TAAT KONSTITUSI BUKTI CINTA NKRI

Sepintas kehadiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) di Istora Senayan Jakarta Selasa (29/3/22) tampak lumrah. Konten diisi layaknya seremoni biasa dimana Kepala Negara berpidato mengapresiasi peran perangkat desa yang telah bekerja keras membantu pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air. Turut dibawa dalam acara sederet pejabat tinggi kementerian diantaranya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar dan Wakil Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi. Namun acara berujung polemik. Bukan saja bergaung dukungan kepada Jokowi menjabat tiga periode, yang mana berseberangan dengan sikap semula Jokowi yang begitu tegas menyatakan taat konstitusi, namun paling fatal ternyata acara dihadiri Presiden organisasinya terindikasi abal-abal!

Ya, Apdesi tuan rumah acara disebut-sebut tidak berbadan hukum. Ini dibenarkan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sang pejabat menjelaskan ada dua organisasi asosiasi kepala desa sama-sama bernama Apdesi. Satu Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dipimpin Surtawijaya, sedangkan satu lagi dipimpin Arifin Abdul Majid. Adapun Apdesi yang gawean dihadiri Presiden Jokowi adalah diketuai Surtawijaya, dan mengakui organisasinya tak mengantongi SK Kemenkumham. “Saya jalurnya Kesbangpol, tidak bisa ngambil Kemenkumham”, katanya dikutip dari media. Pihak Kemendagri menyebut Apdesi yang mengampanyekan dukungan Jokowi lanjut 3 periode terdaftar dan mengantongi Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Sementara itu, Apdesi kubu Arifin Abdul Majid protes karena menilai organisasi mereka legal mengacu pada kepemilikan Surat Keputusan Badan Hukum dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Sudut pandang orang awam jelas legalitas bukti keabsahan tak terbantahkan.

Peristiwa di atas dinilai tak baik. Bicara kehadiran Presiden rasanya tak mungkin kebobolan. Selaku Kepala Negara punya instrumen mengecek organisasi kepengurusan sah dan berbadan hukum. Tak heran muncul dugaan unsur kesengajaan. Dikhawatirkan kehadiran kepala negara justru memicu sentimen negatif. Idealnya posisi Pemerintah sebagai pengayom dan problem solver. Kehadiran Presiden dan jajaran elitnya boleh dibilang blunder, berpotensi bikin gaduh dan dikhawatirkan memperuncing konflik Apdesi pasca dualisme di tahun 2014. Tersiar kabar Apdesi pemilik SK Kemenkumham berencana mensomasi. Tuntutan kubu pemilik legalitas Kemenkumham sangat masuk akal. Dan mereka lebih mempersoalkan pencatutan nama asosiasi daripada mengurusi kampanye 3 periode. Pangkal masalah memang ruwet sejak awal. Apdesi kubu Surtawijaya mengklaim pihaknya diakui pemerintah, mendasarkan dari SKT dan momen saat Munas ke-IV digelar November 2020 organisasi dipimpinnya dihadiri Pak Mendagri Tito Karnavian dan Dirjen Kemendes.

Preseden Buruk

Bagi kami anggota DPRD Provinsi Riau yang pernah tergabung di Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Perda Provinsi Riau tentang Pemberdayaan Ormas, mengganggap kasus Apdesi preseden buruk. Sekilas info status terkini Ranperda, pengesahan harus tertunda sehubungan dari hasil fasilitasi ke Kemendagri ada perubahan aturan Ormas di kementerian yang hingga kini belum ada kejelasan. Kembali ke topik, preseden dimaksud dapat merugikan situasi berbangsa dan bernegara. Jika Ormas taat peraturan perundang-undangan, sudah mendaftarkan diri dan mempunyai status badan hukum saja tak dihormati elit Negara, lantas bagaimana Ormas lain tak berbadan hukum dan tidak terdaftar? Padahal Ormas berbadan hukum dan tak berbadan hukum keduanya diakui oleh konstitusi mulai UUD 1945 dan UU Ormas. Kasus membuktikan bahwa keinginan menggebu-gebu Pemerintah mengatur Ormas sampai menerbitkan Perppu Ormas pada 2017 silam yang mengesankan kondisi negara gawat Ormas, namun di sisi lain sistem dan tata kelola Pemerintah amburadul. Bagaimana mungkin mau mengatur Ormas tapi urusan pendaftaran dan database saja ada versi masing-masing? Perkara barusan pernah alot dibahas saat tahapan Ranperda Pemberdayaan Ormas Provinsi Riau.

Konstruksi yang dikehendaki dibalik pengaturan Ormas dasarnya ideal dan baik, yakni agar Ormas/perkumpulan berdaya dan bisa berkolaborasi mewujudkan kepentingan bangsa. Untuk menuju kesana, langkah awal Pemerintah mesti mengidentifikasi dulu Ormas/perkumpulan di tengah masyarakat. Dengan begitu dapat dipetakan potensi. Persoalan muncul ketika keinginan dan kenyataan tak seiring sejalan. Saat Pansus Ormas konsulitasi ke Kemendagri, kayak ada kebingungan perihal pendaftaran Ormas. Beda di masa Pemerintahan SBY, masih ada kesamaan persepsi mulai pusat hingga Kesbangpol Daerah. Semisal Ormas/perkumpulan sudah berbadan hukum tak perlu lagi punya SKT. Toh secara sistem dia sudah terdaftar. Kacaunya sekarang kok bisa sudah terdaftar badan hukum di Kemenkumham lalu ada pihak mendaftarkan Ormas bernama sama ke Kemendagri dan diterima? Ajaib memang. Dalih Kemendagri dalam kasus Apdesi juga ambigu. Memang pada prinsipnya Kemendagri terbuka dan melayani hak berorganisasi warga negara. Artinya siapapun bisa mendaftarkan Ormas/perkumpulannya. Tapi pastinya logika hukumnya bukan menjustifikasi boleh mendaftarkan Ormas yang sudah eksis dan punya legalitas. Lagipula SKT tak ujub-ujub disamakan dengan legalitas. Mengacu ke UU Ormas termasuk dari hasil konsultasi Pansus ke Kemendagri, SKT sebenarnya lebih ke bukti tanda telah mendaftar.

Mengacu ke pemaparan, sudah sebaiknya Pemerintah kembali ke perannya semula sebagai regulator dan pengayom. Jangan malah memunculkan kesan perangkat negara dipakai untuk melakukan hal-hal yang dapat merusak tatanan yang ada atau bahkan mengebiri konstitusi. Kami sedari awal selaku bagian Pansus Ormas mendukung penuh upaya Pemerintah mengenai pengaturan Ormas/perkumpulan melalui pembentukan payung hukum di tingkat daerah. Tujuannya bukan untuk kepentingan sempit apalagi sampai mengebiri, mengurangi atau membatasi hak kebebasan berkumpul dan berpendapat mereka yang dilindungi oleh konstitusi. Akan tetapi arahnya pemberdayaan agar Ormas/Perkumpulan dapat mengambil peran dan bagian dalam agenda pembangunan daerah. Eksistensi mereka modal sosial sekaligus kunci penting dalam perjalanan sejarah bangsa. Ormas/Perkumpulan bisa didorong membawa perubahan dan menghasilkan kontribusi positif bagi lingkungan. Perlakuan terhadap Ormas harus adil. Jika taat maka negara harus menghormati dan mengapresiasi status mereka; jika satu Ormas diberi sanksi karena dianggap anarkis dan melanggar UU, maka perlakuan sama wajib berlaku bagi Ormas lain. Paradigma inilah bukti kecintaan kepada NKRI.

Penulis: H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota DPRD Provinsi Riau

Baca Juga

Hadiri Pelantikan Anggota DPR dan DPD RI, Amal Fathullah Siap Berkalaborasi Bangun Riau

Jakarta — Anggota DPRD RIAU Fraksi PKS DPRD Provinsi Riau, H. Amal Fathullah menghadiri dan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.