Kita sepakat bahwasanya seorang yang digelari pahlawan pastinya bukan sosok sembarangan. Menilik dari makna bahasa saja sudah menegaskan keistimewaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan pahlawan yakni orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Sedangkan sifat kepahlawanan adalah keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan. Menengok bahasa asing pun sama. Dalam bahasa inggris mengutip kamus Oxford mengartikan hero yakni pahlawan sebagai a person, especially a man, who is admired by many people for doing something brave or good. Adapun dalam bahasa Arab dikenal Al-batholu dan dalam agama Islam dikenal istilah mujahidin, dengan pengertian dan kedudukan lebih istimewa lagi. Intinya dari berbagai bahasa, pahlawan punya titik persinggungan yang sama. Bahwa setidaknya berasosiasi kepada dua hal: perjuangan dan pengorbanan.
Dua kata di atas satu kesatuan. Setiap perjuangan pasti menuntut pengorbanan. Pengorbanan ada bila disertai keikhlasan. Jadi, pahlawan orang yang ikhlas mengorbankan ilmu, harta hingga jiwa raga demi meraih dan mewujudkan cita-cita perjuangan. Sementara itu, dalam konteks kebangsaan ada kriteria khusus: Pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain demi mencapai, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa; Tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan; Melakukan pengabdian dan perjuangan sepanjang hidupnya; Pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang menunjang pembangunan bangsa dan negara; Pernah menghasilkan karya besar bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa; Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; Perjuangannya punya jangkauan luas dan berdampak nasional.
Hidup merdeka saat ini berkat pahlawan. Oleh karenanya kita patut memberi penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya. Paling sederhana dengan melantunkan do’a. Atau lebih syukur nikmat dengan menjaga warisan perjuangannya. Banyak cara bisa ditempuh. Dalam peringatan 10 November sering disuguhkan berbagai even dan seremoni. Termasuk mengusung tagline mencari sosok pahlawan di masa kini. Cara seperti ini sebenarnya punya maksud baik, agar kita punya perspektif dan jiwa yang sama dengan para pahlawan. Namun upaya tadi bisa menjadi tidak efektif bahkan kontraproduktif dengan momentum hari pahlawan, yang mana semestinya kita lebih banyak merefleksi perjuangan mereka. Karena kata pahlawan punya makna sakral. Maka biarkan tetap seperti itu. Ketika julukan pahlawan diobral, bukankah malah mereduksi makna dan keistimewaan? Sehingga hari pahlawan kehilangan makna. Ada kata bijak: sejarah adalah guru kebijaksanaan, tokoh sejarah bentuk keteladanannya.
Warisan
Hari pahlawan saat tepat mengevaluasi sejauhmana kepedulian kita terhadap warisan mereka. Baik berupa memorial atau kebendaan sebagai pengingat generasi ke generasi. Terkait ini, perlu pelestarian dan revitalisasi benda bersejarah sebagai elemen penting guna mempelajari perjuangan dan kehidupan pahlawan. Termasuk upaya digitalisasi agar dapat dikenal secara luas tanpa batas ruang dan waktu. Untuk Riau, banyak dalam kondisi memprihatinkan. Ada benda bagiannya sudah terpisah dimana satu bagian dimiliki kolektor satu lagi oleh ahli waris, ada yang dijual kiloan, ada situs bersejarah beralih jadi perumahan, serta tak sedikit dokumen, artifak dan sejenis telah dijual. Riau sebagai negeri Melayu pantas cemburu dengan negara tetangga seperti Singapura yang berhasrat menjadi episentrum Melayu. Saking antusiasnya dibangun Malay Heritage Center. Bedanya, inovasi dan kreativitas pengelolaan Pemerintah Daerah (Pemda) di Riau masih kalah jauh. Bahkan ada tempat bersejarah malah menonjolkan cerita mistis daripada edukasi dan studi. Sementara di Singapura mengandalkan multimedia interaktif dan kombinasi media kekinian. Karena episentrum, Malay Heritage Center juga diplot sebagai tempat studi.
Disamping kebendaan, warisan berikutnya keteladanan. Pahlawan dikenal karena kegigihan membela dan mempertahankan kebenaran, menegakan yang benar (haq) dan memerangi batil. Agama jadi kredo bagi perjuangan. Hidup mulia atau mati syahid jadi prinsip, berangkat dari firman Allah SWT: “Perangilah mereka sehingga tidak ada lagi penindasan, dan yang ada hanya keadilan dan keimanan kepada Allah (QS, 2:193). Kekuatan tersebut menakutkan penjajah. Riau pun turut ambil bagian penting melahirkan sederetan para pahlawan yang kesohor sampai ke luar negeri. Sebut saja Sultan Mahmud Riayat Syah, Raja Haji Fisabilillah, Raja Ali Haji, Sultan Syarif Kasim II dan istrinya Syarifah Latifah serta Tuanku Tambusai. Kisah mereka warisan berharga. Sultan Mahmud Riayat, disamping perjuangan fisik juga membangun pusat-pusat ekonomi dan mempererat hubungan dengan banyak kerajaan lain di nusantara dan luar nusantara. Riau pun punya posisi terpandang di asia tenggara. Adapula Sultan Syarif Kasim II selain menyumbang harta 13 juta gulden kepada Pemerintah RI, juga turut berkontribusi membeli pesawat Seulawah cikal bakal Garuda yang ironisnya sekarang diujung tanduk akibat negara salah kelola. Sang istri Sultan Syarif Kasim II, Syarifah Latifah berperan dirikan Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah menyaingi sekolah kolonial di Riau Hollandsche Inlandsche School (HIS) yang diperuntukkan bagi anak bangsa Eropa, keturunan Tionghoa dan bangsawan pribumi.
Oleh karena itu, hari pahlawan idealnya waktu tepat untuk menginisiasi berbagai upaya menggali kisah dan memperkaya sejarah kepahlawanan. Khususnya bersifat kedaerahan. Jangan sampai para pahlawan Riau terlupakan dan hilang dari ingatan generasi daerah. Mempelajari sejarah bukan hapal nama pahlawan dan peristiwa sejarah saja. Tapi bagaimana mengambil itibar atau pelajaran dari mereka. Keuntungan belajar sejarah pun akan kembali ke orang yang berhasil mengambil pesan. Bukan bagi pelaku sejarah, toh mereka sudah tiada. Berdasarkan itu, perlu penguatan sejarah sebagai pengetahuan. Sangat disayangkan heboh tahun lalu isu pelajaran sejarah bakal digeser dari mata pelajaran wajib SMA lewat kebijakan penyederhanaan kurikulum digodok Kementerian Pendidikan dan kebudayaan. Padahal sejarah modal. Orang bijak pernah berkata: “bangsa yang melupakan masa lalu (sejarah), tidak akan memiliki masa depan”. Berbekal sejarah kita bisa tahu mana langkah keliru dan mana langkah benar. Sehingga lebih efisien tanpa perlu berulang kali mencoba. Alhasil mempercepat proses menuju kesuksesan dan menghindari penyebab kegagalan. Ini berlaku bagi individu dan semua unsur termasuk pihak penyelenggara pemerintahan. Terakhir, pelajaran dari kisah perwayangan tentang seorang raja bernama Kurawa yang rezim kekuasaannya collapse karena hanya peduli dengan ambisi dan jabatan, berkuasa suka-suka dan zalim bersama kelompoknya. Sang raja abai terhadap warisan nilai pendahulunya dan tak mencontoh sejarah leluhurnya memerintah dengan adil dan bijaksana. Meski rezim Kurawa tergolong makmur dan banyak membangun namun tak menjamin selamat.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU DAN TOKOH MASYARAKAT