Secara ritual Idul Adha adalah hari diselenggarakan penyembelihan hewan qurban. Namun dibalik peristiwa sarat hikmah yang bisa memotivasi diri, komunitas, lingkungan dan negara menuju keadaan lebih baik. Menurut bahasa, qurban berasal dari kata qoruba yang berarti dekat atau sesuatu yang dekat atau mendekatkan diri melalui pengorbanan (ad dabihah). Sebagaimana firman Allah SWT: “Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (untuk mendekatkan diri kepada Allah)” (Al-Kautsar ayat 2). Kendati demikian, spektrum qurban begitu luas. Bahkan beberapa ahli tafsir berpendapat bahwa apapun kebaikan dilakukan dan diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (kullu to’atin yataqorobu biha ilallahi ta’ala) masuk kategori qurbanun.
Sebenarnya konsep qurban bersemayam dalam keseharian. Sadar atau tidak disadari; diakui atau tidak, pada dasarnya setiap lini kehidupan terkandung nilai qurban (baca: pengorbanan). Bukan semata manusia, tapi juga binatang. Contoh fenomenal lebah. Bahkan pengorbanan bukan hanya untuk kaumnya. Siapa sangka seekor lebah harus menghabiskan waktu seumur hidup demi menghasilkan sesendok madu yang khasiatnya tiada tara. Padahal masa hidup mereka hanya berkisar satu hingga tiga bulan saja. Terlebih lagi kita manusia, sejak usia kanak-kanak hingga dewasa menuntut pengorbanan. Mulai bangku sekolah hingga memperoleh pekerjaan dan meraih kesuksesan. Berkorban waktu, tenaga, biaya dan seterusnya. Tak ada orang sukses tanpa pengorbanan. Kendati ada yang dikaruniai harta atau kuasa karena faktor keturunan atau privilege bapaknya, itu pengecualian. Tidak dihitung jerih payah sendiri.
Mengacu pada pemaparan sudah semestinya kita mengambil intisari. Apalagi ritual qurban menempati derajat istimewa di sisi Allah SWT. Karena tidak mudah menunaikannya. Banyak harta belum tentu tergerak hati berqurban. Kalangan kurang berada justru banyak antusias berqurban. Di sinilah keimanan berbicara. Qurban tidak melulu menyoal banyaknya harta. Paling utama kegigihan mempersembahkan amal terbaik walau dikelilingi keterbatasan dan tantangan. Pelajaran berharga qurban sebagai ritual tertua dalam sejarah dunia terdapat pada kisah anak Nabi Adam AS yakni Qabil dan Habil. Seperti riwayat kita dengar dan baca, bahwa putra Nabi Adam bernama Qabil mempunyai ladang pertanian dan putranya yang bernama Habil mempunyai peternakan kambing. Keduanya mempunyai saudara kembar perempuan. Allah SWT mewahyukan kepada Adam agar Qabil dipasangkan dengan saudara kembar Habil. Qabil tidak senang. Akhirnya Qabil dan Habil disuruh berkurban untuk mengetahui siapa di antara mereka yang akan diterima kurbannya. Qabil berkurban hasil pertaniannya namun yang diserahkan bermutu rendah. Sedang Habil menyerahkan kambing yang berkualitas. Allah SWT pun menerima kurban Habil.
Niat dan Amalan
Mengacu ke kisah Qabil dan Habil tergambar jelas bahwasanya Allah SWT menilai niat dan usaha terbaik hambanya. Makanya dalam sejarah dunia, sosok yang dimuliakan kebanyakan mereka yang berani berkorban. Termasuk pahlawan kemerdekaan, yang mencurahkan pikiran, sampai jasad dan raga supaya generasi bangsa menikmati kemerdekaan. Begitujuga seterusnya pengorbanan dilestarikan oleh insan bangsa di berbagai profesi. Terutama para tenaga kesehatan dan guru berjuang sampai pelosok negeri meski honornya tak layak. Ironisnya di sisi lain kita menyaksikan negara belakangan yang seharusnya berkorban mensejahterakan rakyat, justru menambah beban lewat berbagai pajak dan pungutan. Konglomerat dan oligarki disubsidi dan diberi karpet merah. Uang negara begitu mudah dihamburkan ke proyek ambisius yang tak berdampak langsung ke hidup rakyat. Sedangkan subsidi terus dipangkas menggunakan seribu satu alasan.
Bersempena momentum Idul Adha saat tepat merefleksi diri. Pribadi khususnya dan kebangsaan umumnya. Perihal disebut belakangan mungkin sering bertanya, kenapa negeri semakmur Indonesia tetapi tak kunjung sejahtera? Barangkali ini akibat kita belum mampu meresapi makna qurban. Hal sederhana saja, orang yang mendedikasikan hidup meningkatkan derajat SDM bangsa minim penghargaan. Sementara yang mendegradasi moral anak negeri digaji tinggi dan dipopulerkan. Orang yang berkorban menegakkan kebenaran dihujat, sementara yang khianat dianggap malaikat. Intropeksi satu-satunya jalan mencapai kondisi lebih baik. Kita memang diberi kehendak bebas. Mau jalan baik atau buruk terserah pilih yang mana. Jalan menuju kebaikan tak mudah. Penuh rintangan dan cabaran; menuai ejekan dan hinaan. Tujuannya melemahkan, sehingga urung berbuat kebaikan atau keluar dari lingkaran orang saleh. Tapi ketahuilah, buah pengorbanan tak pernah mengecewakan. Nabi Ibrahim AS cerita sukses betapa pengorbanan membuat wilayah yang semula gersang menjadi makmur penuh berkah. Semoga Allah SWT memudahkan langkah kita berqurban dan menempuh langkah kebaikan. Perbuatan baik tergantung kadar dan kesanggupan. Tak sanggup skala luas, lingkungan terdekat. Tak sanggup juga setidaknya jangan menghalangi dan mencemooh kebaikan atau malah bela keburukan. Di hari tasyrik, mari perbanyak amal baik dan menerapkan makna qurban. Selain ibadah vertikal yaitu habluminallah juga horizontal berupa habluminannas dengan berbagi ke sesama.
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.
ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU