Belakangan kita menjalani kehidupan di negeri yang serba paradoks. Emak-emak berjuang antri minyak goreng, sementara bapak-bapak antri BBM biosolar. Ironisnya, pemandangan barusan bukan terjadi di negeri miskin Sumber Daya Alam (SDA). Namun semua kenyataan di negeri yang dipuja sebagai sentra kelapa sawit dunia. Belum tuntas urusan minyak goreng dengan berbagi dramanya, sampai Kementerian Perdagangan bikin pernyataan kontroversi mencurigai masyarakat panic buying dan menimbun minyak goreng. Entah apa dasar kesimpulan barusan, terkesan malah Pemerintah kelihatan panik sehingga lempar bola panas demi menyelamatkan diri. Masih hangat tuduhan masyarakat menimbun, baru-baru ini Menteri Perdagangan (Mendag) kembali lempar fakta pedas lain menyebut minyak goreng murah bocor ke luar negeri. Adapun kebocoran dimaksud adalah minyak goreng murah hasil Domestic Market Obligation (DMO) di tingkat distributor yang menyebabkan harga tertahan tinggi. Kebocoran distribusi karena minyak goreng harga murah sebagian disalurkan ke industri dan diselundupkan ke luar negeri mengikuti harga internasional yang relatif tinggi ketimbang harga domestik.
Informasi-informasi di atas jelas bikin panas situasi sekaligus bisa memicu skeptisme terhadap pemerintah. Intinya masyarakat geram. Di Medsos warganet tak mau kalah berkomentar pedas, “minyak goreng dan biosolar langka tapi sibuk mau nambah periode. Takutnya bukan hanya kekuasaan nambah tapi masalah-masalah pun ikut kebawa tiga periode”. Menyinggung soal minyak goreng, berdasarkan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kemendag, harga curah masih tertahan tinggi di angka Rp16.000 per liter pada Senin (7/3/2022). Sementara itu, harga minyak goreng kemasan sederhana berada di angka RP16.600 atau mengalami kenaikan 0,61 persen dari posisi Rp16.500 pada Jumat (4/3/2022). Harga itu masih terpaut lebar dari Harga Eceran Tertinggi (HET) ditetapkan Kemendag yakni sebesar 11.500 per liter. Di pasar masih didapati di angka Rp17.000-Rp20.000. Upaya menguak kendala apakah ada di hulu atau ada di distribusi, ibarat mengurai benang kusut.
Tak Adil Bagi Riau
Riau menyikapi problem minyak goreng dan biosolar didorong rasa sentimentil, berhubung Riau daerah lahan perkebunan sawit terluas seantero negeri. Ini tak ubahnya seperti ayam kesulitan cari makan di lumbung padi. Sungguh menghina akal sehat. Apalagi komoditas minyak goreng dan biosolar kebutuhan yang berkaitan langsung dengan hidup dan hajat masyarakat. Selain konsumsi pribadi juga penopang aktivitas mata pencaharian. Wajar muncul kritikan keras ke Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah terutama Pemerintah Provinsi (Pemprov) selaku perpanjangan tangan urusan di daerah. Ke pusat pastinya perkara keadilan, keterbukaan dan kejelasan pengelolaan atas SDA. Apalagi sempat tersiar kabar konsumsi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dalam negeri justru didominasi untuk biodiesel. Jumlahnya lebih besar dari serapan untuk kebutuhan konsumsi seperti minyak goreng. Konsumsi minyak sawit untuk biodiesel melampaui pangan telah terjadi sejak November 2021. Bikin heran kenapa serapan dominan tapi di lapangan malah langka?
Perihal biosolar di Riau, dari pertemuan Pemprov Riau bersama pihak Pertamina telah diketahui penyebab kelangkaan di Riau imbas dari berkurangnya kuota dibanding tahun lalu. Kuota biosolar untuk Riau di tahun 2022 sebanyak 794.787 kiloliter. Dari realisasi tahun 2021 sekitar 824.000 kiloliter maka berkurang 9 persen. Pihak Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut berdalih bahwa kurangnya kuota biosolar supaya subsidi BBM lebih tepat sasaran. Namun alasan tadi terbuka untuk dipertanyakan. Karena bukan sekali dua kali alasan sama dipakai guna mengelak dari permasalahan kelangkaan BBM. Terlebih bicara Riau sebagai penghasil Migas dan sentra sawit. Sudahlah Dana Bagi Hasil (DBH) sawit bagi daerah penghasil selama ini tak jelas, lingkungan dan jalan Riau rusak gegara kendaraan CPO dan perkebunan, sekarang produknya mahal dan susah didapat. Padahal masyarakat membeli pakai duit. Idealnya bila kebutuhan tiap tahun meningkat, kuota disesuaikan dong. Setiap tahun kendaraan terus bertambah tetapi kuota malah sebaliknya.
Lebih tak adil lagi bagi Riau, beberapa jenis BBM malah harganya lebih tinggi dibanding daerah lain. Sebut saja Dexlite dan solar non subsidi yang beberapa waktu lalu dinaikan Pertamina. Harga lebih mahal dirasa tak adil bagi Riau sebagai daerah penghasil SDA. Dan sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Masih segar ingatan sekitar tahun 2018 kala harga Pertalite Riau masuk dalam daftar termahal se-nasional. Ihwal tingginya harga BBM di Riau memang ada dua perspektif. Pihak Pertamina berargumen penyebab harga BBM di Riau lebih mahal ketimbang wilayah lain diakibatkan pungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang dilakukan Pemda. Tapi saat ribut-ribut pertalite Riau termahal terungkap pula info lain ternyata harga dasar ditetapkan Pemerintah atas BBM tertentu untuk Riau sudah terlanjur tinggi. Berangkat dari sini Pusat dan Daerah mesti evaluasi diri. Bagi pusat, perlakuan tak adil bagi Riau selaku daerah penghasil Migas dan komoditas sawit harus direformasi. Selanjutnya kenaikan dan kelangkaan minyak goreng dan biosolar harus diatasi sesegera mungkin. Karena sangat mengganggu jalan pembangunan dan produktivitas ekonomi masyarakat kala fase pemulihan ekonomi dan berekses negatif ke prospek kebangkitan ekonomi daerah.
Kedaulatan
Kemudian menyinggung Pemda, terkait BBM bersubsidi Kami sepakat Pemda tegas menegakan aturan. Sudah ada Surat Edaran Gubernur Riau (Gubri) 199/SE/2019 tentang imbauan sosialisasi dan pembatasan penggunaan jenis bahan bakar minyak (BBM) khusus penugasan sesuai peruntukan. Dalam SE yang meneruskan peraturan dari atas tersebut, bahwa kendaraan bermotor “plat merah” atau transportasi milik pemerintah tidak menggunakan bahan bakar jenis biosolar dan premium atau BBM bersubsidi. Hal sama berlaku terhadap kendaraan industri, pengangkutan hasil perkebunan, pertambangan, dan kehutanan, diantaranya mobil tangki CPO, angkutan kayu hutan tanaman industri (balak kayu), angkutan tambang batu bara, dan truk molen (semen). Namun kita ingin SE bukan sekedar himbauan, mesti ada tindakan atau sanksi juga. Karena banyak truk besar beroperasi di Riau dan transportasi industri masih memakai BBM bersubsidi. Lihat saja antrian di SPBU. Upaya mewujudkan subsidi tepat sasaran tentu harus komprehensif dan disertai solusi. Apabila kontrak angkutan dengan industri sudah menggunakan komponen biaya BBM industri, secara otomatis akan meminimalisir penggunaan solar bersubsidi. Dalam hal ini Pemda semestinya bisa lebih proaktif menjalankan peran untuk memediasi asosiasi bernegosiasi dengan industri. Menyoal PBBKB, kewenangan menetapkan besaran komponen yang diberikan ke Pemda sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang harga jual eceran BBM dalam negeri, diharap dapat lebih bijaksana menimbang situasi dan kondisi. Supaya tidak memberatkan masyarakat. Kembali ke kasus pertalite Riau termahal se-Indonesia, waktu itu Pemprov Riau cukup berani ambil pendekatan mengevaluasi dan merevisi keputusan tentang tarif PBBKB atas aspirasi masyarakat.
Terakhir tapi fundamental, perkara minyak goreng dan kelangkaan biosolar turut mengungkap sisi lemah. Terlepas banyaknya faktor penyebab, satu perkara krusial bagaimana membangun kedaulatan atas SDA dan ekonomi bangsa. Langkah Pemerintah sudah tepat menaikkan besaran DMO bahan baku minyak goreng menjadi 30 persen dalam rangka menyiasati harga minyak goreng dalam negeri yang tetap tertahan tinggi kendati pemerintah sudah intervensi sejak akhir 2021. Melindungi kepentingan bangsa dan menjamin ketersediaan stok dalam negeri prioritas utama. Tapi harus konsisten dan tekad baja. Jangan mencla-mencle lagi. Karena bakal banyak desakan dari berbagai pihak mulai pelaku eksportir hingga pemilik usaha kakap yang terganggu kepentingan bisnisnya. Plus godaan permintaan CPO pasar internasional sangat menggiurkan. Barangkali momen menata pengelolaan SDA bangsa agar selaras dengan agenda memperkuat kedaulatan ekonomi bangsa. Seiring sukses Indonesia jalankan program hilirisasi sawit, tercermin dari porsi ekspor CPO terus mengecil dibanding produk olahannya, tantangan ke depan adalah optimalisasi mencapai level lebih baik lagi. Program hilirisasi CPO dan bahan baku perlu terus didorong untuk hasilkan nilai tambah tinggi bagi perekonomian nasional berikut daerah penghasil, meningkatkan devisa negara, menjaga nilai tukar rupiah, mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, mendongkrak penerimaan negara, menyerap produksi berlebih (oversupply), menjaga harga serta memperkuat ketahanan pangan dan energi nasional.
Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau