BAHAYA LATEN PENGKHIANATAN BANGSA

Setiap bangsa memiliki sejarah yang diisi kisah gemilang dan juga kelam. Sejarah adalah identitas sebuah bangsa. Semua negara maju saat ini lahir karena politik, ekonomi dan dimensi kehidupan mereka dibentuk dari sejarah. Mereka mengambil intisari kehidupan dari masa lalu. Jerman maju karena menjadikan sejarah Nazi sebagai pengalaman kelam sekaligus motivasi untuk memperbaiki imej. Begitujuga Jepang, kekalahan di Perang Dunia mendorong untuk bangkit secara ekonomi, politik dan capaian lain. Termasuk merubah pandangan ke arah lebih terbuka atas “dosa” lama melalui rekonsiliasi dengan korban tragedi masa lalu. Intinya Jerman dan Jepang coba membalik sejarah untuk memenangkan masa kini dan depan. Mereka sadar betul bahwa politik, ekonomi dan dimensi kehidupan kini dan masa depan akan lebih prospektif ketika berhasil membangun citra dan komunikasi lebih baik dengan dunia.

Sebaliknya, sejarah juga buat sejumlah negara maju menghadapi kesulitan, bahkan ancaman dan kegagalan di masa kini. Bisa dicontoh Amerika Serikat yang menghadapi ancaman terbesar rasisme yang bertubi-tubi muncul ke permukaan sebagai isu utama. Sejarah perang saudara di masa lalu sepertinya gagal diambil sebagai pelajaran. Begitujuga Inggris belakangan kewalahan menghadapi ancaman sektor ekonomi dan politik gara-gara terganggunya pasokan kebutuhan mendasar bagi warganya, yang diperparah dengan kekurangan tenaga kerja di sektor tertentu termasuk yang esensial dan kritikal. Para ahli menyatakan bahwa sedikit banyak permasalahan tadi imbas keputusan Inggris keluar Uni Eropa lewat keputusan Brexit. Brexit bagaimanapun lahir dari kejumawaan atas sejarah kedigdayaan Inggris Raya. Seolah muncul anggapan tanpa Uni Eropa dan kebijakan proteksi dari kaum pendatang, mereka bisa lebih berjaya.

Pola sama dialami negara lain. Ada berhasil menangani “luka lama”, ada juga yang kambuhan bahkan terjadi “infeksi” karena gagal ditangani secara dini. Kebiasaan menyepelekan sejarah penyebabnya. Bangsa maju jika bisa menjadikan sejarah sebagai pelajaran. Sebaliknya bangsa bisa mundur ketika sejarah justru menjadi bahan bakar untuk terus berkonflik dan melahirkan masalah. Ada makna mendalam dibalik perkataan: sejarah pasti akan berulang. Maksudnya sangat jelas, bagaimana generasi yang hidup hari ini dan masa mendatang dapat mengantisipasi peristiwa lama agar tak terulang. Atau setidaknya meminimalisir dampak negatif keterulangan sejarah dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendekatan ini hanya dapat ditempuh ketika sejarah tersebut terus dilestarikan di dalam benak para generasi bangsa sebagai bekal mewujudkan keberlangsungan kehidupan lebih baik.

Terutama peristiwa Gerakan pemberontakan 30 September oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) atau yang dikenal G30S/PKI. Memasuki usia peringatan ke 55 tahun, peristiwa dimaksud meninggalkan konflik dan luka politik begitu dalam sepanjang sejarah republik. Nilai penting peringatan G30S/PKI bukan semata upacara dan mengheningkan cipta. Namun bagaimana kita dapat mengambil pelajaran dalam upaya menjaga keutuhan bangsa dari ancaman ideologi berbahaya seperti komunisme. Apalagi konstitusi sudah mengatur urgensinya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 Ayat 3 dalam UU 23/2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara, bahwa ancaman terhadap bangsa dapat berwujud agresi, terorisme, komunisme, separatisme, hingga pemberontakan bersenjata. Kebangkitan ideologi dalam sejarah 30 September pantas mengundang kekhawatirkan. Paling banyak mengundang sorotan dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan adalah munculnya upaya mencoba mereduksi bahaya dan ancaman kebangkitan komunis, mulai dari niat menghapuskan kata “PKI” dari kalimat G30S di buku-buku pelajaran sejarah sekolah, hingga ada wacana penghapusan TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang pelarangan ajaran komunisme, Marxisme, Leninisme.

Bahaya Laten

Ideologi tak akan pernah mati, begitu adagium. Bahwa sejarah PKI berakhir memang benar, tetapi romantisisme kalangan pengikutnya bikin ajaran komunisme tak akan begitu saja pupus. Ketakutan kebangkitan ideologi komunis dirasa wajar dan bukan rekaan. Karena lahir dari fakta sejarah. Paling menonjol kekejaman mereka yang menyasar tokoh pemerintahan dan militer, juga pemuka agama terutama para ulama dan santri berikut juga penduduk biasa yang berseberangan tanpa rasa segan. Bahkan Sakirman seorang tokoh penting PKI merupakan kakak dari Letjen S. Parman yang turut gugur di tangan PKI. Sungguh sulit dibayangkan ideologi yang membuat seseorang tega dengan dinginnya membiarkan saudara kandungnya sendiri dibunuh. Berangkat dari itu, perlu menjadi perhatian bagi kita bersama terutama para orang tua supaya generasi bangsa dapat dibina dan dididik untuk paham agar tidak terpengaruh dengan ideologi tersebut.

Disamping bahaya laten komunisme yang begitu mudah menyingkirkan sampai menghilangkan nyawa pihak yang menentang ide dan agendanya, sejarah G30S/PKI juga membuka tabir mana pihak yang loyal terhadap negara dan Pancasila dan mana pengkhianat yang berlindung dibalik Pancasila. Kita ketahui bahwa tak sedikit tokoh-tokoh PKI mahir dan fasih berbicara tentang Pancasila dan agama. Bahkan tokoh sentral PKI yakni DN. Aidit dalam sebuah wawancara begitu bersemangat menentang pemretalan Pancasila. Dia juga menerbitkan buku Aidit Membela Pantja sila di tahun 1964. Dari sini jelas bahwa karakter pengikut komunis sulit dipercaya. Sifat pengkhianat seperti ini musuh nyata bagi negara. Karena nilai Pancasila bukan jadi tujuan, tetapi hanya alat dan kedok untuk mencapai tujuan mereka. Sosok-sosok seperti ini akan selalu ada. Layaknya PKI dulu, mereka juga bisa masuk ke lingkaran kekuasaan dan mengendalikan sektor vital. Narasi tersebut bukan provokasi. Itulah kenyataannya. Tujuan disampaikan untuk menyadarkan kita selalu waspada. Ada kelompok yang tidak senang Indonesia hidup dalam keadaan damai dan meraih kemajuan. Menyeruaknya pelecehan terhadap simbol agama dan penyerangan terhadap pemuka agama belakangan patut dicurigai sebagai upaya adu-domba. Sebagaimana PKI dulu melakukan hal sama. Kembali ke hakikat sejarah, bukan untuk dilupakan tapi diambil sebagai pelajaran. Mengkaji sejarah bukan berarti melestarikan dendam, tapi agar tidak lupa sejarah kelam. Menatap sejarah bukan langkah mundur, malah sebaliknya menjaga fokus agar tak kendur. Ibarat orang menyeberang, bila menatap hanya ke depan bahaya menanti di hadapan.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. TOKOH MASYARAKAT DAN ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

PEKANBARU DAN MINDSET IBUKOTA

Bulan lalu, 23 Juni, Kota Pekanbaru mengenang hari jadi yang ke-240. Di usia tadi asa, …