Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional Indonesia (Hardiknas). Perisitiwa istimewa dalam catatan sejarah bangsa. Disamping bentuk penghargaan terhadap Ki Hajar Dewantara yang mana satu dari sekian tokoh penting dalam pembangunan pendidikan nasional, Hardiknas juga momen untuk merefleksi dan mengevaluasi situasi dan kondisi pendidikan tanah air. Sayangnya, meski negeri sudah lama merdeka, namun problematika pendidikan belum beranjak dari hal klasik. Salah satu isu krusial untuk diangkat yakni ketimpangan. Setakad ini dampak rentetannya begitu signifikan. Paling mengemuka cukup tingginya angka putus sekolah dan tren menurunnya minat melanjutkan pendidikan. Penyebabnya beragam. Mulai faktor geografis dan kehidupan sosial hingga dominan akibat ekonomi. Terlebih paska pandemi dimana sekolah sempat di-lockdown, menyebabkan para siswa mengalami learning loss (kehilangan hasil belajar). World Bank mencatat, anak-anak dari kelompok rentan banyak tidak lanjut sekolah. Temuan sama diperoleh Tim Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) dan Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), yang melakukan studi indikasi learning loss, learning gap dan kelompok siswa rentan di 20 kabupaten/kota di Indonesia. Disamping membuat hilangnya hasil belajar, learning loss memperlebar kesenjangan belajar. Menimbang misi Indonesia Emas 2045, ini tentu pertanda buruk. Ancaman penurunan kualitas SDM.
Di luar itu, satu hal turut berkontribusi besar ialah keterbatasan sarana dan prasarana. Bahkan di Riau masih ditemukan sekolah dalam kondisi tidak layak dan sangat tidak layak. Ironisnya, meski persoalan ketimpangan terang-terangan di hadapan, tidak dibarengi respon sepadan di level pengambil kebijakan. Tengok saja keberpihakan anggaran dan kebijakan pendidikan. Di tataran pusat jor-joran mengalokasikan dana ratusan triliun guna membangun satu wilayah bernama IKN. Padahal disaat sama banyak daerah butuh pemerataan pembangunan, terutama urusan mendasar kayak pendidikan dan kesehatan. Berikutnya tentang kebijakan pendidikan. Gebrakan Nadiem Makarim selama menjabat Menteri justru banyak dikeluhkan kalangan akademisi, pendidikan dan asosiasi guru serta tenaga pengajar. Selain dinilai belum menyentuh akar permasalahan pendidikan, fokusnya pun tak jelas. Gonta-ganti kurikulum paling disorot. Seorang siswa sebuah SMA di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pernah menyuarakan kritik saat kunjungan anggota Komisi X DPR-RI. Siswa tersebut memprotes kurikulum pendidikan di Indonesia yang terus menerus berubah. “Trennya di Indonesia, sudah dari dulu, ketika presiden diganti atau pun ketika Menteri Pendidikan diganti, maka kurikulum pendidikan ikut berganti. Jadi kesannya kurikulum ini hanya dilakukan hanya untuk uji coba saja,” ujarnya. Sang siswa menambahkan bahwa kebiasaan tadi penyebab kenapa pendidikan di Indonesia tak kunjung maju.
Aspirasi
Pemaparan di atas memberi sedikit gambaran kenapa dunia pendidikan kita masih timpang. Selama ini, khususnya dekade terakhir, kebijakan yang dirumuskan cenderung melihat dari kacamata pusat. Spirit desentralisasi dan otonomi daerah semakin tergerus. Menterinya selalu “memaksakan” cara pandang yang serba pendekatan teknologi dan mencontoh pendidikan di negara maju. Sepintas bagus memang. Sesuai tuntutan zaman dan demi kebaikan negeri. Akan tetapi melihat Indonesia tidak bisa pukul rata serupa Jawa. Sekolah-sekolah di pelosok daerah belum semua dalam keadaan ideal. Jangankan bicara teknologi, bangunan tempat belajar saja ada yang mengancam keselamatan jiwa siswa. Belum lagi bicara pemerataan pembangunan, akses listrik (elektrifikasi) dan ketersediaan jaringan telekomunikasi atau internet. Tak heran kenapa perubahan kurikulum menemui hambatan di lapangan. Mayoritas guru di daerah sulit beradaptasi. Materi pembelajaran pun berbeda dengan kehidupan mereka sehari-hari. Contoh sederhana kembali ke teknologi, siswa diminta melihat video untuk keperluan edukasi di internet, tetapi listrik dan gawai untuk mengaksesnya serba terbatas. Jangan dulu bahas itu, perkara bahasa saja misalnya. Temuan tim Kemendikbudristek pernah memaparkan bahwa penggunaan bahasa daerah di lembaga pendidikan lebih didominasi bahasa daerah dibanding bahasa Indonesia. Tahun 2018, penggunaan bahasa Indonesia 22 persen, sedang bahasa daerah 59 persen. Disinilah perspektif kebijakan pendidikan dituntut komprehensif. Sayangnya, aspirasi dan fakta justru dikesampingkan oleh Pusat. Padahal temuan tim internal kementerian sendiri. Sebenarnya pemakaian bahasa daerah guna mendukung efektivitas pembelajaran di daerah terpencil sudah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun ayat yang mengakomodir penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada sistem pendidikan nasional dihapus di RUU Sisdiknas. Bagaimana mungkin memajukan pendidikan kalau sudut pandangnya satu arah (top-down)?
Mengacu ke realita, atensi Pemerintah mesti lebih serius. Koordinasi Pusat dan Daerah dinantikan. Penyerahan kewenangan satuan pendidikan ke Pemda harus disertai pengawasan dan pembinaan berkala. Agar terwujud peningkatan kualitas pendidikan di semua jenjang. Kita patut prihatin. Data dirilis Worldtop20.org, peringkat pendidikan Indonesia di tahun 2023 berada diurutan ke 67 dari 209 negara di dunia. Urutan Indonesia bahkan berdampingan dengan negara-negara yang pernah dilanda perang dan konflik berpuluh-puluh tahun seperti Albania (posisi ke-66) dan Serbia (ke-68). Dua dekade terakhir kualitas pendidikan kita juga stagnan, sebagaimana barometer yang dirilis lembaga internasional seperti TIMMS dan PISA. Pekerjaan rumah utama membentuk kualitas SDM lewat pembenahan mutu Sisdiknas. Diawali penyediaan fasilitas dan kurikulum belajar yang berkualitas. Selanjutnya mengenai tenaga pengajar, perlu ditagih kesungguhan Pemerintah menyelesaikan status guru terkhusus honorer yang berlarut-larut untuk memperoleh kesejahteraan layak dan wajar sesuai hak konstitusionalnya; Memberi perlindungan dan peningkatan kompetensi tanpa dikotomi guru negeri dan swasta; Tidak membebani guru aspek administrasi yang menyita waktu mereka melaksanakan kewajiban mengajar; dan menggesa pemenuhan kekurangan guru. Kualitas guru termasuk faktor penentu tercapainya kualitas pendidikan nasional. Tanpa guru berkualitas dan sejahtera maka pendidikan bermutu hanyalah omon-omon belaka.
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.
ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU