Tanpa terasa Ramadhan pergi. Tinggalkan segudang keberkahan dan cebisan kenangan. Rasa sedih dan senang campur aduk jadi satu. Syawal pun hadir mengganjar kemenangan bagi umat Islam yang dinilai sukses selama masa penempaan. Perjuangan sebulan lamanya mengendalikan diri dan hawa nafsu melalui puasa dan bentuk ibadah lain baik itu bersifat vertikal dengan Allah SWT dan horizontal dengan menebarkan kebaikan ke sesama. Tentu saja status fitrah paling dinanti. Bagaikan terlahir kembali, suci. Mengembalikan hati dan pikiran ke hakikat penciptaan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat. “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku,” (Az Zariyat Ayat 56). Oleh karena itu fitrah merupakan status istimewa. Hanya mereka yang bersungguh saja bisa meraihnya. Pengendalian diri selama Ramadhan pada dasarnya ibarat pelatihan berkala, yang bertujuan membentuk kekuatan ruhaniah. Sehingga kita mampu mengendalikan hawa nafsu yang kerap merusak fitrah dan menjerumuskan ke jurang kenistaan. Namun agaknya ada kekeliruan, menganggap Ramadhan puncak semuanya. Sehingga sebulan semangat ibadahnya luar biasa. Memasuki Syawal terus beranjak ke bulan berikutnya kita pun kembali ke kebiasaan semula. Ramadhan bisa diibaratkan seperti batu asah. Semestinya proses berdampak pada peningkatan kualitas. Bak pisau menjadi lebih tajam. Sungguh sebuah kerugian teramat besar Ramadhan berlalu tanpa meninggalkan bekas.
Selain dianggap momen pembinaan, Ramadhan seumpama mereset kembali semua pengaturan ke awal yakni fitrah penciptaan manusia. Karena pada dasarnya manusia sejak lahirnya sudah tertanam prinsip penghambaan. Fitrah sangat mudah dikenali dan dibuktikan sendiri oleh masing-masing kita. Sebut saja rasa bahagia ketika berbuat kebaikan walau sekecil apapun seperti senyum dan mengucapkan salam ke orang lain. Begitujuga ada rasa bersalah sewaktu ingin berbuat dan setelah melakukan penyimpangan. Fitrah ini pulalah faktor kunci amar makruf dan nahi mungkar sebagai pondasi ajaran Islam. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah“. (Al-Imran :110). Dalam konteks amar ma’ruf, mereka yang puasanya berhasil akan terbentuk karakter khaira ummah atau umat terbaik. Memberi warna positif ke lingkungan sekitar, memiliki kepekaan sosial tinggi dan bersemangat menebar kebaikan dan kemaslahatan. Mengendalikan ego dan hawa nafsu bukan perkara mudah. Tapi selama Ramadhan kita termotivasi bersedekah dan berbagi walau dalam keadaan terbatas. Bulan puasa mengubah mindset kita dari semula condong ke konsumerisme menjadi altruisme. Sebuah sifat yang sangat disukai Allah SWT, sebagaimana hadist: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Ia mencintai kedermawanan serta akhlak mulia, Ia membenci akhlak buruk.” (HR. Al Baihaqi). Spirit berbagi asbab kejayaan negeri ini. Sejarah mencatat sumbangsih raja-raja dan rakyat nusantara “bersedekah” nyawa, pikiran dan harta bagi perjuangan bangsa. Termasuk dalam konteks Riau patut kita banggakan kontribusi Sultan Syarif Kasim II yang mengirim bantuan kepada Indonesia yang baru saja merdeka.
Paling Berat
Disamping amar ma’ruf, pembuktian fitrah juga dilihat dari sejauhmana kita responsif mencegah perbuatan yang bertentangan dengan syariat dan nilai normatif (nahi mungkar). Berbahagialah tatkala kita menyaksikan penyimpangan lalu terbersit rasa tak nyaman. Namun Islam menghendaki dan mendorong umatnya berbuat lebih progresif lagi. Berupaya mencegah dan meminimalisir ruang terjadinya perilaku menyimpang dari fitrah manusia sesuai kapasitas dan kemampuan dimiliki secara berjamaah atau berkolaborasi. Makanya Nabi pernah bersabda “Siapa yang melihat kemungkaran diantara kalian, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim). Jika ditelaah kondisi sekarang, bisa disaksikan begitu banyak paradoks. Pihak berbuat benar dipojokkan, orang amanah dicitrakan buruk bahkan dikriminalisasi sementara yang khianat selalu dipuja-puji. Pihak menentang kemungkaran, kezaliman dan ketidakadilan dimusuhi sedangkan pelaku malah dilindungi. Praktik ketidakadilan merajalela. Penegakkan hukum timpang, lembek ke kelompok tertentu, kalangan berharta dan berkuasa tapi tegas ke pihak lain dan kaum tak berdaya.
Fenomena barusan jelas pertanda buruk dalam beragama serta kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalan bukan merajalelanya kezaliman, kemungkaran dan penyimpangan. Karena perbuatan tadi selalu ada di setiap masa. Pertanyaan paling krusial adalah apa berani mencegahnya? Peran ini bagaimanapun harus dijalankan. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (Ar-Ra’d: 11). Artinya, kita sebagai penentu. Walaupun merasa gusar melihat penyimpangan dari nilai syariat dan norma, tapi lebih memilih diam dan membiarkan tanpa disertai tindakan untuk meluruskan, dikhawatirkan penyimpangan tersebut akan dianggap biasa. Tinggal menunggu waktu saja akan terbiasa dan terkondisikan. Alhasil penyimpangan lama-lama dibenarkan. Pembiaran juga akan membuat kemungkaran dan kezaliman merajalela demikian juga dengan pelakunya. Imbasnya orang yang baik akan terkena. Rasullullah sendiri sudah mewanti-wanti bahwa manakala penyimpangan dan kejahatan sudah mengakar dan mengambil kendali tapi tak ada sikap konkrit untuk menyikapinya, maka Allah SWT akan mencabut rahmatnya. “Hendaklah kamu beramar makruf (menyuruh berbuat baik) dan benahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka)” (HR. Abu Dzar). Semoga Allah SWT mengembalikan kita ke fitrah dan diberi kekuatan untuk menjaganya.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU