Melestarikan Warisan Pahlawan

Sofyan Siroj Abdul Wahab, Anggota DPRD Provinsi Riau fraksi PKS

Di Hari Pahlawan ada sebuah pertanyaan: Apa perspektif kita yang hidup di masa sekarang terhadap memorial tersebut? Pertanyaan penting diajukan mengingat fenomena yang muncul setiap peringatan Hari Pahlawan.

Pertama, sudah barang tentu diperingati lewat berbagai seremoni, mulai upacara, even dan kegiatan termasuk dengan mengajukan sejumlah nama untuk diangkat menjadi pahlawan nasional. Namun seremoni mulai kehilangan orientasi. Mementingkan bungkus daripada isi; mengedepankan formalitas ketimbang substansi. Di lini kehidupan, kita gagal menjaga warisan nilai-nilai dari perjuangan para pahlawan.

Kemudian kedua, kebiasaan lain yang juga muncul adalah mencari “siapa sosok pahlawan masa kini”. Sepintas tak ada yang salah. Apalagi dalihnya bahwa kata “pahlawan” tak terbatas ruang dan waktu. Namun upaya tadi bisa berujung bias dan malah mendistorsi keistimewaan momen Hari Pahlawan. Karena konteks kata “pahlawan” 10 November berangkat dari peristiwa. Munculnya narasi mencari sosok pahlawan di masa kini justru bisa mendegradasi makna dan hakikat peringatan Hari Pahlawan. Efeknya, lalai merefleksi dan mengambil itibar dari sejarah perjuangan para pahlawan.

Kelalaian jelas bertolak belakang dengan kebutuhan. Karena sejarah modal paling berharga menghadapi tantangan kini dan masa depan. Apalagi sekarang masa dimana pergulatan kebenaran versus kebathilan berlangsung sengit. Sulit bedakan mana yang tulus berbuat bagi bangsa dan mana –meminjam istilah kekinian- impostor yang berlindung dibalik kepentingan bangsa dan simbol kebangsaan; mengaku pancasilais tapi perbuatan malah merongrong Pancasila; yang amanah difitnah sementara yang khianat dipuja; ketidakadilan, kebathilan dan kesewenang-wenangan dipertontonkan dan dilindungi secara vulgar. Sementara sedikit yang berani menentang, kalaupun ada pasti akan dipojokkan. Beratnya tantangan hanya bisa ditaklukan jika kembali menghadirkan warisan para pahlawan.

Oleh karena itu, peringatan Hari Pahlawan semestinya diisi dengan kontemplasi, agar warisan tetap terjaga. Baik itu paling utama yang bersifat abstract berupa pemikiran dan sikap mereka, dan yang construct dengan merawat peninggalan bersejarah sebagai pengingat perjuangan mereka, yang dalam hal ini penekanan kepada Pemda di Riau. Dengan begitu warisan para pahlawan bisa lestari di benak masyarakat dan generasi saat ini dan akan datang.

Beda tapi Sama

Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini secara prinsip punya kesamaan dengan dihadapi para pahlawan. Sebagaimana orang bijak berkata “sejarah akan terus berulang”. Bedanya tak lagi mengangkat senjata dan musuh bukan penjajah yang beda tubuh dan muka. Lantas nilai apa yang bisa kita ambil dari para pahlawan? Jawabannya komitmen atas nilai dan konsistensi perjuangan. Para pejuang dulu hidup dalam tekanan hebat, mengabaikan hasrat mereka atas dunia demi tujuan dan kepentingan bersama.

Musuh tak hanya penguasa penjajah, akan tetapi perjuangan mereka juga digerogoti kalangan pribumi yang mengabdi bagi kepentingan penjajah. Sampai kapanpun sosok ini akan tetap ada, sebagaimana perkataan Soekarno: “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan orang dari bangsamu sendiri”. Adapun dalam ajaran Islam dikenal dengan golongan munafik sebab tindakannya ibarat duri dalam daging.

Lanjut bicara komitmen dan konsistensi, meski penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan berangkat dari peristiwa pertempuran di Surabaya di tahun 1945, namun perjuangan menuju kemerdekaan adalah rangkaian peristiwa yang saling berkaitan dan satu kesatuan. Kemerdekaan pun melalui proses bertahap, bukan hadiah dan terjadi dalam semalam.

Ada fragmen peristiwa lain yang berkontribusi seperti Sumpah Pemuda, dimana orang-orang di usia produktifnya berkumpul bersatu dan memilih beraksi melawan penguasa penjajah. Mereka tak berkeluh-kesah, pasrah dan berpangku tangan melihat keadaan. Tak terbayang betapa berharganya hasil perjuangan mereka bagi generasi bangsa selanjutnya. Jika saja saat itu mereka memilih diam, membiarkan kezaliman dan ketidakadilan, boleh jadi penjajahan di nusantara lebih lama. Berikut fragmen peristiwa lainnya yang terlalu banyak untuk dibahas dalam kesempatan terbatas ini.

Perjuangan Segala Lini

Perjuangan di era kemerdekaan juga tak semata angkat senjata. Tetapi juga mendidik dan menyadarkan rakyat pentingnya menjadi manusia merdeka. Kiyai dan kalangan pesantren memupuk pemahaman agama dan semangat jihad sebagai pondasi menentang penjajahan dan perlawanan atas kezaliman, berikut para raja dan tokoh daerah yang semula berjuang komunal turut mengonsolidasikan kekuatan lintas daerah.

Seperti Sultan Syarif Kasim II dari Kesultanan Siak yang tanpa ragu mengorbankan hartanya sejumlah 13 juta gulden (setara 69 Euro atau sekitar 1000 T) untuk republik yang baru merdeka. Tak cukup di situ, bersama sultan Serdang, beliau juga membujuk raja-raja di Sumatera Timur lainnya untuk turut memihak republik. Sekarang jelas bahwa konsistensi dan komitmen pembeda utama antara kita saat ini dengan para pahlawan.

Selagi kita melupakan warisan nilai ini maka selama itu pula peringatan Hari Pahlawan hanya sekedar basa-basi dan seremoni. Selama itupula para impostor terus menggerogoti dan menggadaikan bangsa demi keuntungan diri dan kelompok. Mungkin ini alasan kenapa seorang penulis Szekely Lulofs dalam novelnya berjudul Cut Nyak Dien sampai membuat sarkas: “Setelah pahlawan pergi, siapakah yang akan menghukum pengkhianat tanah air dan penjual bangsanya sendiri?.” Sarkas tadi barangkali upaya penulis menggugah kesadaran, bahwa cara menghormati pahlawan bukan dengan penghormatan. Sebab mereka tidak gila hormat seperti sekarang dimana gelar kemuliaan diperjualbelikan bak barang dagangan oleh orang dan bahkan institusi yang punya derajat terhormat ditengah rakyat. Akan tetapi penghormatan terhadap pahlawan bagaimana kita bisa dan meniru pola pikir dan sikap mereka.

Perjuangan mereka mengajarkan kita bahwa sebagai bangsa harus memiliki harga diri dan kehormatan; berani melawan segala bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Spirit inilah yang membuat para pejuang terdahulu pantas menyandang gelar kepahlawanan. Komitmen dan konsistensi membuat mereka bisa melewati tantangan dan hambatan serta merebut kemerdekaan dari penjajah walaupun banyak meragukan, mencibir dan menganggap perjuangan mereka mustahil. Konsekuensi yang ditanggung jelas tidak mudah. Tekanan psikis juga kehilangan nyawa dan keluarga. Namun buah perjuangan mereka memperoleh kemuliaan. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan janganlah kalian sekali-kali mengatakan bahwa orang-orang yang berjuang (terbunuh) di jalan Allah itu mati melainkan mereka hidup tetapi kita tidak merasakan.” (QS. al-Baqarah: 154). Alfatihah bagi para pahlawan bangsa.

SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Sampai Jual Kebun, Pasien Asal Meranti Ini Sebut Rumah Singgah PKS Sangat Membantunya

Pak Adam, usianya tak lagi muda, tubuhnya kurus. Sudah dua pekan ia berada di Rumah …