teringat sebuah pesan:
“Ada dua hal yang harus kita ingat yaitu kebaikan orang lain terhadap diri kita. Dan keburukan diri kita terhadap orang lain. Namun, ada dua hal juga yang harus kita lupakan. Kebaikan diri kita terhadap orang lain dan keburukan orang lain terhadap diri kita.
Menanggapi pesan beliau tersebut, pasti ada alasan mengapa beliau berpesan demikian. Barangkali, jika kita hanya mengingat kebaikan kita terhadap orang lain, maka orang lain seakan tak bernilai dalam pandangan kita. Sehingga besar kemungkinan, kita akan angkuh dan sombong karena merasa orang paling berjasa dan baik. Namun, jika kita mampu menghindari sikap ujub, kemudian berniat berbuat kebaikan semata-mata ingin mengharap ridho dari-Nya Insya Allah sifat seperti itu tidak akan berakar dalam diri kita. Sekecil apapun kebaikan yang dilakukan, itu mendapat balasan dari Allah. Seperti yang tertulis dalam QS. Al-Baqarah: 261, Allah berfirman:
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui”.
Subhanallah! Maha Benar Allah dengan segala firmannya. Apa yang telah dituliskan dalam kitab-Nya memang sungguh nyata. Ada satu kisah pengalaman tentang berbagi
Pada akhir tahun 2012 yang lalu, Aminah bekerja di salah satu sekolah. Dengan jadwal yang terkadang sampai sore, komunikasi dengan saudara yang tarbiyah terkadang tidak sempat dikonfirmasi atau direspon. Saat masih bekerja dalam instansi tersebut, gaji yang ia dapat perbulan tidak begitu banyak, namun beliau bersyukur atas apa yang didapatkan.
Satu waktu, dalam kondisi yang kurang fit karena dalam beberapa malam berturut-turut harus lembur karena menyelesaikan pengisian data siswa. Walau dalam kondisi yang tidak fit, namun tetap saja saya menolak untuk minum obat kimia, karena ia tidak terbiasa minum obat kimia kalau sakit. Jadi, saat di tempat kerja tersebut, karena badan semakin tidak baik maka beliau berniat ingin membeli madu. Mencari madu asli memang lumayan sulit, apalagi di perkotaan. Dengan alasan sulit tadi, ia berencana membeli madu ke Murabbinya.
Beberapa kali ia kirimkan pesan ke Murabbinya via sms. Ia tunggu beberapa menit dan bahkan sampai beberapa jam, akan tetapi tiada balasan (respon). Karena ada ke khawatiran pesan yang dikirimkannya tidak sampai, maka dicoba dikirim ulang. Namun hasilnya tetap nihil. Menunggu lagi beberapa menit, sebab ia tahu Murabbi tersebut termasuk orang yang padat agenda. Hasilnya juga nihil. Alternatif terakhir yang dilakukan yaitu miscall beliau. Solusi itu ia lakukan karena bisa jadi beliau tidur sehingga nada pesan masuk tidak terdengar. Untuk kesekian kalinya hasilnya nihil. Saat itu jumlah pulsa yang iamiliki tidak lebih dari lima ribu. Jadi jika tidak ada sedikit pun niat untuk menelepon beliau secara langsung.
Selang beberapa waktu lama menunggu, tiba-tiba ada satu pesan diterima. Kala itu beliau berharap itu balasan dari apa yang ditanyakan terhadap Murabbi. Isi pesan yang diterima jauh dari harapan. Pesan itu ternyata hanya CM (call me). Ini berarti bahwa beliau barangkali tidak punya pulsa saat itu, dan jarang beliau begitu. Mendapat isi pesan seperti itu, beliau tetap tidak berniat untuk menelepon murabbinya. Namun langkah yang ia lakukan adalah mengisikan pulsa murabbinya. Kebetulan di tempat kerjanya ada seorang guru yang jualan pulsa. Kala itu saya isikan pulsa beliau Rp 10.000. Beberapa menit setelah pulsa tersebut ia isikan, baru ada respon terhadap pesan yang telah ia kirimkan sebelumnya. Sampai detik ini, ia tidak pernah memberitahu bahwa pulsa murabbinya itu pernah ia isikan. Akan tetapi ia memang sengaja mengisikan pulsa beliau, karena saya berpikir bahwa saat itu beliau membutuhkan pulsa, dan pada saat yang bersamaan Allah sedang memberikan rezeki.
***
Beberapa bulan berlalu setelah kejadian di atas terjadi, justru dampaknya ia
rasakan di tahun 2013. Memang, saat kita menanam benih, bukan saat itu juga kita memamen. Jadi dampak tindakan yang ia lakukan ini juga demikian. Jadi, pada awal Mei yang lalu, pagi harinya ia mengisikan pulsa karena harus menghubungi mahasiswa. Pagi itu ia hanya mengisikan pulsa Rp 10.000. “Saya ingat betul kalau saya hanya mengisikan sebanyak itu”, ujarnya
“Pada pertengahan malam saya mengecek 3 pesan diterima. Saya buka satu-persatu isi pesan tersebut, dan terbaca oleh saya laporan dari M-Kios. Karena saat itu baru bangun tidur, saya pikir barangkali itu laporan dari pengisian pulsa pagi tadi, sehingga tak terpikir untuk mengecek pulsa. Keesokan harinya, saat saya mengecek pulsa, ternyata pulsa saya memang bertambah Rp 10.000” tuturnya padaku. Alhamdulillah Ya Allah. Sampai detik ini ia tidak tahu siapa yang mengisi pulsa tersebut. Pengalaman yang mampu memberikan ibrah positif bahwa jika kita berbuat kebaikan, maka kebaikan itu akan kembali pada kita. Sebab Allah itu tidak tidur dan malaikat tidak pernah salah mencatat amalan kita. Dalam QS. Luqman: 22, Allah berfirman:
“Dan barang siapa yang berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh kepada buhul (tali) yang kokoh. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan”.
Penulis: -NurJannah-