Ironi tak henti membayangi negeri. Belakangan laporan menyebutkan Indonesia lebih rawan kelaparan dibanding Etiopia, negara yang diidentikkan dengan kelaparan. Dalam laporan indeks pangan The Economist Intelligence Unit 2020, salah satunya memaparkan indeks keberlanjutan pangan (food sustainability index). Ranking Indonesia ternyata lebih rendah dari Etiopia. Indonesia posisi ke-60, kalah dari Etiopia di peringkat ke-27. Indeks Indonesia 59,1 sementara Etiopia 68,5. Mengutip penjelasan ahli, semakin tinggi skor artinya negara di jalur tepat menuju pangan dan gizi berkelanjutan. Indeks keberlanjutan pangan menggambarkan pencapaian negara dalam keberlanjutan pangan dan sistem nutrisi. Diukur dari aspek pertanian, limbah pangan dan gizi. Selain indeks keberlanjutan pangan, indeks keamanan pangan global juga menempatkan Indonesia di posisi 62 dari 113 negara. Akar masalah yakni ketersediaan, kualitas hingga masalah keterjangkauan.
Kabar di atas jelas bikin malu. “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Begitu sepenggal lirik lagu menggambarkan luar biasanya anugerah Sang Pencipta atas Indonesia. Harusnya tak satu pun anak bangsa menderita kelaparan di atas suburnya lahan negeri yang menghasilkan beragam jenis tanaman pangan. Didukung pula keuntungan geografis garis khatulistiwa yang memberi curah hujan dan cakupan sinar matahari yang cukup bagi aktivitas pertanian. Daya tarik inilah memicu nafsu bangsa Eropa ke nusantara untuk menjajah. Aneh rasanya, penjajah mengeksploitasi kekayaan alam dan memperbudak rakyat nusantara untuk bercocok tanam, lalu komoditas dan hasilnya bikin negara kolonial makmur. Lantas kenapa sekarang ketika dikelola di anak negeri malah sebaliknya?
Serius
Ketidakwajaran tadi tentu harus disikapi. Permasalahan menjadi serius karena pangan dan sektor pertanian kunci perekonomian. Harga pangan tinggi mempertajam kerawanan pangan. Sepuluh tahun terakhir harga beras Indonesia lebih tinggi dari harga beras di pasar internasional. Ditambah selama pandemi daya beli masyarakat semakin tertekan. Tingginya harga pangan plus sulitnya aksesibilitas ekonomi bak penyakit komplikasi. Pengambil kebijakan harusnya sadar. Sektor pertanian berkontribusi bagi pendapatan nasional dan menjadi sektor yang selalu eksis dalam kondisi ekonomi apapun. Berdasarkan nilai penting itu, butuh tindakan segera dan nyata. Sektor pangan bagian tak terpisah dari kebijakan. Pemerintah mulai pusat hingga daerah punya peran sesuai kewenangan masing-masing. Harus ada upaya membangun ketahanan dan keberlanjutan pangan khususnya di daerah. Banyak cara, termasuk yang hangat dibicarakan program Lumbung Pangan (Food Estate).
Pada dasarnya Lumbung Pangan program Pemerintah menjaga ketahanan pangan. Program ini bukan sesuatu yang baru. Malah sudah dimulai di era Presiden Soeharto berlanjut era Presiden SBY. Konsepnya berupa pengembangan pangan terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan bahkan peternakan di satu kawasan. Pemprov Riau sudah menyanggupi dan menyiapkan lahan seluas 30.000 hektar untuk merealisasikan program dimaksud. Menteri Pertanian pun sudah acc, tinggal menunggu kesiapan teknis daerah. Gerak cepat Pemprov Riau patut diapresiasi. Terkait kesiapan teknis, Pemprov Riau diharapkan dapat memperkuat dengan berbagai kajian strategis dan komprehensif. Sehingga grand design Lumbung Pangan bukan sekedar “manis di bibir”. Mesti ada tindakan terukur dan target realistis dan nyata. Untuk menuju ke sana, celah yang dapat menghambat implementasi perlu diantisipasi agar pelaksanaan kelak optimal.
Perhatian Utama
Ada beberapa hal perlu diperhatikan oleh Pemda. Pertama, Output perencanaan pembangunan Lumbung Pangan mesti menjamin ketersediaan pangan daerah. Riau perlu mengurangi ketergantungan suplai pangan dari provinsi lain. Disamping itu, ada peluang besar memperkuat perekonomian daerah dan kontribusi terhadap pendapatan daerah melalui ekspor komoditas. Dampaknya kesejahteraan masyarakat pun meningkat khususnya petani daerah dan menyerap tenaga kerja di sektor tersebut. Riau punya bekal alam dan daratan luas sebagai modal membangun perekonomian melalui sektor pertanian. Mengenai dibukanya keterlibatan pihak swasta dalam Lumbung Pangan oleh peraturan, Pemda dituntut jeli. Agar peran masyarakat dan pemerintah lebih dominan dibanding swasta. Apalagi pangan unsur penting dalam kedaulatan negara. Jangan sampai sektor vital dikendalikan swasta, terlebih yang berafiliasi dengan negara lain.
Kedua, Pemprov Riau diminta dapat memanfaatkan Lumbung Pangan untuk memperkuat petani, melindungi hak masyarakat adat dan pro lingkungan. Penting ditegaskan, mengingat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengizinkan pembangunan Lumbung Pangan di kawasan lahan gambut bahkan hutan lindung. Jika tak didukung kajian paripurna dan perencanaan teknis yang matang sangat berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan hingga konflik sosial lebih parah. Jangan lupa, soal lingkungan Riau masih dihantui Karhutla, banjir dan lain-lain akibat kelalaian pemanfaatan lahan dan hutan. Perihal ekses sosial, angka konflik agraria di Riau banyak melanda sektor pertanian dan sektor kehutanan.
Ketiga, Pendekatan program Lumbung Pangan diminta holistik, terintegrasi dan menjawab persoalan pangan. UU 18/2012 tentang Pangan mengatur harus ada jaminan berupa kepastian keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan bermutu dan bergizi seimbang, secara merata, sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal. Lumbung Pangan bukan garansi mengentaskan persoalan pangan. Kelemahan aspek bersifat ekonomi seperti distribusi juga harus dibenahi. Sebagaimana laporan Global Food Security Index, masalah pangan Indonesia meliputi infrastruktur pertanian dan distribusi pangan. Terkait disebut terakhir, mahalnya biaya logistik, panjangnya rantai pasokan serta manajemen dan data pangan yang amburadul merupakan sederetan masalah klasik. Tingginya biaya logistik turut menyumbang angka kemiskinan dan masalah gizi disebabkan tinggi harga kebutuhan pokok. Demikian juga lemahnya distribusi pangan juga menyumbang munculnya daerah rawan pangan.
Demikian sekelumit pemikiran tentang persoalan pangan. Tentu banyak permasalahan dan solusi lebih baik untuk disajikan sebagai opsi kebijakan. Akan tetapi dari semua ide dan gagasan, paling utama dalam kebijakan pangan, seperti janji Presiden Jokowi saat kampanye Pilpres di tahun 2014, ending-nya petani harus dimuliakan! Tolak ukur keberhasilan Lumbung Pangan adalah sejauhmana petani berdaulat atas tanah dan hasilnya serta punya akses kepada aspek pokok yang dapat meningkatkan produktivitas. Ketika petani diuntungkan baru negara ini bisa berdaulat dari segi pangan. Ketika pangan aman, ekonomi mapan menanti di hadapan.
Oleh: Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota DPRD Provinsi Riau Fraksi PKS