IDUL ADHA: KETAKWAAN BERBUAH KEPEDULIAN

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota DPRD Provinsi Riau

Idul Adha bukan hanya sebatas ritual menyembelih hewan kurban. Bila dikaji secara seksama, banyak pesan berharga terkandung dibalik peristiwa. Pesan yang jika dipraktikan akan menghantar manusia mencapai derajat paling mulia. Sebagaimana diketahui, Tuhan menganugerahkan manusia kehendak bebas. Ketika manusia lebih memilih jalan kebaikan jelas itu sesuatu yang sangat istimewa. Sebab manakala kita beramal baik pasti akan selalu ada bisikan keraguan, ketakutan, ejekan dan hinaan dari segala arah yang melemahkan dan mengurungkan niat baik semula. Jadi kurban merupakan manifestasi penaklukan atas hawa nafsu, egois dan aspek yang merendahkan hakikat manusia. Secara harfiah, kita dididik untuk sadar bahwa manusia yang harusnya mengendalikan harta, tahta dan benda. Bukan sebaliknya malah diperbudak. Ujungnya menyeret insan ke lembah kehinaan.

Dalam sejarah tercatat pula bahwa sosok yang dikenang adalah mereka yang berani berkorban. Entah harta, jiwa dan raga. Dalam konteks Idul Adha yang diperingati umat muslim seluruh dunia, tersebut kisah nabi Ibrahim AS dan anaknya Ismail AS. Pengorbanan mereka contohkan merupakan pondasi bagi peradaban. Mengajarkan bahwa ketakwaan, kepedulian dan segala kebaikan butuh komitmen dan aksi. Bukan lip service dan janji. Buah ketakwaan nabi Ibrahim As dan Ismail As, atas seizin Allah SWT, di tanah gersang berkembang kota makmur penuh keberkahan. Pengorbanan mereka adalah simbol yang interpretasinya memiliki lingkup luas. Termasuk bersuara membela kebenaran, menentang kezaliman berikut membawa energi dan perubahan positif bagi lingkungan sekitar. Semua tak akan terwujud tanpa pengorbanan. Ingat firman Allah SWT “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran Ayat 104).

Keprihatinan

Seperti telah disampaikan di awal, sangat disayangkan kalau kita memandang momentum rangkaian ibadah haji, perayaan Idul Adha dan kurban dari sisi ritual saja. Padahal nilai dibaliknya saat dibutuhkan untuk menganalisa peristiwa dan fenomena hingga solusi mengatasinya. Terutama belakangan mengemuka keprihatinan atas keadaan bangsa. Di tengah kondisi masyarakat kesusahan menghadapi gempuran tekanan dan biaya hidup yang kian membumbung tinggi, sayangnya pendekatan diambil pengambil kebijakan dinilai tidak tepat. Paling hangat soal pembelian bahan bakar/BBM dan minyak goreng curah yang mengadopsi cara baru lewat penggunaan aplikasi HP. Mayoritas warga protes dan mengaku ribet. Dalih Negara (baca: Pemerintah) terdengar baik: supaya subsidi tepat sasaran. Namun pendekatan dirasa kurang pas dan tanpa didukung kajian komprehensif. Di tambah narasi bikin blunder. Salah satunya Presiden yang beberapa kali menyinggung kebaikan Pemerintah yang masih memberi subsidi besar untuk BBM seraya membandingkan dengan harga BBM di negara lain. Seakan lupa bahwa Indonesia penghasil Sumber Daya Alam (SDA). Warga memandang sudah sepantasnya rakyat menikmati anugerah SDA. Terlebih ekonomi kebanyakan warga belum sepenuhnya pulih. Toh subsidi juga amanah UUD 1945.

Kembali ke peristiwa Idul Adha, seharusnya belajar dan mengambil intisari dari kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isma’il AS. Sebagai sosok pemimpin, Nabi Ibrahim AS memberi contoh langsung pengorbanan terberat berupa anaknya tercinta. Jadi bukan menuntut pengikutnya berkorban. Sekarang paradoks. Jargon peduli rakyat tapi kebijakan justru menyusahkan rakyat. Masyarakat terus ditagih berkorban lebih banyak. Di sisi lain Pemerintah hamburkan uang untuk kegiatan tidak prioritas dan tidak berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Dari dialog Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isma’il AS pula kita mendapat pelajaran luar biasa bagaimana sebuah keputusan seharusnya diambil: melibatkan komunikasi dua arah. Meski Nabi Ibrahim AS paham bahwa perintah menyembelih Nabi Isma’il AS dari Allah SWT, namun tak menghalangi Nabi Ibrahim AS bertanya ke Nabi Isma’il AS. Meski tanpa dialog pun keduanya pasti akan taat. Sudah selayaknya pengambil kebijakan meniru. Memutuskan hal menyangkut hajat publik atau berdampak luas secara demokratis dengan melibatkan pandangan masyarakatnya. Bukan perspektif dan kacamata elit semata.

Disamping pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isma’il AS, dalam momen Idul Adha perlu pula memaknai pidato bersejarah Rasulullah SAW yang dikenal dengan “Khutbah Arafah”. Khutbah barusan memuat banyak poin-poin penting dalam kehidupan beragama dan aspek kehidupan secara umum. Bahkan boleh dibilang mengandung deklarasi hak-hak asasi manusia pertama dalam sejarah dunia, dimana dalam khutbah Rasulullah menegaskan bahwa kedudukan manusia sama di hadapan Tuhan. Orang paling baik atau mulia hanyalah yang paling bertakwa. Tidak ada keistimewaan suatu bangsa di atas bangsa lain. Untaian kalimat berharga yang disampaikan Rasulullah pada awal khutbah di hadapan ratusan ribu jamaah waktu itu juga berisi pesan-pesan yang intinya memperkuat orientasi ajaran Islam memanusiakan manusia. Bahwa hanya bekal keimanan dan ketakwaan akan mengantarkan masyarakat kepada kemajuan secara individu dan sosial dengan landasan kesalehan. Bukan sekedar maju dan modern tapi hanya untuk memenuhi kepuasan dan hasrat pribadi, tanpa peduli kehidupan sosial dan lingkungannya. Berbekal keimanan dan ketakwaan pula tertanam dalam diri hanya Allah SWT satu-satunya penguasa yang harus ditakuti, bukan penguasa dari kalangan manusia. Spirit kurban melatih umat Islam untuk sadar. Menggapai peradaban perlu kolaborasi dan kepedulian. Tujuan semua ini tercipta sebuah masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Atau dalam istilah kita masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, masyarakat adil dan makmur berlandaskan asas kemanusiaan dan ketuhanan.

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota DPRD Provinsi Riau

Baca Juga

MENJADI GENERASI PEMBEDA

Selain bulan penuh kebaikan dan keberkahan, Ramadhan bulan diturunkannya Al-Quran. Peristiwa ini kita kenal Nuzululqur’an. …