Dalam imajinasi kita, desa tempat refreshing bagi jiwa, raga dan pikiran; menyegarkan semangat teristimewa bagi perantau; bertemu orang tua dan bernostalgia. Namun, desa juga punya kekuatan lebih: tempat pelarian saat warga dipaksa mengalah menghadapi beban hidup di perkotaan. Fenomena itulah terjadi sekarang. Data dan fakta menunjukan bahwa selama pandemi arus mobilisasi dari kota ke desa atau dikenal dengan istilah ruralisasi meningkat. Kebalikan dari keadaan biasanya yakni urbanisasi. Penyebabnya beragam, mulai kehilangan pekerjaan akibat dirumahkan hingga berhentinya aktivitas perusahaan. Akhirnya kembali ke desa entah sebatas menyelamatkan diri untuk sementara sambil mengintai peluang kembali ke kota, ada juga beralih dari semula bekerja di sektor formal ke informal dengan menekuni kegiatan bertani dan sejenisnya sebagai mata pencaharian baru. Dalam usia pandemi hampir menginjak dua tahun, desa benar-benar menjadi penyangga ekonomi bangsa.
Fenomena “balik ke desa” dan ruralisasi bukan kali ini saja. Beberapa kali momen sama berulang, terutama masa-masa ekonomi dalam situasi dan kondisi pelik. Paling mengemuka tatkala krisis moneter 1998 menerpa. Namun sangat disayangkan, peran penting desa belum dibarengi perhatian sepadan dari sisi kebijakan. Stigma ketertinggalan dan kemiskinan masih menghantui desa. Data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mencatat bahwa ekonomi desa hanya menyumbang kisaran 14 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, adapun selebihnya 86 persen berasal dari perkotaan. Begitupula dalam hal kemiskinan, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menggambarkan bahwa, untuk disparitas kemiskinan level di pedesaan hampir dua kali lipat daripada perkotaan. Hal sama juga didapati untuk Indeks kedalaman kemiskinan dan Indeks keparahan kemiskinan dimana pedesaan lebih tinggi dari perkotaan.
Ironi
Fakta di atas menyuratkan sebuah ironi. Desa yang identik dengan pertanian justru tertinggal. Padahal sektor ini tercatat sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi paling tinggi selama masa pandemi. Bandingkan dengan sektor lain yang ngos-ngosan dan pertumbuhannya minus. Termasuk industri agro, kontribusinya juga terus signifikan. Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa di kuartal II tahun 2021, sektor tersebut berkontribusi 50,59 persen terhadap pertumbuhan PDB industri pengolahan nonmigas. Berkaca dari potensi sangat menjanjikan dari sektor-sektor yang beroperasi di desa, semestinya berpeluang menghasilkan aktivitas ekonomi lebih besar. Apalagi berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, 91 persen wilayah Indonesia terdiri dari desa. Bisa dibayangkan kekuatan “91 persen” terhadap pencapaian pembangunan nasional jika penguatan desa dapat dipenuhi. Terutama dari segi keberpihakan dan kebijakan anggaran. Setakad ini alokasi anggaran desa semakin bertambah. Namun bicara realisasi dan penyaluran dari tahun ke tahun masih belum optimal. Untuk Riau contohnya, per 17 September 2021 Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Riau mencatat penyerapan dana desa baru mencapai 62,67 persen dari pagu. Capaian ini tergolong rendah padahal sudah menjelang penghujung tahun. Mustahil mengharap perencanaan tercapai ketika penyaluran dan pengelolaan anggaran saja belum maksimal.
Sementara instrumen kebijakan seperti dana desa terbukti berefek positif. Sejak dana desa bergulir, aktivitas ekonomi meningkat dan berefek terhadap kenaikan pendapatan perkapita. Dalam hal ini, Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo pernah mengemukakan perhitungan sederhana mengacu dari data kenaikan pendapatan per kapita di desa hampir 50 persen menjadi Rp 804 ribu dalam lima tahun terakhir. Menurutnya, jika tren tersebut bisa dijaga dan terus bertumbuh, tujuh tahun ke depan pendapatan per kapita desa ditaksirkan bisa bertambah hingga Rp 2 juta. Kalau itu terwujud, dengan asumsi Rp 2 juta dikali 150 juta orang, maka desa akan mempunyai pendapatan Rp 200 triliun perbulan. By the way untuk penduduk menurut data BPS, 43 persen warga Indonesia tinggal di desa. Dari sini nantinya tercipta daya beli 1.500 triliun perbulan atau 18 ribu triliun pertahun. Apabila hitungan tadi masuk, kontribusi desa terhadap ekonomi Indonesia bisa melejit hingga Rp 19.912 triliun. Sebuah angka melebihi GDP Indonesia terkini!
Kolaborasi dan Transformasi
Prediksi di atas bukan angan-angan. Sangat mungkin diwujudkan. Namun menuju ke sana butuh keseriusan, komitmen kebijakan dan strategi. Harus ada transformasi, dengan menjadikan desa sebagai subjek pembangunan dan aktor utama dalam perekonomian daerah. Berbekal Sustainable Development Goals (SDGs) desa sebagai pedoman. SGDs desa kemudian dibagi menjadi aspek kewilayahan dan aspek kewargaan. Aspek kewargaan meliputi desa tanpa kemiskinan, desa tanpa kelaparan, desa sehat dan sejahtera, pendidikan desa berkualitas, keterlibatan perempuan desa, berikut desa layak air bersih dan sanitasi. Adapun aspek kewilayahan ialah desa berenergi bersih dan terbarukan, pertumbuhan ekonomi desa yang merata, infrastruktur dan inovasi desa sesuai kebutuhan, desa tanpa kesenjangan, peduli lingkungan laut dan lingkungan darat, damai berkeadilan, kelembagaan yang dinamis dan budidaya adaptif, tanggap perubahan iklim konsumsi, berikut produksi desa sadar lingkungan aman dan nyaman.
Untuk mengimplementasi agenda, Pemerintah Daerah (Pemda) punya peran sentral dan strategis. Khususnya upaya melakukan pembinaan kepada desa. Apalagi dalam perkembangan terkini, desa mendapat berkah dari penerapan otonomi daerah. Melalui pembinaan dan koordinasi, musyawarah desa diharapkan menghasilkan dokumen perencanaan pembangunan berbasis kebutuhan dan prioritas bukan didominasi keinginan para elite di desa. Secara konkrit peran strategis Pemda diantaranya saat penyusunan Alokasi Dana Desa, penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes), menyetujui penetapan APBDes, membina BUMDes, memberikan surat kuasa pencairan Dana Desa, dan memberikan pelatihan peningkatan kapasitas perangkat desa. Peran tadi harus menjadi spirit Pemda dalam menjalankan fungsinya. Dengan begitu desa di wilayahnya dapat dan mampu meningkatkan Indeks Desa Membangun (IDM). Selain itu, peran lain bagaimana menginisiasi kebijakan yang dapat mengakselerasi kemajuan desa. Untuk Provinsi Riau, pencanangan program zona ekonomi syariah oleh Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar di Desa Rimba Makmur, Kecamatan Tapung Hulu, Kampar, pada September 2021 lalu patut diapresiasi. Terlebih program tersebut bentuk tindak lanjut atas digagasnya Riau sebagai daerah zona syariah oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin beberapa waktu lalu. Harapan ke depan, ekonomi berbasis syariah berkembang sampai ke pelosok desa untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa.
Termasuk juga dengan memperkuat program sudah ada, seperti revitalisasi BUMDesa sebagai badan usaha penggerak ekonomi desa supaya dapat berkontribusi lebih baik lagi bagi pendapatan desa. Melihat beratnya pekerjaan, misi transformasi desa perlu sinergi dan kolaborasi bersama. Yakinlah, prioritas dan perhatian terhadap desa bakal seimbang dengan hasil diperoleh di masa mendatang. Bahkan akan melebihi ekspektasi. Karena ketika ekonomi desa membaik dan penggerak perekonomian, dampaknya terasa bagi perekonomian daerah. Karena desa penyangga bagi satu daerah. Ibarat bangunan, semegah apapun ornamen pada bagian luar plus tampilan kubah mewah tinggi menjulang, tanpa tiang penyangga tak akan bisa berdiri. Ketika pembangunan terkonsentrasi di wilayah perkotaan atau ibukota kabupaten/kota saja yang dipoles, satu sisi akan melahirkan persoalan seiring terjadinya penumpukan penduduk seiring arus mobilisasi ke kota. Di sisi lain, problematika juga muncul di desa yang ditinggalkan akibat ketimpangan pembangunan dan minimnya perhatian.
Oleh: Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota DPRD Provinsi Riau