KETAHANAN KELUARGA KUNCI KEBANGKITAN BANGSA

Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.  ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Belum lama ini dalam konferensi pers di Kantor Kemenkopolhukam (18/4/2024), Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Hadi Tjahjanto mengungkap temuan mengejutkan. Tercatat kurun waktu empat tahun belakangan, konten pornografi anak mencapai 5.566.015 kasus! Tak heran laporan dihimpun lembaga National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) menempatkan Indonesia di peringkat ke empat internasional dan peringkat dua di regional ASEAN tingginya aktivitas pornografi yang menyasar anak-anak. Namun Kabareskrim Polri dan Menteri Sosial menkonfirmasi, statistik temuan yang disebut tadi tidak mencerminkan jumlah yang sebenarnya terjadi di lapangan. Kendati begitu, melihat jumlah korban anak yang terus bertambah patut mengundang keprihatinan. Kita sebenarnya sudah menyaksikan sendiri. Setiap hari ada saja pemberitaan mulai pelecehan seksual dan kekerasan menimpa anak-anak. 

Kejadian melibatkan berbagai kalangan. Mulai ekonomi bawah hingga atas. Pelaku bahkan orang terdekat (lingkungan keluarga) hingga tempat pendidikan. Disamping alami kekerasan dan pelecehan seksual, di dalam negeri juga didapati fenomena keterlibatan usia kanak dalam aksi kekerasan. Baik itu ke rekan seusia atau aksi kejahatan merugikan masyarakat. Tentu timbul pertanyaan, apa akar masalah atau pemicunya? “Diagnosis” paling gampang maraknya konten merusakan yang tersebar di berbagai jenis media. Bukan hanya internet, tetapi sorotan pada media massa terutama program acara televisi yang kerap menayangkan tontonan tidak mendidik. Bicara media jelas domain Pemerintah selaku regulator sekaligus pengawas jalannya aturan. Mustahil mengharapkan kesadaran media semata. Di luar faktor barusan perlu memperkuat kembali peran keluarga sebagai tatanan paling mendasar. Berkaitan keluarga, salah satu isu kontemporer menarik untuk diangkat ialah fatherless

Fatherless 

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan fatherless bermakna absennya sosok ayah secara fisik atau psikologis dalam keluarga. Fatherless sangat mempengaruhi pembentukan ketahanan keluarga. Fatherless secara fisik yaitu anak yang ditinggal ayah (yatim piatu). Menurut data Kementerian Sosial, jumlah anak yatim piatu di Indonesia sekitar 4.043.622 anak. Jumlah ini meningkat hingga 32.216 anak di tahun 2022 akibat kematian orangtua karena pendemi Covid-19. Berikut tak kalah mengkhawatirkan fatherless secara psikologis. Banyak kajian menyimpulkan bahwa anak yang tumbuh di keluarga tanpa adanya sosok ayah bisa berujung komplikasi sosial, seperti kekerasan dalam rumah tangga, kriminalitas dan seterusnya. Dikutip dari media Kompas, Indonesia menempati urutan ke-3 negara dengan anak-anak tanpa ayah (fatherless country) terbanyak di dunia. Fatherless country berarti negara minim peran ayah. Berangkat dari pemaparan, terlihat hubungan seiring lonjakan angka kekerasan dan pelecehan terhadap anak atau kejahatan melibatkan anak. 

Peran sosok suami/ayah dimaksud tidak hanya mencari nafkah. Tapi lebih substansial. Dimulai masa sebelum dan sesudah ibu melahirkan. Kehadiran sosok ayah/suami begitu mendukung situasi mental dihadapi seorang ibu. Terlebih pasca melahirkan rentan menghadapi tekanan. Khususnya ibu berusia muda tak sedikit terkena sindrom baby blues (gangguan mental berlebihan). Perkara tambah rumit mengingat kondisi sosial dan ekonomi. Apalagi di masa kehamilan istri, suami semakin giat bekerja demi mengumpulkan biaya persalinan dan rencana biaya ke depan manakala anak lahir hingga sekolah. Konsekuensinya istri ditinggal. Padahal kehadiran suami sangat vital pada awal kehamilan dan fase seribu hari pertama kehidupan anak. Maka, mengatasi fatherless perlu kolaborasi. Bukan sibuk cari “kambing hitam” atau saling menyalahkan. Penguatan tatanan keluarga fokus utama. Sayangnya ketika membahas keluarga acapkali muncul pihak yang membawa agenda dan kepentingan lain. Memaksa cara pandang dunia barat ke sini. Sebut saja paham fenimisme. Yakinlah, cara tadi tidak akan memberi solusi. Sebaliknya malah menimbulkan benturan kultur atau kebiasaan. Sehingga kita sibuk berdebat dan bertikai, namun problem tak selesai.  

Perihal solusi, kehadiran negara menentukan. Langkah fundamental paling dinanti dukungan regulasi. Dalam konteks kekinian mengemuka penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Pemerintah melalui Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA Dian Ekawati dalam media talk bertajuk “RUU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan Dorong Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak” di Jakarta (23/4/2024) menyatakan bahwa, tujuan RUU termasuk menyiasati agar fatherless tidak dianggap lumrah. Sebagaimana dihadapi masyarakat negara barat. Pelbagai ikhtiar terangkum di pasal. Diantaranya mengatur kewajiban suami dan keluarga menjamin pemenuhan hak ibu. Selain kesejahteraan ibu dan anak, RUU juga mendorong tumbuhnya kesadaran ayah/suami dalam rangka mendampingi ibu dan mendorong tumbuh kembang anak. Sehingga tanggung jawab pengasuhan yang selama ini bertumpu ke ibu dapat dilakukan bersama-sama. Ini terangkum dalam pasal Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK) dirumuskan aturan cuti bagi ibu pekerja yang melakukan persalinan; hak cuti suami untuk mendampingi istrinya saat melahirkan dan apabila istri mengalami masalah kesehatan dan komplikasi setelah melahirkan; serta pendampingan suami ketika anak dilahirkan gangguan kesehatan dan lainnya. 

Aspirasi 

Kami selaku pihak penyelenggara pemerintahan daerah menaruh asa supaya RUU ini membuka ruang seluas-luasnya menampung kritikan dan saran. Berangkat dari suara elemen masyarakat di daerah, ada beberapa masukan berdasarkan tipikal permasalahan yang umum ditemukan, antara lain: 

Pertama, Kami berharap koordinasi apik guna mencegah potensi tumpang tindih antara RUU KIA dan peraturan lain seperti UU Kesehatan 17/2023. Sebagaimana diketahui, di sejumlah pasal UU Kesehatan telah diatur hak kesehatan ibu dan anak, pemberian ASI, berikut di RPP UU Kesehatan yang sedang disusun Kementerian Kesehatan terdapat pengaturan lebih detail soal kesehatan ibu dan anak. Bagi Kami di daerah, tumpang tindih aturan di pusat sering bikin bingung. Terutama saat pembentukan aturan turunan di tingkat daerah atau Peraturan Daerah (Perda). 

Kedua, Kita mengendaki aspek kesejahteraan ibu dan anak tidak sebatas melihat apakah ibu menyusui anaknya dengan ASI eksklusif. Aspek lain kayak sosial, kesehatan dan lain-lain perlu dibahas dalam RUU. Contoh penyediaan waktu dan tempat laktasi (menyusui, menyiapkan, dan/atau menyimpan asi susu Ibu perah) selama waktu kerja atau di ruang publik. 

Ketiga, terakhir dan terpenting menjamin semua pihak mematuhi dan memenuhi hak kontitusional di RUU KIA. Terkait ibu bekerja misalnya. Memang pemberi kerja dilarang memberhentikan perempuan yang sedang menjalankan fungsi maternitas. Namun ada kekhawatiran pelaku usaha bakal membatasi rekruitmen pekerja perempuan, atau menetapkan syarat pekerja perempuan tidak hamil dalam jangka waktu tertentu. Skeptisme muncul bukan tanpa alasan. Cuti melahirkan 3 bulan yang sudah tercantum di UU Ketenagakerjaan saja masih banyak dilanggar pelaku usaha. Komnas Perempuan tahun 2021 mencatat 18 buruh perempuan keguguran akibat kondisi kerja yang buruk. Tahun 2022, 108 kasus kekerasan di dunia kerja mencakup pelanggaran hak dasar seperti perlindungan kerja, bebas dari diskriminasi dan kekerasan, serta pelanggaran hak maternitas (cuti haid, hamil dan melahirkan). RUU KIA juga diharapkan tidak menimbulkan kecemburuan sosial antar pekerja di sektor formal dan informal. Umumnya implementasi peraturan lebih mudah dijalankan di instansi atau lembaga milik negara. Tetapi dibanding ASN, mereka yang bekerja di sektor informal jauh lebih banyak. Mengacu ke data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, dari total jumlah angkatan kerja nasional sekitar 147,71 juta orang, 82,67 juta orang (55,9%). Artinya secara persentase, perempuan lebih banyak bekerja di sektor informal. 

Demikianlah paparan ringkas. Semoga kehadiran RUU KIA dapat memenuhi ekspektasi dan menjawab problematika. Bisa berbicara banyak mewujudkan agenda memperkuat ketahanan keluarga sebagai pondasi penting keberlanjutan bangsa, melahirkan generasi lebih baik dari kita yang hidup di masa sekarang.  

Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.  
ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Ketua Komisi III DPRD Riau: Kinerja BRK Syariah Cukup Bagus

Pekanbaru — Komisi III DPRD Provinsi Riau mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait evaluasi kinerja …