MANDIRI MENGELOLA KEKAYAAN NEGERI

Karunia tak habis-habisnya dihadirkan atas dan di bawah Bumi Lancang Kuning. Selain sumber daya alam Migas dan kelapa sawit sebagai primadona, kandungan alam Riau juga menyimpan potensi lain yang tak kalah berharga. Marak diperbincangkan belakangan adalah potensi timah. Mengutip data Peluang Investasi Timah 2020, Riau tercatat sebagai satu dari empat provinsi dengan sumber daya dan cadangan timah terbesar di Indonesia. Riau memiliki sumber daya bijih sebanyak 0,22 juta ton dan sumber daya logam sebanyak 0,006 juta ton. Meski secara kuantitas dibawah 3 provinsi lain, namun anugerah itu lebih dari cukup. Apalagi Riau sudah punya keunggulan sebagai penghasil Migas utama dan sentra kelapa sawit nasional. Sebuah perpaduan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang tak bisa dimiliki daerah lain.

Secara global, “harta karun” Indonesia berupa timah di sektor pertambangan merupakan terbesar kedua di dunia setelah China. Cadangan timah Indonesia merupakan terbesar ke-2 di dunia, yakni 17% dari total cadangan timah dunia, setelah China yang menguasai 23% cadangan timah dunia. Secara nasional, berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di tahun 2021 produksi logam timah ditargetkan sebesar 70 ribu ton dan penjualan sebesar 68 ribu ton. Adapun sepanjang tahun 2020 tercatat ada 537 Izin Usaha Pertambangan (IUP) timah, terdiri dari 3 IUP Eksplorasi dan 534 IUP Operasi Produksi. Dari informasi, ada 512 IUP berpeluang dikembangkan oleh investor. Berkaca dari besarnya potensi, maka hal utama yang paling diharapkan adalah sejauhmana kekayaan sumber daya alam tadi dapat dirasakan nilai ekonomisnya semaksimal mungkin bagi masyarakat, terutama dalam konteks ini Riau. Untuk mendapatkan hasil maksimal, tak ada jalan selain mengelolanya sendiri.

Harapan agar mampu dan berani mengelola kekayaan SDA perlu disampaikan agar SDA Riau tidak hanya dinikmati oleh pengusaha tambang dan pihak yang mengambil keuntungan langsung dari eksplorasi dan eksploitasi. Juga untuk mencegah keuntungannya lari ke luar daerah atau lebih banyak mengalir ke pusat tapi kemudian daerah diabaikan. Sebagai bagian dari entitas daerah, kita berkewajiban menyuarakan aspirasi dan kepentingan daerah sesuai kapasitas dan kemampuan. Termasuk dalam konteks memperjuangkan agar setiap rupiah yang didapat dari pengelolaan SDA dapat dirasakan baik itu berupa kemajuan daerah serta ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Kita menghendaki adanya upaya revolusioner dan perubahan radikal dalam mengelola kekayaan negeri. Selama ini keuntungan diperoleh daerah terutama dari aktivitas baik itu pemanfaatan alam apakah itu pertambangan termasuk kelapa sawit justru tidak sepadan antara keuntungan yang diperoleh dengan beban dan dampak yang ditimbulkan.

Kepentingan Daerah

Diantara perubahan radikal dimaksud adalah dengan tidak menjadikan ekspor komoditas bahan mentah dan bahan baku sebagai tujuan. Dalam hal ini, kebijakan Pemerintah melarang ekspor bijih nikel perlu dipertimbangkan untuk dapat diperluas penerapannya. Sehingga perusahaan tambang diwajibkan mengolah dulu hasil produksinya sebelum dikirim ke luar negeri. Langkah ini tentu akan melipatgandakan nilai tambah bagi perekonomian negara terutama daerah. Dengan intervensi kebijakan seperti tadi dapat membuka peluang munculnya industri hilir. Dalam konteks timah, usaha produksi pipa timah merupakan salah satu yang bisa dilirik sebagai peluang investasi di Riau ke depan. Pendekatan kebijakan tersebut secara perlahan juga akan meningkatkan daya saing Riau. Selain pastinya berkontribusi signifikan bagi ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat seiring hadirnya investasi industri pengolahan, juga mendorong daya saing sektor lain seperti pendidikan, dimana lembaga pendidikan akan menyesuaikan pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan kebutuhan lapangan kerja.

Untuk menuju ke sana jelas dibutuhkan persiapan matang. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dituntut untuk dapat mempersiapkan segala hal. Jangan sampai ketika masalah bermunculan baru mulai berencana dan bertindak. Apalagi bicara tambang, banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan. Sebagaimana laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa tunggakan pajak pertambangan mineral dan batu bara (Minerba) di Riau mencapai Rp4,17 triliun selama 9 tahun. Laporan tersebut mengacu dari data Direktorat Jenderal Pajak perihal 41 perusahaan di Riau yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan 71 pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak membayar iuran tetap. Hal tadi jelas celah besar dan terbukti telah merugikan merugikan daerah dan masyarakat. Akibatnya pajak bersumber dari duit rakyat malah terkuras untuk merevitalisasi atau memperbaiki kerusakan infrastruktur, alam dan lingkungan yang ditimbulkan oleh pelaku usaha pertambangan yang di saat yang sama justru mangkir dari kewajibannya.

Agar tidak Rugi

Sektor pertambangan memang menggiurkan. Namun perlu pendekatan paripurna agar tidak timbul kerugian. Pertambangan bukan sekedar eksplorasi tetapi juga bicara kesinambungan masa depan daerah. Termasuk aspek lingkungan. Guna menunjang aktivitas agar dapat berjalan optimal dan sesuai kaidah berlaku, perusahaan berbasis tambang perlu diwajibkan memiliki perencanaan matang terkait pengolahan bahan mentah. Dalam hal ini feasibility study jelas menjadi dokumen wajib. Dalam konteks ini meski perizinan tambang sudah diserahkan sepenuhnya ke pusat, namun secara peraturan perundang-undangan ada pasal mengatur pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan kepada Pemda. Artinya secara pelaksanaan bisa fleksibel dan pastinya terbuka ruang politis antara pusat dan daerah. Karena bagaimanapun prinsip otonomi daerah yang sudah disepakati bersama tidak bisa dikangkangi dengan menerbitkan peraturan baru begitu saja. Selain itu, aturan juga masih memberi ruang bagi Pemda melakukan pengawasan terhadap aktivitas pertambangan. Dengan begitu tidak sepenuhnya oleh pusat.

Pemaparan di atas sedikit dari sekian banyak ikhtiar yang bisa disampaikan untuk mengelola kekayaan bumi negeri. Negeri ini hanya akan maju jika kita punya kendali atas kekayaan sendiri. Kita pantas malu dengan negara tetangga seperti Singapura. Punya wilayah sangat kecil tanpa SDA tapi bisa menentukan rantai pasokan kawasan. Bahkan untuk timah, Singapura berperan penting menentukan harga. Oleh karena itu, kita menantikan realisasi kebijakan yang dapat memperkuat hilirisasi dan industri pengolahan dalam negeri. Sebagai pengguggah, kita perlu berkaca ke sejarah 67 tahun lalu. Dalam sebuah Konferensi Ekonomi di Jogjakarta Bung Hatta pernah berujar, “sejak kemunculan kapitalisme liberal sesudah 1870-an, Indonesia hanya dipandang sebagai onderneming besar, untuk menghasilkan barang-barang bagi pasar dunia.” Pernyataan Bung Hatta muncul karena praktik ekonomi kolonial yang berorientasi ekspor bahan mentah dan baku seperti rempah termasuk tambang. Sistem tersebut membuat rakyat Indonesia hanya jadi tenaga kerja murah dan tidak melahirkan basis industrialiasi dan produksi dalam negeri.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

BANSOS TANPA PAMRIH

Bantuan Sosial (Bansos) menjadi topik pembicaraan di berbagai media. Berawal dari keputusan Pemerintahan di bawah …