SISTEM SEHAT EKONOMI HEBAT

Ada hal menarik untuk dicermati dari acara yang ditaja Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Kalimantan Selatan belum lama ini (17/3/2022). Kegiatan berlangsung di Banjarmasin tersebut dihadiri sekitar 40 perwakilan pengusaha berbagai sektor, mulai dari pertambangan, konstruksi dan perhubungan dengan mengundang sebagai pembicara utama yakni Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron. Dalam acara, Ghufron menekankan kembali hal yang telah disampaikannya saat acara bersama Komite Advokasi Daerah Antikorupsi. Intinya bahwa kalangan pengusaha diingatkan untuk mengubah iklim usaha penuh berkepastian, berkeadilan dan mendukung suasana yang kompetitif. Memang dunia usaha hadapi dilema. Pengusaha mandiri bahkan membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja dan pajak. Di satu sisi mereka butuh iklim kepastian dan kondusifitas berusaha. Namun di sisi lain lingkungan menjerat mereka. Menurut KPK, dari angka penindakan pihak paling banyak ditangkap korupsi adalah swasta. Korupsi dalam bentuk suap, gratifikasi dan kerugian negara. Namun mengkaji lebih dalam belum semua tampak ke permukaan.

Sudah rahasia umum untuk dapat izin, tak sedikit kalangan pelaku usaha menyuap. Kalau tidak begitu izin tak keluar. Begitujuga perpanjang izin kembali harus menyuap. Kalau tidak begitu izin tak diperpanjang. Lingkaran setan tak berhenti di situ. Untuk mendapat pekerjaan pun harus rela bagi-bagi atau beri “entertain” ke pejabat. Ini menjadi budaya. Efek dari penyakit tadi bukan hanya korupsi merajalela. Ujungnya masyarakat dirugikan. Contoh hasil pengerjaan proyek bermasalah karena tak sesuai spek; Proses pengerjaan asal-asalan, tak sesuai SOP dan bikin kacau lingkungan; Pengerjaan tidak sesuai jadwal dan seterusnya. Meski suap sepenuhnya keliru, namun perlu melihat akar masalah secara komprehensif. Kurang nendang rasanya KPK hanya bisa menceramahi pengusaha, menyebut mentalitas suap bikin pengusaha lokal tak bisa berkompetisi secara global sebab terbiasa dapat proyek atau pekerjaan lewat kompetisi tak sehat atau modal kedekatan dengan unsur Pemerintah. Lantas bagaimana sistem yang bobrok? Di negara maju seperti US tendensi korup swasta juga kuat. Tapi berbekal sistem mumpuni, kecurangan dapat diminimalisir. Malah jangkauan sistem sangat luas. Bila perusahaan US kedapatan menyuap di negara lain sanksinya tak main-main.

Dilematis

Sebuah fakta tak terbantahkan bahwa APBN dan APBD masih memainkan peran sentral sebagai pengungkit ekonomi. Terkhusus APBD, berbagai kegiatan diprogramkan Pemerintah Daerah (Pemda) jika ditempuh secara terencana dan diselenggarakan secara baik dan benar akan dapat merekayasa kemajuan pembangunan dan mencapai pertumbuhan perekonomian daerah. Sebaliknya, ketika program dan kebijakan dirancang hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu dan kalangan “kakap” serta tak menunjukkan keberpihakan ke kepentingan daerah, ujungnya tak jelas dan membuahkan kekecewaan. Inilah terjadi sekarang. Tak perlu jauh ambil contoh. Urusan publik semisal minyak goreng saja misalnya. Kebijakan sedari awal sudah banyak ditentang masyarakat khususnya pedagang kecil karena dianggap merugikan dan berpihak ke pelaku usaha besar, industri dan distributor. Baru-baru ini penderitaan makin lengkap sehubung keputusan Pemerintah menghapus aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan dan melepas sesuai dengan mekanisme pasar. Dari pengakuan Menteri Perdagangan dalam rapat di DPR-RI menyiratkan Pemerintah tak mampu melawan mafia minyak goreng. Terungkap juga sistem yang ada ternyata tak berdaya.

Kembali ke pembahasan awal, paling pas mengangkat keluhan di daerah. Banyak pelaku usaha terutama kontraktor lokal makin sulit sekedar bertahan. Sungguh aneh. Tatkala Pemerintah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sangat membanggakan banyaknya proyek infrastruktur namun dampak dinilai tak signifikan. Setidaknya tercermin dari kondisi pengusaha dalam negeri. Padahal pembangunan infrastruktur menurut sumber DPR-RI telah menghabiskan dana lebih Rp 400 triliun. Ironisnya secara nasional puluhan ribu kontraktor lokal malah gulung tikar dan merugi. Menurut data Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), jumlah kontraktor swasta nasional yang tergabung mengalami penyusutan tajam. Jumlahnya tak main-main. Dari sebelumnya kisaran 70 ribu-80 ribu anggota, pertahun 2019 tinggal sekitar 35 ribu. Sebagai informasi, menurut data 95 persen anggota Gapensi kontraktor skala kecil. Menurunnya jumlah anggota disebabkan banyak proyek pemerintah melalui skema penugasan yang digarap oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Keluhan Daerah

Hal sama dialami Riau. Gapensi Riau pernah bersuara terkait pekerjaan jalan Tol Trans Sumatera. Baik Gapensi dan Kami di lembaga legislatif menerima banyak sekali keluhan kontraktor lokal sulit ambil bagian dalam pekerjaan dan proyek dimaksud. Pelaksanaan pekerjaan kategori minor (di bawah Rp 15 miliar) sesuai arahan Menteri BUMN semestinya dapat dikerjakan kontraktor lokal, nyatanya digarap pihak luar. Begitujuga tuah pemanfaatan dana desa tak serta merta berkah bagi pelaku usaha lokal. Sebab, dana desa dikelola daerah dan kegiatan tidak dikontrakkan tapi dikelola desa. Sorotan berlanjut ke sektor Migas, teruntuk Riau ada Blok Rokan digadang-gadang sebagai blok migas terbesar di Tanah Air. Tapi lagi-lagi menelan pil pahit. Paska alih kelola dari Chevron, sejumlah kebijakan dinilai kontraktor lokal merugikan. Gugatan disuarakan atas dominasi dan penunjukkan langsung anak perusahaan Pertamina. Sampai-sampai petisi dilayangkan ke PT PHR. Reaksi wajar mengingat dampaknya sangat serius bagi keberlansungan pelaku usaha lokal. Terlebih tersiar kabar miring kontraktor lokal bertindak selaku pelaksana teknis sekaligus pembiaya proyek. Sudahlah dibebani modal pembiayaan, ada skema bagi hasil pula dengan anak perusahaan Pertamina. Selain itu, kontraktor lokal yang maksa bekerjasama dengan Pertamina tak sedikit mengaku kewalahan akibat tagihan tak lancar. Mereka membandingkan perlakuan sewaktu Chevron, yang mana bisa dapat proyek ratusan miliar. Artinya secara kemampuan finansial dan SDM kontraktor lokal sebenarnya sudah memadai berkompetisi di proyek di wilayah kerja Blok Rokan.

Apa yang dialami pelaku usaha lokal terutama skala kecil tentu bukan pertanda baik. Sebab mereka merupakan perantara paling efektif dalam rangka mendistribusikan akses ekonomi di daerah berikut lebih masif ketika kegiatan menerapkan konsep padat karya. Merekalah sesungguhnya gate keeper ekonomi bangsa. Ketika mereka collapse patut diwaspadai bisa memperburuk keadaan. Tanda ekonomi baik bukannya bangga banyak pembangunan fisik. Tapi seberapa besar dampak positif dapat dirasakan oleh masyarakat dan pelaku ekonomi daerah. Bukan malah semakin memperkaya golongan yang persentasenya sepersekian persen. Untuk menuju ke sana jelas sistem harus dibenahi. Harus ada keberpihakan kebijakan dan program Pemerintah. Jangan hanya ceramah ke pelaku usaha supaya tak menyuap, sementara sistem bapuk tak kunjung direformasi. Selagi sistem masih mengakomodir ketidakadilan mustahil berharap kemajuan.

Oleh: H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau

Baca Juga

ISRA’ MI’RAJ DAN SPIRIT PERUBAHAN

 “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil …