SIASAT PASKA KENAIKAN BBM

Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau

“Dimano jual minyak bensin di Desa Teluk Binjai ini kawan,” begitu postingan seorang warga di akun Medsosnya. Pertanyaan barusan bukan sekedar minta informasi ke netizen. Tetapi di balik itu terungkap kegetiran sekaligus keprihatinan. Waktu kenaikan harga BBM diumumkan, pejabat Pemerintah Pusat memang mudahnya berkata bahwa kenaikan memang menyakitkan, tapi dampak tak akan lama. Namun di lapangan, ekses mungkin akan terasa setahun ke depan. Bagi kami di Komisi V DPRD Provinsi Riau menyorot aspek sosial dan kesejahteraan. Kembali ke postingan warga di sosmed tadi, itulah yang dialami warga di Desa Teluk Binjai setelah kenaikan harga BBM bersubsidi. Sudahlah harga naik, stok dan pembelian dibatasi pula. Sebagai informasi, Desa Teluk Binjai terletak di hilir Sungai Kampar (tepatnya jalan lintas Bono). Jarak tempuh ke ibukota Kabupaten Pelalawan kurang lebih empat jam. Warga sempat alami kesulitan mendapatkan BBM, yang berimbas ke aktivitas mereka sehari-hari. Mulai antar anak ke sekolah, mobilisasi, paling utama urusan mata pencaharian. Susahnya memperoleh BBM lantaran masyarakat tak bisa beli BBM di SPBU pakai jerigen. Padahal biasanya pedagang membeli minyak di SPBU lalu diangkut ke desa untuk diecerkan ke masyarakat. Melihat geografis Riau banyak wilayah jaraknya berjauhan, Desa Teluk Binjai boleh jadi bukan satu-satunya yang mengalami hal serupa.

Semakin mahal dan sulitnya warga mendapat BBM bersubsidi paska kenaikan harga BBM juga dirasakan para nelayan. Ratusan nelayan di Kota Dumai mengeluh tak bisa melaut karena kekurangan stok BBM bersubsidi Pertalite dan Solar. Keluhan telah disampaikan ke Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Riau, lalu ditindaklanjuti surat permohonan penambahan kuota BBM bersubsidi ke BPH Migas atau Pertamina. Kisruh BBM saat kondisi perekonomian belum sepenuhnya pulih membuat rakyat bak pepatah, sudah terjatuh bukannya dibantu malah dibiarkan ketiban tangga. Bagi para nelayan, tak bisa melaut ibarat kiamat kecil. Jangankan bicara kesejahteraan, untuk kebutuhan rutin saja sudah terancam. Jadi jangan heran muncul gejolak sosial paska kenaikan harga. Entah berbentuk protes dan demonstrasi dari berbagai elemen yang terus terjadi hingga kini dan lainnya. Apalagi kenaikan BBM bersubsidi tanpa disertai penyesuaian upah bagi para pekerja dan buruh. Hanya mengandalkan bantalan sosial lewat program Bansos dan BLT untuk meminimalisir dampak. Padahal kenaikan terjadi secara simultan termasuk harga-harga berbagai komoditas.

Banyak pihak menilai, Pemerintah Pusat hanya peduli sudut pandang “penyelamatan keuangan negara” versinya saja. Sementara abai akan dampak sosial, yaitu potensi bertambahnya penggangguran dan kemiskinan ekstrim. Makin miris, bukannya fokus menyiasati dampak, malah luncurkan program baru yakni konversi kompor gas ke listrik 1.000 watt. Menurut Kementerian Keuangan, sumber anggaran berasal dari pemangkasan alokasi subsidi LPG 3 kg yang bertahap mulai dikurangi. Artinya, masyarakat harus siap-siap kembali berkorban demi “menyubsidi” negara. Bukan tak mungkin LPG 3 kg bakal lenyap kayak minyak tanah. Sudahlah subsidi BBM dipangkas, ditambah LPG 3 kg. Sungguh tega dan terlalu. Terkait BBM, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (BPK RI) Achsanul Qosasi pernah berkicau lewat akun Twitter (11/7/2022), bahwa rentang 5 tahun terakhir subsidi BBM sudah dikurangi dengan nilai cukup fantastis, mencapai ratusan triliun rupiah. “Yang pasti pemerintah telah berhasil turunkan subsidi BBM dari Rp 210 triliun menjadi Rp 79 triliun dalam 5 tahun,” ujar Qosasi. Menurutnya, dengan pemangkasan subsidi BBM, secara tak langsung biaya subsidi dibebankan ke masyarakat. Berangkat dari data BPK, timbul pertanyaan: kok Presiden beralasan beban subsidi BBM lebih Rp 500 Triliun?

Fokus

Fokus Pemerintah Pusat dan Daerah sekarang seharusnya all out mengantisipasi dampak kenaikan BBM bersubsidi dan bagaimana masyarakat tidak terjerembab lebih dalam kubang kemiskinan. Kini momen dimana empati dan nurani mesti dikedepankan. Bukan sunat subsidi lain atau lahirkan program dan proyek baru. Mengacu ke kebijakan, ada tiga jenis bantalan sosial. Pertama, BLT sebesar Rp 12,4 triliun bagi 20,65 juta penerima selama 4 bulan mulai September-Desember 2022, dengan besaran per bulan sebesar Rp 150.000. Kedua, Bantuan Subsidi Upah (BSU) dengan anggaran sebesar Rp 9,6 triliun bagi 16 juta pekerja berpendapatan Rp 3.500.000 per bulan. Ketiga, bantuan angkutan umum yang diberikan kepada pekerja angkutan umum, ojek online, dan nelayan. Sekedar penjelasan, dana BLT dikeluarkan Pemerintah Pusat. Adapun Pemerintah Daerah (Pemda) mengalokasi 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Bicara Provinsi Riau, sudah tertuang sebagai prioritas dalam Perubahan APBD 2022 alokasi Bansos para pekerja informal seperti ojek hingga nelayan. Wujud penerapan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 134/PMK.07/2022 Tentang Belanja Wajib Dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022.

Meski begitu, efektivitas program bantuan sosial diragukan. Daya jangkaunya sempit. Masih banyak warga terdampak belum terkover. Semaksimal apapun upaya Pemerintah menyempurnakan data bantuan sosial supaya tepat sasaran, tetap saja anggaran terbatas. Kalaupun ingin tetap mengoptimalkan program dimaksud, perluas penyalurannya. Dalam hal ini, alangkah lebih baik program seperti BSU Ketenagakerjaan dapat mengakomodir skema afirmasi. Dengan begitu di tataran kebijakan semakin inklusif dengan memperluas akses bagi pekerja yang terdampak namun selama ini luput dari perhatian, semisal pekerja berstatus dirumahkan, pekerja migran yang terkena PHK atau dipulangkan, pekerja informal atau Bukan Penerima Upah (BPU) iuran mandiri. Kemudian di luar itu, pendekatan Fokus Kesejahteraan Sosial juga dibutuhkan. Sejumlah program yang dinilai sangat membantu dan lebih tepat sasaran diantaranya Program Keluarga Harapan (PKH) mestinya diperkuat.

Terakhir, di luar bantalan sosial harus ada siasat strategis lain. Terlebih bicara pekerja informal, perhatian khusus tertuju ke Riau. Mengingat banyak pekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Berikutnya perdagangan besar dan eceran meliputi UMKM. Kontribusi sektor tadi terhadap perekonomian Riau sangat besar. Tenaga kerjanya pun tumbuh dan bertambah. Namun sektor tersebut rentan kebijakan Pemerintah. Walau mereka secara teknis tetap bekerja, batas dengan pengangguran sangat tipis. Kebijakan kenaikan BBM sangat mempengaruhi harga input produksi dan bisa berakibat ke usaha mereka (UMKM) atau tempat mereka bekerja. Berangkat dari keadaan, perlu pendekatan serius Pemda guna mengurangi beban berlebihan yang dapat mengganggu stabilitas harga input dan output. Sehingga meminimalisir pergeseran para pekerja ke pengangguran dan kemiskinan lebih parah efek dari kenaikan BBM. Sekali lagi, BLT, BSU dan Bansos tidak akan efektif menekan angka kemiskinan, sebab bersifat jangka pendek. Mustahil rasanya mengandalkan bantuan selama 4 bulan untuk meminimalisir kelompok masyarakat tertentu jatuh miskin terlebih lagi mencegah kemiskinan ekstrim. Karena setelah program BLT, Bansos dan apapun rupa-rupanya berakhir, bulan selanjutnya penerima kembali dihadapkan kepada efek rentetan kenaikan BBM.

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau

Baca Juga

ISRA’ MI’RAJ DAN SPIRIT PERUBAHAN

 “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil …